Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Berita Featured Greenpeace Spesial

    Greenpeace Minta Pemerintah Buat Sistem Pembangunan Nasional yang Bertumpu pada Perlindungan Hutan - Tribunnews.com

    7 min read

     

    Greenpeace Minta Pemerintah Buat Sistem Pembangunan Nasional yang Bertumpu pada Perlindungan Hutan - Tribunnews.com




    Tribunnews.com/Reza Deni
    TAUBAT EKOLOGIS: Suasana diskusi yang digelar PKB Insight Hub Vol. 4 bertema Taubat Ekologis: Komitmen Kebijakan Ekologis Nasional yang digelar di Twin House Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (19/12/2025)/Tribunnews.com Reza Deni 
    Ringkasan Berita:
    • Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menilai arah kebijakan pembangunan nasional masih terjebak pada logika pertumbuhan ekonomi semu yang mengorbankan lingkungan

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Arah kebijakan pembangunan nasional masih terjebak pada logika pertumbuhan ekonomi semu yang mengorbankan lingkungan.

    Ketergantungan negara pada industri ekstraktif dinilai tidak hanya merusak alam, tetapi juga menciptakan kerugian jangka panjang yang berulang setiap kali bencana terjadi.

    Hal ini disampaikan Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Arie Rompas dalam diskusi Insight Hub Vol. 4 bertema Taubat Ekologis: Komitmen Kebijakan Ekologis Nasional yang digelar di Twin House Blok M, Jakarta Selatan, Jumat (19/12/2025). 

    Acara ini dihadiri oleh perwakilan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), aktivis lingkungan termasuk Greenpeace, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil.

    Arie mengatakan negara seharusnya mulai membangun sistem pembangunan nasional yang bertumpu pada perlindungan hutan dan ruang hidup masyarakat, bukan sekadar mengejar pendapatan jangka pendek.

    “Memang tidak mudah, tetapi sebenarnya ada sistem yang bisa dibangun jika kita mau serius berbicara tentang bagaimana negara mengandalkan hutan,” ujar Arie.

    Bhutan menjadi contoh

    Dia mencontohkan Bhutan sebagai negara yang mampu menjaga hampir 60 persen wilayah hutannya sekaligus memastikan kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalamnya. 

    Masyarakat Bhutan di sana tidak membangun kesejahteraan dengan mengakumulasi modal, melainkan dengan mengelola ruang hidupnya secara berkelanjutan.

    “Cara pandang seperti ini seharusnya ada dalam pikiran para politisi kita, bukan hanya soal kepentingan elektoral,” kata dia.

    Arie menilai, selama ini persoalan kerusakan lingkungan kerap dibungkus dengan bahasa moral atau isu teknis semata, sehingga akar persoalan struktural tidak pernah disentuh. Karena itu, kritik keras terhadap kebijakan lingkungan dinilai mutlak diperlukan.

    “Kalau kritik keras tidak dilakukan, kita akan terus mengalami hal yang sama. Dampaknya akan terus berulang dan selalu muncul di depan mata kita,” kata dia.

    Pengalaman buruk

    Dia juga membagikan pengalaman pribadinya saat tinggal di Kalimantan dan menjadi korban langsung bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

    “Anak saya sampai harus diungsikan karena terdampak langsung. Itu semua akibat dari kerusakan lingkungan yang dipicu oleh kebijakan politik,” ungkap Arie.

    Lebih jauh, ia menekankan pentingnya keberanian untuk mengubah struktur pembangunan nasional yang selama ini hanya menekankan narasi pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi.

    “Selama yang didoktrin hanya soal negara butuh pendapatan dan pertumbuhan ekonomi, kita menutup mata terhadap dampak nyata di lapangan,” ujarnya.

    Menurut Arie, sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam di Sumatera menjadi bukti nyata kegagalan model pembangunan tersebut. Infrastruktur yang dibangun selama puluhan tahun bisa hancur dalam hitungan hari akibat bencana ekologis.

    “Apa yang dibangun puluhan tahun bisa musnah dalam waktu singkat. Jembatan-jembatan hancur. Itu menunjukkan tidak ada pertumbuhan ekonomi di tengah kerusakan lingkungan,” katanya.

    Rapuh

    Dia menegaskan, keuntungan ekonomi dari industri ekstraktif memang terlihat besar di atas kertas, tetapi rapuh ketika berhadapan dengan krisis ekologis.

    “Keuntungan dari ekstraktivisme bisa lenyap hanya dalam satu atau dua hari saat bencana datang. Pada akhirnya, yang tersisa justru akumulasi kerusakan,” pungkas Arie.

    Profil Greenpeace

    • Didirikan tahun 1971: Awalnya bernama Don’t Make a Wave Committee, kemudian berubah menjadi Greenpeace.
    • Metode kampanye: Menggunakan aksi konfrontatif damai, kreatif, dan simbolis untuk menyoroti masalah lingkungan.

    Mengapa Isu Lingkungan Jadi Sorotan?

    • Bencana berulang: Fenomena banjir, longsor, dan kebakaran hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menunjukkan betapa parahnya degradasi lingkungan. Kerusakan hutan membuat hujan ekstrem berubah menjadi bencana besar.

    DPR: harus kebijakan struktural

    Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKB, Daniel Johan, mendorong konsep Taubat Ekologis tidak berhenti sebagai wacana moral, tetapi diterjemahkan menjadi kebijakan struktural negara untuk menjawab krisis iklim dan bencana ekologis yang kian meningkat di Indonesia.

    Dia mengatakan, kehadiran anak muda yang aktif menyuarakan kepentingan masyarakat terdampak krisis iklim menjadi harapan besar dalam mendorong perubahan kebijakan. Menurutnya, persoalan ekologis di Indonesia bersifat struktural dan tidak bisa diselesaikan secara parsial.

    “PKB sudah sejak belasan tahun lalu menyuarakan Taubat Ekologis. Konsep moral ini harus melompat menjadi kebijakan struktural,” kata Daniel di acara yang sama.

    Daniel mengungkapkan, saat ini Komisi IV DPR RI mendorong perubahan Undang-Undang Kehutanan. Namun, upaya tersebut kerap menemui hambatan, terutama akibat keberadaan Undang-Undang Omnibus Law.

    Daniel merinci sejumlah langkah konkret yang perlu segera dilakukan, antara lain:

    • Memperketat perizinan dan sanksi pelanggaran lingkungan, memperkuat Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat
    Komentar
    Additional JS