Begini Analisis Ahli ITB Mengapa Bencana Sumatera 2025 Begitu Parah - SindoNews
4 min read
Begini Analisis Ahli ITB Mengapa Bencana Sumatera 2025 Begitu Parah
Senin, 01 Desember 2025 - 16:00 WIB
Peristiwa banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan sekitarnya mendapatkan perhatian dari para pakar ITB. Foto/BNPB.
A
A
A
JAKARTA - Peristiwa banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan sekitarnya mendapatkan perhatian dari para pakar Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dalam hal ini dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), yang memandang bahwa fenomena ini merupakan dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah.
Secara klimatologis, wilayah Sumatera bagian utara memang sedang berada pada puncak musim hujan. Berbeda dengan beberapa wilayah lain di Indonesia, daerah ini memiliki distribusi hujan sepanjang tahun dengan kemungkinan dua kali puncak musim hujan.
Baca juga: 1.009 Sekolah Terdampak Bencana Sumatera, Kemendikdasmen Salurkan Dana Darurat
Ketua Program Studi Meteorologi, Dr. Muhammad Rais Abdillah dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, menjelaskan bahwa karakteristik curah hujan di wilayah ini memang berbeda dibandingkan daerah lain di Indonesia.
“Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa curah hujan pada periode tersebut tergolong sangat lebat. Berdasarkan data lapangan dan laporan media, sejumlah wilayah mencatat curah hujan lebih dari 150 milimeter, bahkan terdapat stasiun BMKG yang mencatat curah hujan lebih dari 300 milimeter, yang dikategorikan sebagai curah hujan ekstrem.
Baca juga: Penanganan Bencana di Sumatera, Prabowo: Kita Hadapi Musibah dengan Solidaritas
Sebagai perbandingan, curah hujan ekstrem di Jakarta pada awal Januari 2020, yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek, hingga mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari. Kondisi di Sumatera Utara pada akhir November 2025 ini memiliki karakteristik curah hujan yang mendekati peristiwa Jakarta 2020 tersebut, sehingga tidak mengherankan jika dampak banjir dan longsornya cukup luas dan signifikan.
Menurut Dr. Rais, fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem ini menunjukkan ciri khas adanya pusaran atau sirkulasi siklonik di sekitar wilayah Sumatera bagian utara.
“Pada tanggal 24 November sudah mulai terlihat adanya sistem yang berputar dari Semenanjung Malaysia. Dalam meteorologi, kita menyebutnya sebagai vortex, meskipun saat itu masih berupa bibit dan matanya belum terlihat jelas,” jelasnya.
Fenomena tersebut kemudian berkembang menjadi sistem Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat. Meskipun tidak terlalu kuat seperti siklon di Samudra Hindia atau Pasifik, sistem ini cukup untuk meningkatkan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, dan memperluas cakupan presipitasi di Sumatera bagian utara.
Tidak hanya itu, Dr. Rais juga mengungkap adanya pengaruh fenomena atmosfer skala meso dan sinoptik, seperti vortex siklonik dan indikasi cold surge vortex, yaitu hembusan angin kuat dari utara yang membawa massa udara lembap serta memperkuat pembentukan awan hujan. Kondisi ini memicu meningkatnya intensitas presipitasi dan memperbesar risiko banjir di wilayah Sumatera Utara.
Selain dari sisi atmosfer, pakar geospasial ITB menilai bahwa kerusakan lingkungan, perubahan tutupan lahan, dan menurunnya kapasitas tampung wilayah menjadi faktor penting yang memperburuk dampak banjir.
Dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr. Heri Andreas dari Kelompok Keahlian Sains Rekayasa dan Inovasi Geodesi, menjelaskan bahwa banjir tidak hanya tentang hujan, tetapi tentang bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi.
“Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah,” jelasnya.
Ia menambahkan, kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang telah berubah fungsi menjadi permukiman, perkebunan, atau area terbuka tanpa vegetasi. Ketika kawasan tersebut terdegradasi, kemampuan infiltrasinya menurun signifikan dan menyebabkan peningkatan runoff yang jauh lebih besar.
“Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir,” ujarnya.
Menurutnya, penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sangat penting untuk mitigasi jangka panjang. “Peta bahaya dan risiko banjir yang kita miliki saat ini belum optimal, karena masih terbatas oleh data geospasial yang akurat dan pemodelan yang komprehensif,” tambahnya.
Dengan pemahaman tersebut, upaya mitigasi banjir tidak dapat hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik seperti tanggul atau normalisasi sungai, tetapi harus disertai pendekatan non-struktural yang lebih komprehensif.
Dr. Heri menekankan pentingnya penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, serta peningkatan akurasi data geospasial dan pemodelan banjir untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Perlindungan kawasan resapan air alami seperti hutan, rawa, dan sempadan sungai dinilai sangat penting untuk menjaga kapasitas wilayah dalam menyerap air dan mengurangi limpasan.
Dalam hal ini dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), yang memandang bahwa fenomena ini merupakan dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah.
Secara klimatologis, wilayah Sumatera bagian utara memang sedang berada pada puncak musim hujan. Berbeda dengan beberapa wilayah lain di Indonesia, daerah ini memiliki distribusi hujan sepanjang tahun dengan kemungkinan dua kali puncak musim hujan.
Baca juga: 1.009 Sekolah Terdampak Bencana Sumatera, Kemendikdasmen Salurkan Dana Darurat
Ketua Program Studi Meteorologi, Dr. Muhammad Rais Abdillah dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, menjelaskan bahwa karakteristik curah hujan di wilayah ini memang berbeda dibandingkan daerah lain di Indonesia.
“Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa curah hujan pada periode tersebut tergolong sangat lebat. Berdasarkan data lapangan dan laporan media, sejumlah wilayah mencatat curah hujan lebih dari 150 milimeter, bahkan terdapat stasiun BMKG yang mencatat curah hujan lebih dari 300 milimeter, yang dikategorikan sebagai curah hujan ekstrem.
Baca juga: Penanganan Bencana di Sumatera, Prabowo: Kita Hadapi Musibah dengan Solidaritas
Sebagai perbandingan, curah hujan ekstrem di Jakarta pada awal Januari 2020, yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek, hingga mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari. Kondisi di Sumatera Utara pada akhir November 2025 ini memiliki karakteristik curah hujan yang mendekati peristiwa Jakarta 2020 tersebut, sehingga tidak mengherankan jika dampak banjir dan longsornya cukup luas dan signifikan.
Menurut Dr. Rais, fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem ini menunjukkan ciri khas adanya pusaran atau sirkulasi siklonik di sekitar wilayah Sumatera bagian utara.
“Pada tanggal 24 November sudah mulai terlihat adanya sistem yang berputar dari Semenanjung Malaysia. Dalam meteorologi, kita menyebutnya sebagai vortex, meskipun saat itu masih berupa bibit dan matanya belum terlihat jelas,” jelasnya.
Fenomena tersebut kemudian berkembang menjadi sistem Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat. Meskipun tidak terlalu kuat seperti siklon di Samudra Hindia atau Pasifik, sistem ini cukup untuk meningkatkan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, dan memperluas cakupan presipitasi di Sumatera bagian utara.
Tidak hanya itu, Dr. Rais juga mengungkap adanya pengaruh fenomena atmosfer skala meso dan sinoptik, seperti vortex siklonik dan indikasi cold surge vortex, yaitu hembusan angin kuat dari utara yang membawa massa udara lembap serta memperkuat pembentukan awan hujan. Kondisi ini memicu meningkatnya intensitas presipitasi dan memperbesar risiko banjir di wilayah Sumatera Utara.
Selain dari sisi atmosfer, pakar geospasial ITB menilai bahwa kerusakan lingkungan, perubahan tutupan lahan, dan menurunnya kapasitas tampung wilayah menjadi faktor penting yang memperburuk dampak banjir.
Dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr. Heri Andreas dari Kelompok Keahlian Sains Rekayasa dan Inovasi Geodesi, menjelaskan bahwa banjir tidak hanya tentang hujan, tetapi tentang bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi.
“Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah,” jelasnya.
Ia menambahkan, kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang telah berubah fungsi menjadi permukiman, perkebunan, atau area terbuka tanpa vegetasi. Ketika kawasan tersebut terdegradasi, kemampuan infiltrasinya menurun signifikan dan menyebabkan peningkatan runoff yang jauh lebih besar.
“Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir,” ujarnya.
Menurutnya, penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sangat penting untuk mitigasi jangka panjang. “Peta bahaya dan risiko banjir yang kita miliki saat ini belum optimal, karena masih terbatas oleh data geospasial yang akurat dan pemodelan yang komprehensif,” tambahnya.
Dengan pemahaman tersebut, upaya mitigasi banjir tidak dapat hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik seperti tanggul atau normalisasi sungai, tetapi harus disertai pendekatan non-struktural yang lebih komprehensif.
Dr. Heri menekankan pentingnya penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, serta peningkatan akurasi data geospasial dan pemodelan banjir untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Perlindungan kawasan resapan air alami seperti hutan, rawa, dan sempadan sungai dinilai sangat penting untuk menjaga kapasitas wilayah dalam menyerap air dan mengurangi limpasan.
(nnz)