China dan Jepang Makin Panas, Pakar Apresiasi Sikap Netralitas Indonesia - SindoNews
5 min read
China dan Jepang Makin Panas, Pakar Apresiasi Sikap Netralitas Indonesia
Rabu, 10 Desember 2025 - 09:35 WIB
(Kiri-kanan) Ketua FSI Johanes Herlijanto, pengajar UI Chaula Rininta Anindya, Waasintel TNI Laksma Laksma TNI Oka Wirayudhatama, Dekan FSP Unhan Mayjen TNI Oktaheroe Ramsi mengikuti seminar di Jakarta, Senin (8/12/2025). Foto: Ist
A
A
A
JAKARTA - Kawasan maritim Asia Timur yang bersebelahan langsung dengan kawasan Asia Tenggara di mana Indonesia berada saat ini sedang dalam kondisi tegang. Pasalnya, pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi yang menganggap skenario serangan Republik Rakyat China (RRC) kepada Taiwan sebagai sebuah situasi ancaman bagi negaranya direspons secara agresif oleh RRC.
Upaya Jepang untuk mendinginkan suasana tidak digubris pihak RRC. Sebaliknya, RRC cenderung meningkatkan eskalasi ketegangan dengan melakukan berbagai manuver, termasuk meminta warganya untuk tidak berkunjung ke Jepang, pemberhentian impor makanan laut dari Jepang, serta melakukan berbagai aktivitas militer di dekat Kepulauan Senkaku yang berpotensi menambah runyam keadaan.
Baca juga: Ketegangan Memuncak, Jepang–China Saling Tantang di Laut China Timur
Keadaan makin memanas seiring tindakan China mengunci radar pengendali tembakan pesawat tempur mereka ke arah pesawat Jepang di dekat kepulauan Okinawa.
Beberapa pemerhati Hubungan Internasional, pemerhati China, serta praktisi dan pakar pertahanan, berpandangan bahwa Indonesia harus tetap mengedepankan netralitas dalam menghadapi situasi tersebut.
Para pakar dan praktisi juga mendorong agar sentralitas ASEAN, sebuah konsep di mana ASEAN memainkan peran utama di kawasan menjadi sebuah prinsip yang tetap dipegang oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dalam merespons ketegangan di Asia Timur. Penting pula bagi Indonesia meningkatkan kemampuan militer agar tetap siap menghadapi berbagai efek yang mungkin timbul.
Pemerhati China dan dosen Program Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto berpandangan bahwa terdapat sejumlah faktor di balik respons keras China terhadap pernyataan PM Jepang.
“Pertama, isu Taiwan merupakan isu sensitif bagi Beijing karena berkaitan erat dengan legitimasi Partai Komunis China (PKC). Upaya China mengambil kembali apa yang mereka anggap sebagai teritorial yang hilang (lost territories), serta pengakuan dari negara lain terhadap apa yang China anggap sebagai kedaulatannya,” ujar Johanes saat diskusi panel “Menghadapi Risiko Eskalasi di Indo Pasifik: Strategi Indonesia Menjaga Kepentingan Nasional di Tengah Rivalitas China-Jepang,” yang diselenggarakan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan (Unhan) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Senin (8/12/2025).
Menurut Johanes yang juga Ketua FSI, alasan kedua mengapa China terlihat sangat agresif karena Jepang merupakan sosok yang dikonstruksi oleh China sebagai sosok antagonis melalui narasi sejarah dan budaya populer di China.
“Kondisi dalam negeri China tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja mengingat ekonomi yang belum pulih serta terdapat berbagai peristiwa yang berpotensi mempengaruhi kondisi politik seperti pemecatan beberapa jenderal dan pejabat tinggi penting dalam beberapa tahun terakhir. Karenanya penting bagi Beijing untuk menggalang dukungan dari rakyatnya. Eskalasi ketegangan dengan Jepang dapat menjadi bahan bakar bagi penggalangan nasionalisme yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan semacam itu,” ungkapnya.
Menghadapi situasi yang makin memanas di kawasan Asia Timur, Johanes menilai sikap netralitas serta strategi bebas dan aktif yang diterapkan Indonesia patut diapresiasi. Dukungan terhadap salah satu kubu mana pun tak sejalan dengan kepentingan Indonesia, karena negara-negara dapat berubah seiring perubahan waktu.
“China dulu dikenal sebagai negara yang menekankan kerendahan hati (low profile), tetapi sejak kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China berubah menjadi lebih asertif, bahkan cenderung agresif. Apa yang akan terjadi bila China menjadi semakin dominan tanpa adanya kekuatan penyeimbang?” kata Johanes.
Dekan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan Mayjen TNI Oktaheroe Ramsi mengakui adanya peningkatan kompleksitas keamanan di kawasan Asia Pasifik sebagai akibat dari rivalitas antara China dan Jepang yang sedang berlangsung.
Dalam pandangannya, peningkatan ketegangan itu berpotensi membawa implikasi penting bagi Indonesia, salah satunya karena baik di Taiwan maupun Jepang terdapat Warga Negara Indonesia (WNI) dalam jumlah cukup besar. “Di Taiwan, misalnya jumlah resmi penduduk asal Indonesia sekitar 300.000 jiwa, tetapi terdapat juga WNI dengan status tidak legal di sana dengan jumlah mencapai 400.000 jiwa,” ujar Oktaheroe.
Selain permasalahan mengenai WNI, implikasi lain yang berpotensi timbul adalah gangguan jalur pelayaran strategis dan rantai pasok global serta potensi perluasan dinamika konflik menjadi konflik proksi di kawasan Asia Tenggara.
Dia menilai Indonesia harus tetap menjaga netralitas dengan berpegang pada prinsip non-blok, serta menjalin persahabatan dengan semua pihak. Dia juga mendorong Indonesia memanfaatkan peran sentral ASEAN sebagai stabilizer kawasan.
Selain itu, Perwira Tinggi TNI yang pernah mengenyam pendidikan pascasarjana di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura itu juga berpandangan bahwa Indonesia perlu merumuskan perspektif strategi pertahanan yang bertujuan antara lain meningkatkan kemampuan pencegahan di kawasan melalui domain maritim dan udara.
Dia menegaskan pentingnya Indonesia membangun postur pertahanan yang fleksibel dan berbasis ancaman, serta penyesuaian doktrin dan struktur organisasi untuk menghadapi rivalitas antara China dan Jepang.
Waasintel TNI Laksamana Pertama TNI Oka Wirayudhatama menuturkan arti strategis Taiwan dalam kancah geopolitik di Asia Timur. “Lokasi Taiwan berada dalam rantai pertahanan pertama China dalam menghadapi kekuatan yang mungkin menyerang negara itu,” tuturnya.
Taiwan menjadi semacam zona penyangga (buffer zone) bagi ekspansi Angkatan Laut (AL) Tentara Pembebasan Rakyat milik China (TPR). “Tanpa menguasai Taiwan, AL TPR tak bisa melanjutkan ekspansinya menuju wilayah Pasifik Barat,” ucapnya Oka.
Pada sisi ekonomi, Taiwan dinilai memiliki arti yang sangat penting bagi rantai pasokan semikonduktor global. “Industri semikonduktor Taiwan memiliki kualitas yang lebih baik dari China dan produk-produk negara lain,” katanya.
Dari sudut pandang intelijen, Taiwan dipandang sebagai simpul aktivitas intelijen dan peringatan diri kawasan. “Taiwan adalah titik bagi kekuatan luar kawasan untuk mengamati China,” katanya.
Senada dengan Mayjen Oktaheroe, Laksma Oka mengamini adanya potensi dampak peningkatan eskalasi kawasan Asia Timur bagi Asia Tenggara dan Indonesia, khususnya karena Indonesia masih memiliki ketergantungan pada perdagangan dengan Jepang dan China, termasuk Taiwan.
Perwira Tinggi TNI AL yang pernah menjabat Atase Pertahanan Indonesia di Australia itu mengatakan, ASEAN dan Indonesia dapat berperan penting mencegah terjadinya konflik militer secara terbuka. “Adanya saling ketergantungan diduga mencegah perang. Oleh karenanya salah satu strategi yang dapat ditempuh ASEAN dan Indonesia adalah menciptakan situasi saling ketergantungan itu,” ucapnya.
Pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia Chaula Rininta Anindya menjelaskan mengenai respons agresif China terhadap pernyataan Perdana Menteri Jepang. Respons yang mencakup aspek diplomasi, ekonomi, dan keamanan itu bukanlah hal yang baru pertama kali dilakukan China.
“China pernah melakukan strategi serupa ketika berada dalam situasi konflik dengan Korea Selatan mengenai penempatan Baterai Pertahanan Area Terminal Jangkauan Tinggi (THAAD) sekitar satu dasawarsa lalu,” ujarnya.
Pandangan menarik juga diungkapkan Anak Agung Banyu Perwita. Dia menuturkan pentingnya memahami sudut pandang China dalam upaya memperoleh gambaran menyeluruh tentang postur geopolitik di Asia Timur dan Asia Tenggara saat ini.
Bagi akademisi ini, China tahu persis bahwa ASEAN tidak bersatu. Selain itu, China juga dinilai memiliki kepentingan terhadap keamanan di Selat Malaka. Yang juga menarik, Banyu berpandangan bahwa sangat mungkin China sedang mengeksploitasi sikap netralitas dari negara-negara Asia Tenggara.
Meski demikian, dia mendukung sikap netralitas Indonesia dalam menanggapi ketegangan yang sedang berlangsung. Indonesia harus mengedepankan sentralitas ASEAN dalam menghadapi ketegangan yang berkembang, serta tetap aktif dalam berbagai inisiatif multilateral.
Pada sisi lain, dia menekankan pentingnya Indonesia untuk mengedepankan nasionalisme ekonomi secara selektif, termasuk berupaya membangun kemandirian ekonomi (self-sufficiency) secara selektif.
Upaya Jepang untuk mendinginkan suasana tidak digubris pihak RRC. Sebaliknya, RRC cenderung meningkatkan eskalasi ketegangan dengan melakukan berbagai manuver, termasuk meminta warganya untuk tidak berkunjung ke Jepang, pemberhentian impor makanan laut dari Jepang, serta melakukan berbagai aktivitas militer di dekat Kepulauan Senkaku yang berpotensi menambah runyam keadaan.
Baca juga: Ketegangan Memuncak, Jepang–China Saling Tantang di Laut China Timur
Keadaan makin memanas seiring tindakan China mengunci radar pengendali tembakan pesawat tempur mereka ke arah pesawat Jepang di dekat kepulauan Okinawa.
Beberapa pemerhati Hubungan Internasional, pemerhati China, serta praktisi dan pakar pertahanan, berpandangan bahwa Indonesia harus tetap mengedepankan netralitas dalam menghadapi situasi tersebut.
Para pakar dan praktisi juga mendorong agar sentralitas ASEAN, sebuah konsep di mana ASEAN memainkan peran utama di kawasan menjadi sebuah prinsip yang tetap dipegang oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dalam merespons ketegangan di Asia Timur. Penting pula bagi Indonesia meningkatkan kemampuan militer agar tetap siap menghadapi berbagai efek yang mungkin timbul.
Pemerhati China dan dosen Program Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto berpandangan bahwa terdapat sejumlah faktor di balik respons keras China terhadap pernyataan PM Jepang.
“Pertama, isu Taiwan merupakan isu sensitif bagi Beijing karena berkaitan erat dengan legitimasi Partai Komunis China (PKC). Upaya China mengambil kembali apa yang mereka anggap sebagai teritorial yang hilang (lost territories), serta pengakuan dari negara lain terhadap apa yang China anggap sebagai kedaulatannya,” ujar Johanes saat diskusi panel “Menghadapi Risiko Eskalasi di Indo Pasifik: Strategi Indonesia Menjaga Kepentingan Nasional di Tengah Rivalitas China-Jepang,” yang diselenggarakan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan (Unhan) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Senin (8/12/2025).
Menurut Johanes yang juga Ketua FSI, alasan kedua mengapa China terlihat sangat agresif karena Jepang merupakan sosok yang dikonstruksi oleh China sebagai sosok antagonis melalui narasi sejarah dan budaya populer di China.
“Kondisi dalam negeri China tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja mengingat ekonomi yang belum pulih serta terdapat berbagai peristiwa yang berpotensi mempengaruhi kondisi politik seperti pemecatan beberapa jenderal dan pejabat tinggi penting dalam beberapa tahun terakhir. Karenanya penting bagi Beijing untuk menggalang dukungan dari rakyatnya. Eskalasi ketegangan dengan Jepang dapat menjadi bahan bakar bagi penggalangan nasionalisme yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan semacam itu,” ungkapnya.
Menghadapi situasi yang makin memanas di kawasan Asia Timur, Johanes menilai sikap netralitas serta strategi bebas dan aktif yang diterapkan Indonesia patut diapresiasi. Dukungan terhadap salah satu kubu mana pun tak sejalan dengan kepentingan Indonesia, karena negara-negara dapat berubah seiring perubahan waktu.
“China dulu dikenal sebagai negara yang menekankan kerendahan hati (low profile), tetapi sejak kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China berubah menjadi lebih asertif, bahkan cenderung agresif. Apa yang akan terjadi bila China menjadi semakin dominan tanpa adanya kekuatan penyeimbang?” kata Johanes.
Dekan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan Mayjen TNI Oktaheroe Ramsi mengakui adanya peningkatan kompleksitas keamanan di kawasan Asia Pasifik sebagai akibat dari rivalitas antara China dan Jepang yang sedang berlangsung.
Dalam pandangannya, peningkatan ketegangan itu berpotensi membawa implikasi penting bagi Indonesia, salah satunya karena baik di Taiwan maupun Jepang terdapat Warga Negara Indonesia (WNI) dalam jumlah cukup besar. “Di Taiwan, misalnya jumlah resmi penduduk asal Indonesia sekitar 300.000 jiwa, tetapi terdapat juga WNI dengan status tidak legal di sana dengan jumlah mencapai 400.000 jiwa,” ujar Oktaheroe.
Selain permasalahan mengenai WNI, implikasi lain yang berpotensi timbul adalah gangguan jalur pelayaran strategis dan rantai pasok global serta potensi perluasan dinamika konflik menjadi konflik proksi di kawasan Asia Tenggara.
Dia menilai Indonesia harus tetap menjaga netralitas dengan berpegang pada prinsip non-blok, serta menjalin persahabatan dengan semua pihak. Dia juga mendorong Indonesia memanfaatkan peran sentral ASEAN sebagai stabilizer kawasan.
Selain itu, Perwira Tinggi TNI yang pernah mengenyam pendidikan pascasarjana di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura itu juga berpandangan bahwa Indonesia perlu merumuskan perspektif strategi pertahanan yang bertujuan antara lain meningkatkan kemampuan pencegahan di kawasan melalui domain maritim dan udara.
Dia menegaskan pentingnya Indonesia membangun postur pertahanan yang fleksibel dan berbasis ancaman, serta penyesuaian doktrin dan struktur organisasi untuk menghadapi rivalitas antara China dan Jepang.
Waasintel TNI Laksamana Pertama TNI Oka Wirayudhatama menuturkan arti strategis Taiwan dalam kancah geopolitik di Asia Timur. “Lokasi Taiwan berada dalam rantai pertahanan pertama China dalam menghadapi kekuatan yang mungkin menyerang negara itu,” tuturnya.
Taiwan menjadi semacam zona penyangga (buffer zone) bagi ekspansi Angkatan Laut (AL) Tentara Pembebasan Rakyat milik China (TPR). “Tanpa menguasai Taiwan, AL TPR tak bisa melanjutkan ekspansinya menuju wilayah Pasifik Barat,” ucapnya Oka.
Pada sisi ekonomi, Taiwan dinilai memiliki arti yang sangat penting bagi rantai pasokan semikonduktor global. “Industri semikonduktor Taiwan memiliki kualitas yang lebih baik dari China dan produk-produk negara lain,” katanya.
Dari sudut pandang intelijen, Taiwan dipandang sebagai simpul aktivitas intelijen dan peringatan diri kawasan. “Taiwan adalah titik bagi kekuatan luar kawasan untuk mengamati China,” katanya.
Senada dengan Mayjen Oktaheroe, Laksma Oka mengamini adanya potensi dampak peningkatan eskalasi kawasan Asia Timur bagi Asia Tenggara dan Indonesia, khususnya karena Indonesia masih memiliki ketergantungan pada perdagangan dengan Jepang dan China, termasuk Taiwan.
Perwira Tinggi TNI AL yang pernah menjabat Atase Pertahanan Indonesia di Australia itu mengatakan, ASEAN dan Indonesia dapat berperan penting mencegah terjadinya konflik militer secara terbuka. “Adanya saling ketergantungan diduga mencegah perang. Oleh karenanya salah satu strategi yang dapat ditempuh ASEAN dan Indonesia adalah menciptakan situasi saling ketergantungan itu,” ucapnya.
Pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia Chaula Rininta Anindya menjelaskan mengenai respons agresif China terhadap pernyataan Perdana Menteri Jepang. Respons yang mencakup aspek diplomasi, ekonomi, dan keamanan itu bukanlah hal yang baru pertama kali dilakukan China.
“China pernah melakukan strategi serupa ketika berada dalam situasi konflik dengan Korea Selatan mengenai penempatan Baterai Pertahanan Area Terminal Jangkauan Tinggi (THAAD) sekitar satu dasawarsa lalu,” ujarnya.
Pandangan menarik juga diungkapkan Anak Agung Banyu Perwita. Dia menuturkan pentingnya memahami sudut pandang China dalam upaya memperoleh gambaran menyeluruh tentang postur geopolitik di Asia Timur dan Asia Tenggara saat ini.
Bagi akademisi ini, China tahu persis bahwa ASEAN tidak bersatu. Selain itu, China juga dinilai memiliki kepentingan terhadap keamanan di Selat Malaka. Yang juga menarik, Banyu berpandangan bahwa sangat mungkin China sedang mengeksploitasi sikap netralitas dari negara-negara Asia Tenggara.
Meski demikian, dia mendukung sikap netralitas Indonesia dalam menanggapi ketegangan yang sedang berlangsung. Indonesia harus mengedepankan sentralitas ASEAN dalam menghadapi ketegangan yang berkembang, serta tetap aktif dalam berbagai inisiatif multilateral.
Pada sisi lain, dia menekankan pentingnya Indonesia untuk mengedepankan nasionalisme ekonomi secara selektif, termasuk berupaya membangun kemandirian ekonomi (self-sufficiency) secara selektif.
(jon)