Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Aceh Bencana Featured Lintas Peristiwa Spesial Sumatera

    Duka Bencana di Aceh: Rumah Hilang, Bantuan Lamban Tiba - Tirto

    10 min read

     

    Duka Bencana di Aceh: Rumah Hilang, Bantuan Lamban Tiba

    Aceh porak-poranda diterjang banjir. Warga kehilangan rumah, bertahan di tengah lumpur dan krisis air bersih, sementara bantuan pemerintah datang terlambat.

    Terbit 11 Dec 2025 06:00 WIB,


    Donasi Bencana Sumatera
    Duka Bencana di Aceh: Rumah Hilang, Bantuan Lamban Tiba
    Warga terdampak banjir mengambil barang miliknya menggunakan perahu di Desa Kuala Cangkoy, Aceh Utara, Aceh, Senin (8/12/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

    tirto.id - Banjir bandang yang menerjang Aceh pada akhir November lalu menimbulkan duka mendalam yang kesekian kali bagi masyarakat Serambi Mekkah. Ratusan nyawa melayang dan ribuan permukiman warga luluh lantak, menyisakan tangis di tengah reruntuhan puing bangunan.

    Infrastruktur hancur total, akses komunikasi terputus. Aliran listrik pun masih padam. Permukiman warga di malam hari seperti kota tak berpenghuni. Warga Aceh bertahan dengan kondisi yang ada sembari tertatih bangkit dari keterpurukan. Sementara bantuan pemerintah lamban datang dan tak merata karena akses yang cukup sulit dilalui.

    Suara Nurmalawati (56), warga Pidie Jaya, tampak terbata-bata seraya meneteskan air mata meratapi nasibnya kini. Ia berusaha tegar meski tak mampu lagi menyembunyikan pilunya. Banjir bandang terjadi dan memorakporandakan Desa Mesjid Tuha, Pidie Jaya, Aceh. Rumah Nurmalawati tak luput dari hantaman banjir, kondisinya hingga kini masih tergenang lumpur bercampur air.

    "Semua barang-barang di rumah kena lumpur, rumah cuma atapnya saja yang tampak," tutur Nurmalawati menahan isak tangis.

    Baca juga:

    Sisa banjir belum benar-benar surut. Jalanan dan rumah-rumah masih dipenuhi endapan lumpur yang menebal dan mengeras. Upaya membersihkan kampung ini terhambat lantaran minimnya ketersediaan air bersih. Kondisi ini membuat proses pembersihan lumpur sulit diselesaikan dalam waktu singkat.

    Nurmalawati menatap rumahnya, hanya atap yang dapat ia lihat. Terbayang bagaimana seisi rumah di dalamnya seperti perlengkapan dapur, seragam sekolah anak, kasur, meja, peralatan elektronik, dan barang-barang lainnya yang ikut terbawa derasnya banjir atau terkubur dalam lumpur.

    Saat bencana terjadi, Nurmalawati sekeluarga belum benar-benar lelap. Belum lama setelah ia membaringkan diri, air mulai masuk ke dalam rumah. Ia pun bertanya pada suaminya yang sudah mulai dilanda kantuk.

    "Setengah 12, tapi belum tidur. Eh kok ada air nih bilang (ke) suami saya, bukan tuh air hujan, apa air hujan ini? Banjir ini saya bilang," kata dia bercerita kembali detik-detik banjir kepada Tirto di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025).

    Baca juga:
    Nurmalawati di Musala pengungsian di Desa Mesjid Tuha, Pidie Jaya, Aceh. tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

    Semakin menjelang tengah malam, air yang masuk perlahan berubah jadi derasnya banjir yang membuat warga memekik panik. Tak ada waktu menyelamatkan harta benda atau membawa perbekalan, warga berlarian mencoba menyelamatkan diri. Nurmalawati sempat ikut terseret arus banjir hingga ratusan meter jauhnya. Sebatang kayu yang terbawa derasnya banjir menjadi pegangan Nurmalawati, hingga akhirnya ia diselamatkan oleh sang suami.

    "Sempat jauh (terseret) dari sini sampai ke situ, kebetulan ada kayu saya pegang di kayu itu. Suami tarik lagi," kenang Nurmalawati.

    Sementara Murizal, warga Desa Pante Lhong, Bireuen, Aceh, menatap kosong rumahnya yang masih tertimbun lumpur dan pasir. Pria yang menjabat kepala desa itu sesekali membuang napas saat kakinya melangkah mengelilingi desanya yang telah porak-poranda tersapu banjir.

    Tirto bersama Yayasan Plan Indonesia mengunjungi Desa Pante Lhong pada Minggu (7/12/2025). Kesunyian menyambut kami. Beberapa warga hanya mengangguk sesekali tersenyum saat kami melambaikan tangan. Mereka tampak meratapi rumah yang masih tertimbun lumpur dan pasir.

    Desa ini salah satu wilayah yang terdampak banjir di Kabupaten Bireuen. Di kiri dan kanan jalanan desa yang masih berlumpur terlihat puing-puing bangunan hingga bekas pakaian terhanyut banjir. Tercatat dua warga menjadi korban tewas akibat banjir di desa ini, satu orang dewasa dan satu bayi.

    “Di sini kita melihat kondisi rumah sudah rusak dan tidak bisa ditempati karena tertimbun pasir,” kata Murizal kepada Tirto.

    Baca juga:

    Ia berkata dirinya keluar rumah meninggalkan istri dan anak tengah malam dalam kondisi hujan sebelum banjir bandang menerjang. Ia berpatroli mengelilingi desa. Langkah kakinya mantap mengenakan jas hujan meski hujan deras mengguyur.

    “Jam sebelum air naik jam 1 itu, itu saya sudah patroli. Saya tinggalkan anak-anak di rumah. Anak-anak saya dibawa sama orang lain,” ucap Murizal.

    Derita dan Air Mata Masyarakat Aceh Diterjang Banjir Bandang
    Murizal, Kades Pante Lhong, Bireuen, Aceh, memandang rumahnya yang masih terendam pasir dan lumpur. tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama
    Baca juga:

    Senasib, Warna Musfiratun (39), warga Desa Manyang Cut, Pidie Jaya, tak pernah menyangka air sungai meluap sampai ke rumahnya. Sebab, jarak antara rumahnya dengan aliran sungai cukup jauh. Apalagi, kondisi rumahnya di dataran yang cukup tinggi.

    Malam itu, Musfiratun sudah terlelap. Setelah aktivitas penuh seharian ditambah hujan deras di luar rumah, Musfiratun sekeluarga tertidur pulas. Selepas santap malam, sang suami bercerita akan kekhawatirannya sebab air di sungai mulai naik. Namun, Musfiratun mencoba tak ikut cemas.

    Di tengah lelap dan malam yang makin larut, air mulai masuk ke rumah Musfiratun. Basah yang rasakan di tengah tidurnya sempat ia duga sebagai ompol sang anak. Sampai akhirnya ia sadar air mulai merendam dirinya dan semakin tinggi, membuat Musfiratun sekeluarga lari menyelamatkan diri ke gedung pesantren yang berlantai dua.

    Baca juga:

    Di gedung pesantren, ia menyaksikan air melahap permukiman hingga menenggelamkan sejumlah rumah warga. "Air udah naik. Masih sekitar 30 cm. (Anak sulung Musfiratun berteriak) 'Umi, Umi, bangun!'. Sebelumnya memang sudah diingatin abinya (suaminya) air sungai sudah naik, bangun," kata Musfiratun.

    Hingga hari ini Musfiratun dan warga Pidie Jaya lainnya belum mampu membersihkan endapan lumpur yang menebal dari rumah dan kampung mereka. Stok air bersih cukup minim. Sementara ketersediaan air minum, kata dia, memang tercukupi, tetapi warga setempat kesulitan untuk mencuci hingga buang hajat.

    "Cuma itu air cuci tak ada, tak ada WC umum. Seharusnya itu yang disediain. Apakah dekat sungai dibuat, biar pembuangan mudah," keluh Musfiratun.

    Ia berkata bantuan di daerahnya lebih banyak dari warga sekitar yang tak terdampak banjir. Sementara dari pemerintah, jelas dia, sangat minim. Ia mencoba memaklumi lambannya bantuan datang karena keterbatasan dan kesulitan akses.

    Saat Tirto mengunjungi desa ini, beberapa kendaraan sudah bisa masuk ke daerah ini meski harus melewati sisa banjir setinggi lutut orang dewasa. Dua alat berat pun telah dikerahkan untuk mengeruk tanah sisa banjir.

    Desa Lubok Pusaka luluh lantak akibat bencana banjir bandang
    Warga mengambil bantuan di Desa Lubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh, Selasa (9/12/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa.

    Posko peduli yang berdiri di lokasi merupakan hasil sukarela warga bukan dari pemerintah. "Kebanyakan dari daerah sekitar. Pemerintah hanya sebagian kecil," kata Musfiratun.

    Ia berharap pemerintah memprioritaskan akses kebersihan di desanya. Sebab, kebutuhan air bersih lebih dibutuhkan ketimbang bantuan makanan. Menurut dia, mayoritas warga harus rela mengantre ke toilet, kantor bupati yang jumlahnya hanya dua ketika ingin buang hajat.

    "Itu yang belum tersentuh. Ada di sana WC umum di kantor bupati, cuma dua, orang ribuan, WC cuma dua. Mampat lagi. Jadi, kesulitan ibu-ibu hamil," tutur Musfiratun.

    Pemerintah Lamban Kirim Bantuan

    Nurmalawati bercerita bahwa sampai 12 hari pascabanjir, desanya belum tersentuh bantuan pemerintah. Untuk makan dan air minum harus merogoh kocek pribadi. Di lokasi pengungsian ini, mayoritas pengungsi hanya tidur beralaskan tikar tipis. Tiap malam tak pernah tidur pulas, sesekali selalu siaga akan datang banjir susulan terutama saat terjadi hujan deras.

    "Tak dikasih untuk kami. Cuma nasi, kalau ada itu dikit-dikit. Kami beli sendiri," tutur Nurmalawati.

    Malam pertama di pengungsian terasa begitu panjang dan getir. Makanan terbatas, uang tak cukup. Mereka berusaha berhemat sebisa mungkin demi bertahan hidup di tengah bencana dan banjir yang belum surut. Belas kasih berbagi stok makanan minuman sesama pengungsi menjadi cara satu-satunya untuk bertahan bersama.

    Kondisi Desa Meunasah Lhok Aceh
    Bachtiar Arahman, warga Desa Meunasah Lhok, Pidie Jaya. tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

    Keluhan serupa disampaikan Bachtiar Arahman, warga Desa Meunasah Lhok, yang desanya juga luluh lantak usai diterjang banjir. Bachtiar tengah mengangkat beberapa potongan kayu kering terbawa arus banjir menumpuk saat ditemui Tirto.

    Dia mengaku bantuan dari pemerintah tak sampai ke desanya. Padahal, akses ke desanya sudah bisa dilalui dengan kendaraan meski harus melewati jalanan becek. "Air bersih sama sekali sampai hari ini belum sampai. Belum dapat," kata Bachtiar.

    Ia mengatakan warga setempat memilih menggunakan sumur bor untuk melepaskan dahaga. "Karena hari ini di mana ada sumur yang bersih, di situ orang-orang datang," tutur Bachtiar.

    Bachtiar berujar upaya evakuasi warga sehari pascabanjir dilakukan secara mandiri, belum ada bantuan dari Basarnas. Mereka mengevakuasi warga terutama kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan orang tua menggunakan tali yang diikat di kayu yang kokoh.

    “Evakuasi orang tua yang tidak berdaya, orang hamil, anak balita, bayi baru lahir, kami evakuasi. Sedangkan Basarnas, dia bilang ada bot, dia bilang tidak bisa lewat, karena botnya tidak cukup kuat, PK-nya kecil, mesinnya kecil,” ucap Bachtiar.

    Ia merasa heran dengan Basarnas yang tak berdaya mengevakuasi warga yang sudah genting membutuhkan pertolongan. Saat itu, kondisi air sudah mencapai satu meter setengah alias hampir mencapai atap rumah warga.

    “Kita berenang pakai tali semua, dari tiang ke tiang pakai tali. Orang di belakang kita gendong, sampai sana ke jalan,” kenang Bachtiar yang masih menyimpan kesal dengan Basarnas.

    Kondisi Desa Meunasah Lhok Aceh
    Kondisi Desa Meunasah Lhok, Pidie Jaya. tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

    Senada, Mita (26), warga Aceh Tamiang yang kini mengungsi di kampung orang tuanya, Desa Mesjid Tuha, berkata pemerintah terlambat mengirim bantuan dalam bencana kali ini. Padahal, Aceh bukan kali pertama menghadapi bencana termasuk banjir.

    Mita mencontohkan di Aceh Tamiang bahwa ada warga yang terpaksa meminum genangan banjir lantaran krisis air bersih. Kondisi itu berlangsung selama sepekan.

    "Kami, kan, sering gempa, tsunami, bencana kali ini termasuk paling lambat. Kayak di Tamiang, ada beberapa daerah yang terisolasi. Belum ada bantuan sama sekali. Jadi, warga bertahan dengan apa yang ada. Bahkan ada yang terpaksa minum air genangan banjir," tukas Mita.

    Hingga kini pemerintah belum menetapkan bencana banjir di Sumatra sebagai bencana nasional. Meskipun bantuan sudah mulai berdatangan, namun distribusi bantuan belum merata karena terkendala akses jalan.

    Komentar
    Additional JS