Ekonom Beberkan Bencana Sumatera Bisa Ciptakan Kemiskinan dan Pengangguran Baru |Republika Online
Ekonom Beberkan Bencana Sumatera Bisa Ciptakan Kemiskinan dan Pengangguran Baru |Republika Online
Pulau Sumatera menyumbang 22,42 persen pertumbuhan ekonomi nasional.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bencana yang terjadi di sejumlah daerah di Pulau Sumatera disinyalir menimbulkan dampak ekonomi yang tidak kecil. Pengamat menilai, bencana yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) itu bisa menciptakan kemiskinan dan pengangguran baru.
“Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan peristiwa lokal yang bisa dianggap lewat begitu saja. Bencana ini menghantam inti kekuatan ekonomi rakyat: rumah, sawah, ladang, dan usaha kecil yang selama puluhan tahun keluarga bangun dari sisa gaji dan hasil panen,” kata Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi kepada Republika, Sabtu (6/12/2025).
Syafruddin menuturkan, bagi jutaan warga di tiga provinsi tersebut, rumah bukan hanya alamat, tetapi tabungan seumur hidup dan jaminan hari tua. Sawah dan ladang adalah seperti ‘pabrik’ keluarga yang tidak pernah pindah, tempat nafkah mengalir dari musim ke musim.
“Ketika air bah dan longsor menyapu ribuan rumah dan lahan dalam hitungan jam, proses pemiskinan terjadi otomatis. Keluarga yang semula hidup pas-pasan langsung jatuh ke jurang kemiskinan baru,” ujarnya.
Bencana yang menyapu ketiga provinsi tersebut menyebabkan, tabungan masyarakat hilang, barang berharga ikut hanyut, surat berharga dan dokumen usaha tertimbun lumpur. Di desa, kerap kali rumah sering sekaligus berfungsi sebagai warung, kios pupuk, tempat produksi makanan ringan, atau bengkel sederhana. Saat bangunan itu rusak berat, satu pukulan meruntuhkan beberapa sumber pendapatan sekaligus.
“Dampak terhadap pengangguran tidak kalah serius. Buruh harian, pedagang kecil, sopir angkot, pekerja pariwisata, dan buruh tani kehilangan pekerjaan dalam waktu sangat singkat,” lanjut Syafruddin.
Menurutnya, perusahaan kecil dan menengah menutup usahanya karena gudang terendam, persediaan rusak, dan akses jalan terputus. Banyak pengusaha tidak sanggup membayar gaji, sehingga mereka merumahkan karyawan.
Adapun, di sektor pertanian, petani tidak bisa turun ke sawah karena jaringan irigasi jebol dan jalan usaha tani terputus. Buruh tani yang menggantungkan hidup pada upah harian, juga kehilangan sumber nafkah tanpa cadangan.
“Kondisi ini jelas akan menggerakkan angka kemiskinan dan pengangguran ke arah yang tidak diinginkan,” tegasnya.
Syafruddin menambahkan, statistik resmi memang baru akan mencatat kenaikan itu beberapa bulan ke depan, tetapi di lapangan prosesnya sudah berjalan. Gambarannya, keluarga mulai mengurangi porsi makan, menunda berobat, menarik anak dari sekolah berbayar, dan menjual sisa aset yang masih tersisa.

Sementara itu, pelaku usaha kecil mengurangi jam kerja, memecat karyawan, atau berhenti berjualan sama sekali. Rantai ekonomi lokal di kampung dan kota kecil di Sumatera melemah, lalu menarik turun PDRB daerah.
“Dalam situasi seberat ini, pernyataan pejabat di tingkat pusat yang seakan meremehkan dampak bencana terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional terasa menyakitkan. Tiga provinsi itu selama ini tercatat jelas dalam angka PDB nasional,” Syfaruddin menambahkan.
Halaman 2 / 2
Sumbangan Sumatera pada Pertumbuhan Ekonomi
Lebih lanjut, Syafruddin menyinggung soal keputusan Pemerintah yang menetapkan bencana yang terjadi di Sumatera bukan sebagai bencana nasional, melainkan hanya bencana daerah.
Padahal, ia menyebut, kontribusi Sumatera, khususnya Aceh, Sumut, dan Sumbar tidaklah kecil terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal III 2025, angka pertumbuhan ekonomi nasional yakni 5,04 persen.
Pulau Jawa menjadi pulau yang paling banyak berkontribusi terhadap angka pertumbuhan ekonomi nasional, yakni 56,68 persen. Disusul oleh Pulau Sumatera yang menyumbang sebesar 22,42 persen. Kemudian, Pulau Kalimantan sebesar 8,02 persen, Sulawesi 7,36 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,83 persen, serta Maluku dan Papua sebesar 2,69 persen.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada periode tersebut yakni 4,9 persen. Dari angka itu, Aceh memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III 2025 sebesar 0,25 persen, Sumut berkontribusi sebesar 1,06 persen, dan Sumbar yakni 0,25 persen.
“Komoditas pertanian, hasil tambang, energi, dan konsumsi rumah tangga dari Sumatera ikut menggerakkan mesin ekonomi Indonesia. Jika saat produktif kontribusinya dihitung, mengapa ketika bencana menghancurkan aset rakyat di wilayah itu pengaruhnya tiba-tiba dianggap ‘tidak signifikan’?” tuturnya.
“Di sinilah urgensi penetapan status bencana nasional menjadi sangat kuat,” tegasnya.
Syafruddin mengatakan, penetapan status ini bukan sekadar simbol atau permainan istilah. Status bencana nasional akan menggeser tanggung jawab utama dari level provinsi ke level negara, dengan konsekuensi mobilisasi sumber daya fiskal, logistik, dan kelembagaan jauh lebih besar.
Ia menyebut, Presiden dapat mengorkestrasi BNPB, TNI–Polri, Kementerian Sosial, PUPR, Kesehatan, Perhubungan, BUMN logistik, dan pemerintah daerah dalam satu komando yang jelas. Mekanisme pengadaan darurat, pembangunan hunian sementara, perbaikan jembatan, dan pemulihan jaringan listrik akan bergerak lebih cepat dengan dasar hukum yang kuat.
Menurut Syafruddin, penetapan status nasional juga membuka pintu solidaritas fiskal antar daerah. Pemerintah pusat dapat mendorong provinsi lain menyalurkan bantuan keuangan secara terarah ke Aceh, Sumut, dan Sumbar. Bantuan itu dapat mempercepat rekonstruksi rumah warga, memperbaiki jalan dan jembatan, serta mendukung program padat karya untuk menyerap tenaga kerja lokal.
Di saat yang sama, Pemerintah dapat merancang paket kebijakan khusus berupa bantuan tunai terarah, modal kerja bagi usaha mikro, restrukturisasi kredit bagi petani dan pelaku UMKM, serta program perlindungan sosial adaptif untuk keluarga paling rentan.
“Lebih dari itu, status bencana nasional akan mengirim sinyal moral yang kuat. Negara mengakui secara terbuka bahwa penderitaan jutaan warga di Sumatera adalah urusan seluruh republik, bukan beban tiga provinsi saja,” terangnya.
Ia menuturkan, masyarakat terdampak yang ada di pengungsian membutuhkan lebih dari sekadar tenda dan logistik. Mereka membutuhkan kepastian bahwa negara berdiri di belakang mereka, siap memulihkan rumah, sawah, ladang, dan kesempatan kerja.
“Kepercayaan publik akan tumbuh ketika Presiden tampil bukan hanya sebagai pengirim bantuan, tetapi sebagai pemimpin yang berani mengakui skala krisis dan mengambil langkah luar biasa untuk menjawabnya,” jelasnya.
Syafruddin menekankan, banjir bandang dan longsor di Sumatera harus menjadi titik balik cara negara memandang hubungan antara bencana dan perekonomian. Rumah, sawah, dan pekerjaan rakyat tidak boleh diperlakukan hanya sebagai catatan di lampiran statistik.
Ketika tiga provinsi besar mengalami kerusakan masif, negara perlu menggeser fokus dari sekadar mengejar angka pertumbuhan ke misi yang lebih mendasar. Yakni menahan lonjakan kemiskinan, mencegah gelombang pengangguran, dan memulihkan martabat warga yang tertimpa bencana.
“Penetapan status bencana nasional oleh Presiden akan menjadi langkah pertama yang tegas, sekaligus janji bahwa republik tidak meninggalkan Sumatera berdiri sendirian di tengah reruntuhan,” tutupnya.