Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home BRICS Dunia Internasional Featured G7 Spesial

    Duel Ekonomi BRICS vs G7, Siapa yang Paling Kuat di 2026? - SindoNews

    2 min read

     

    Duel Ekonomi BRICS vs G7, Siapa yang Paling Kuat di 2026?

    Rabu, 10 Desember 2025 - 21:59 WIB


    Dari kiri, Presiden Indonesia Prabowo Subianto, Presiden Afsel Cyril Ramaphosa, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, PM India Narendra Modi, dan PM China Li Qiang berfoto bersama di KTT BRICS 2025 di Rio de Janeiro, Minggu, 6 Juli 2025. FOTO/AP
    A
    A
    A
    JAKARTA - Aliansi BRICS diproyeksikan mencatat tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan blok G7 pada 2026, menandai percepatan dominasi ekonomi negara-negara berkembang dalam dekade ini. Laju pertumbuhan tersebut mencerminkan pergeseran kekuatan ekonomi global yang kian menonjol ke arah Asia, Afrika, dan Timur Tengah, sementara negara-negara maju di Barat menunjukkan tanda-tanda perlambatan.

    Berdasarkan laporan Watcher Guru, negara-negara BRICS mencatat pertumbuhan yang jauh lebih kuat, dipimpin Ethiopia dengan 7,1%, disusul India 6,2%, Uni Emirat Arab 5,0%, Indonesia 4,9%, serta Tiongkok 4,2%. Mesir diperkirakan tumbuh 4,5%, Brasil 1,9%, Afrika Selatan 1,2%, Iran 1,1%, dan Rusia 1,0%. Sementara itu, negara-negara G7 jauh tertinggal dengan rentang pertumbuhan di bawah 2%.

    Baca Juga: AS Tuding Indonesia Ingkar Janji, Ancam Batalkan Kesepakatan Dagang

    Di antara negara-negara G7, Amerika Serikat (AS) menjadi yang tertinggi dengan proyeksi pertumbuhan 2,1%, diikuti Kanada 1,5%, Inggris 1,3%, serta Jepang yang tumbuh hanya 0,6%. Jerman dan Prancis diperkirakan masing-masing tumbuh 0,9%, sedangkan Italia mencatat proyeksi terendah dengan 0,8%. Ketimpangan ini menegaskan berlanjutnya tren perlambatan ekonomi di negara-negara maju.

    Para analis menilai pergeseran kekuatan ekonomi tersebut dapat mengubah peta keuangan global dalam beberapa tahun mendatang. Negara-negara berkembang dinilai tengah memasuki fase ekspansi yang ditopang populasi besar, urbanisasi cepat, serta kapasitas produksi yang meningkat. Sebaliknya, penurunan populasi usia produktif di negara-negara Barat kian menekan prospek pertumbuhan jangka panjang.

    BRICS juga terus menggalang inisiatif untuk membentuk tatanan ekonomi multipolar, termasuk penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan transaksi internasional. Upaya ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap sistem keuangan yang didominasi negara-negara G7, khususnya Amerika Serikat.

    Jika inisiatif tersebut berjalan konsisten, para ekonom memandang struktur keuangan global dapat berubah signifikan. Dominasi dolar Amerika dan kekuatan finansial Barat berpotensi terkikis, sementara negara-negara berkembang memperoleh ruang lebih besar untuk menentukan arah kebijakan perdagangan dan investasi.

    Baca Juga: 7 Negara Timur Tengah Paling Siap Perang pada 2025

    Di sisi lain, tantangan bagi negara-negara G7 semakin kompleks. Bukan hanya soal perlambatan ekonomi, tetapi juga menyusutnya pasar tenaga kerja dan meningkatnya beban fiskal akibat populasi menua. Masalah ini diprediksi akan menghambat kemampuan mereka menjaga daya saing di tengah kebangkitan negara-negara BRICS.



    Namun, sejumlah ekonom menilai bahwa proyeksi pertumbuhan bukan satu-satunya indikator kekuatan ekonomi jangka panjang. Faktor seperti stabilitas politik, inovasi teknologi, tata kelola, serta kualitas institusi tetap menjadi komponen penting dalam menilai ketahanan ekonomi suatu negara atau blok.

    Meski demikian, dominasi pertumbuhan BRICS pada 2026 menunjukkan arah baru ekonomi global yang semakin dipengaruhi kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pergeseran ini menjadi sinyal bahwa kekuatan ekonomi dunia tidak lagi terpusat pada Barat, melainkan menyebar menuju pusat-pusat pertumbuhan baru yang lebih dinamis.
    (nng)
    Komentar
    Additional JS