Diplomasi Trump Gagal, Kamboja Segel Perbatasan saat Pertempuran dengan Thailand Memanas - Tribunnews
Diplomasi Trump Gagal, Kamboja Segel Perbatasan saat Pertempuran dengan Thailand Memanas - Tribunnews.com
Ringkasan Berita:
- Seluruh perbatasan darat Kamboja–Thailand ditutup karena konflik memanas dan belum ada gencatan senjata yang disepakati.
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Kamboja resmi menutup seluruh perbatasan darat dengan Thailand mulai Sabtu (13/12/2025).
Penutupan ini diambil di tengah memanasnya konflik, menyusul pernyataan PM Thailand yang secara terbuka membantah klaim Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait adanya kesepakatan gencatan senjata.
Phnom Penh menilai situasi keamanan di wilayah perbatasan masih sangat berbahaya, terutama setelah jatuhnya korban jiwa terbaru dari kalangan militer dan warga sipil.
Alasan itu yang mendorong Pemerintah Kamboja melakukan penutupan perbatasan, mereka menilai upaya ini sebagai langkah darurat untuk mencegah bertambahnya korban serta membatasi pergerakan lintas batas di tengah operasi militer yang belum mereda.
Mengutip dari Al Jazeera, wilayah perbatasan yang ditutup mencakup sejumlah provinsi rawan konflik, termasuk area di sekitar kuil-kuil kuno yang selama puluhan tahun menjadi sumber sengketa kedua negara.
Garis perbatasan sepanjang 800 kilometer tersebut merupakan peninggalan penetapan batas wilayah era kolonial, yang hingga kini belum sepenuhnya disepakati dan kerap memicu bentrokan bersenjata.
Kementerian Dalam Negeri Kamboja menyatakan penangguhan aktivitas keluar-masuk dilakukan “hingga pemberitahuan lebih lanjut”, sambil menunggu situasi keamanan dinilai benar-benar kondusif.
Langkah ini juga dimaksudkan untuk memudahkan pengendalian keamanan nasional serta memfokuskan upaya evakuasi warga di tengah baku tembak, serangan artileri, dan tudingan serangan udara membuat kawasan tersebut dinilai tidak aman bagi warga sipil.
Penutupan Perbatasan Bawa Dampak Negatif
Meski penutupan memungkinkan aparat keamanan memantau pergerakan orang, mencegah penyusupan bersenjata.
Namun upaya ini berdampak nyata dan langsung terhadap perekonomian kedua negara, terutama di wilayah perbatasan yang selama ini sangat bergantung pada aktivitas lintas batas.
Efeknya tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi berpotensi meluas jika konflik dan penutupan berlangsung lama.
Di sektor perdagangan, penutupan perbatasan menghentikan arus keluar-masuk barang kebutuhan pokok, hasil pertanian, serta produk manufaktur skala kecil dan menengah.
Banyak pasar perbatasan yang biasanya menjadi pusat perdagangan harian kini lumpuh. Bagi Kamboja, yang mengandalkan impor pangan, bahan bangunan, dan barang konsumsi dari Thailand, gangguan ini dapat memicu kenaikan harga dan kelangkaan di sejumlah daerah.
Sementara bagi Thailand, eksportir lokal kehilangan akses ke pasar Kamboja yang selama ini menyerap produk pertanian, makanan olahan, dan barang kebutuhan rumah tangga.
Dampak ekonomi juga dirasakan oleh sektor tenaga kerja. Ribuan pekerja lintas batas, baik warga Kamboja yang bekerja di Thailand maupun sebaliknya, tidak dapat kembali ke tempat kerja atau pulang ke daerah asal.
Kondisi ini menekan pendapatan rumah tangga, meningkatkan pengangguran sementara, serta berisiko menimbulkan masalah sosial di wilayah perbatasan.
Lebih lanjut, penutupan perbatasan turut memukul sektor pariwisata.
Karena penutupan akses darat ke kawasan wisata perbatasan, termasuk situs sejarah dan kuil kuno yang selama ini menarik wisatawan regional, menyebabkan pembatalan perjalanan dan penurunan okupansi hotel.
Efek berantai dirasakan oleh pelaku usaha transportasi, penginapan, restoran, hingga pedagang kecil yang bergantung pada kunjungan wisatawan lintas negara.
Ancaman Keamanan Masih Berlangsung
Hingga kini belum diketahui kapan konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja akan benar-benar mereda.
Dalam beberapa waktu terakhir, eskalasi kekerasan justru terus meningkat setelah kesepakatan gencatan senjata yang sempat disepakati kedua negara runtuh akibat situasi di lapangan yang masih diwarnai baku tembak dan serangan balasan.
Kondisi tersebut membuat peluang mediasi dinilai hampir tidak ada, meskipun tekanan diplomatik dari negara-negara kawasan terus menguat.
Menurut laporan militer Thailand, bentrokan awal pecah di wilayah Phu Pha Lek–Phlan Hin Paet Kon, Distrik Kantharalak, Provinsi Si Sa Ket.
Pasukan Thailand mengklaim tembakan pertama dilepaskan oleh unit militer Kamboja, sehingga mereka melakukan tembakan balasan sesuai dengan aturan keterlibatan yang berlaku.
Ketegangan yang semula terbatas pada kontak senjata darat kemudian berkembang menjadi eskalasi yang lebih berbahaya.
Situasi semakin tidak terkendali pada Senin (8/11/2025) dini hari. Di wilayah Chong An Ma, Distrik Nam Yuen, Provinsi Ubon Ratchathani, pasukan Kamboja dilaporkan melepaskan tembakan senjata ringan disertai tembakan tidak langsung sekitar pukul 05.05 waktu setempat.
Serangan tersebut berlanjut beberapa menit kemudian dan memaksa unit Thailand merespons dengan kekuatan sebanding.
Kondisi kian memburuk, ketika posisi militer Thailand di Chong Bok kembali diserang menggunakan senjata pendukung.
Serangan ini menewaskan seorang prajurit Thailand dan melukai empat lainnya.
Bertambahnya korban dari kalangan militer menjadi faktor krusial yang mendorong pemerintah Thailand menolak gencatan senjata dan memilih melanjutkan operasi militer di sepanjang perbatasan yang disengketakan.
Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul menegaskan langkah tersebut diambil demi melindungi kedaulatan negara dan keselamatan rakyat.
Melalui unggahan di Facebook Anutin menyatakan Thailand akan terus melakukan aksi militer selama masih ada ancaman nyata terhadap wilayah dan warganya.
“Thailand akan terus melakukan aksi militer sampai kami merasa tidak ada lagi bahaya dan ancaman terhadap tanah dan rakyat kami. Tindakan kami pagi ini sudah berbicara,” tulisnya.
(Tribunnews.com / Namira)