Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Bencana Featured Greenpeace Lintas Peristiwa Spesial Sumatera

    Greenpeace Minta Setop Anggap Bencana di Sumatra Takdir, 3 Sosok Menteri Ini Diminta Tanggung Jawab - Tribunnews

    9 min read

     

    Greenpeace Minta Setop Anggap Bencana di Sumatra Takdir, 3 Sosok Menteri Ini Diminta Tanggung Jawab - Tribunnews.com


    BANJIR SUMATRA - Kolase foto Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol. Greenpeace sebut menteri yang paling mungkin dimintai pertanggung jawaban atas bencana di Sumatra adalah Bahlil, Raja Juli, dan Hanif Fasiol. 
    Ringkasan Berita:

      TRIBUNNEWS.COM - Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, minta bencana banjir dan longsor yang terjadi di 3 provinsi Sumatra, yakni Sumatra Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatra Barat (Sumbar), berhenti dianggap sebagai takdir.

      Sebab, Iqbal menegaskan, di balik bencana ini harus dicari siapa yang perlu bertanggung jawab atas semuanya, hingga dia menyinggung para menteri.

      "Kalau bencana kayak gini orang tuh sering bilang begini, udahlah kita sekarang jangan mencari siapa yang salah. Tidak, kita harus cari siapa yang salah gitu. Ini sebenarnya menteri harus ada yang mundur nih, harus ada menteri yang mundur, harus ada menteri yang minta maaf," ucapnya, dikutip dari YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Rabu (3/12/2025).

      "Ini kan polisi failure, sering sekali kita menyebut banjir bandang, longsor itu sebagai bencana alam, takdir. Tentu kita sebagai orang yang beragama menerima itu, tapi kita harus mencari orang yang salah di sini," sambungnya.

      Iqbal pun mengatakan, jika menteri-menteri dan jajarannya tidak melakukan pengawasan ketat di wilayah yang sudah diberikan izin, maka mereka patut dimintai pertanggungjawaban karena kebijakan mereka berakibat fatal hingga menyebabkan bencana.

      Dia lantas menyinggung peran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia hingga Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni.

      "Misal pertambangan (tidak diawasi ketat), itu berarti kita harus minta pertanggungjawaban kepada Menteri Bahlil. Kenapa dia tidak melakukan pengawasan di daerah situ? Kenapa dia tidak melihat sebelumnya? Sudah tahu bahwa akan ada terjadi cuaca ekstrem, apakah mereka bersiap untuk itu? Itu kan berarti ada kebijakan yang salah sehingga terjadi bencana ini," paparnya.

      "Termasuk Raja Juli, karena dia adalah orang yang berurusan dengan pemberian izin-izin terhadap kehutanan, melakukan pengelolaan terhadap kawasan hutan. Wilayah ini kan wilayah kawasan hutan," ujar Iqbal.

      Menurut Iqbal, menteri yang paling mungkin dimintai pertanggung jawaban atas bencana yang terjadi di Sumatra itu adalah Bahlil, Raja Juli, dan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol.

      "Raja Juli karena dia yang memberikan izin melakukan pengawasan. Pengawasan ya, enggak cuma memberikan izin, pengawasan di bidang kehutanan. Lalu ada Pak Bahlil, Menteri ESDM, karena dia berhak memberikan izin pertambangan di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan," ujarnya.

      "Izin itu kan melekat pengawasan ya, berarti kalau seandainya dia (Bahlil) tidak mengawasi, ada kegagalan di sana. Termasuk Menteri Hanif Faisol, Kementerian Lingkungan Hidup, karena beliau adalah orang yang menerbitkan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk menganalisis apakah izin ini layak untuk diterbitkan atau tidak, apakah aktivitas pertambangan atau kegiatan usaha kehutanan di izin itu layak diberikan atau tidak," jelas Iqbal.

      Sehingga ketika ada bencana seperti ini, berarti ada fungsi mereka yang tidak bekerja, entah itu fungsi pengawasannya, fungsi pengendaliannya, atau bahkan ada pembiaran dalam hal ini.

      "Pembiaran ini di dalam administratif itu sebuah sebuah kesalahan kan, pura-pura tidak tahu misalnya, ini melakukan pembiaran," kata Iqbal.

      Oleh karena itu, Iqbal mengatakan, permasalahan ini sangat mungkin diajukan ke mahkamah internasional maupun dalam negeri untuk meminta pertanggungjawaban para pengambil kebijakan tersebut.

      Dengan begitu, masyarakat korban bencana nanti juga bisa meminta ganti rugi kepada para pengambil kebijakan itu.

      Iqbal kemudian mengatakan, banjir yang terjadi di Sumatra itu memang tidak berada di kawasan hutan, tetapi risiko bencana di Sumatra tersebut semakin tinggi akibat lereng gundul, ada permukiman di bantaran sungai, sistem drainase terbatas, serta infrastruktur vital yang belum adaptif.

      Penebangan kayu di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) juga bisa memperparah, sehingga memicu banjir bandang dan longsor di Sumatra ini.

      "Begitu hujan deras, cuaca ekstrem, terjadilah yang namanya banjir bandang. Maka enggak heran kita banyak gelondongan dan lain sebagainya, meskipun dari Kementerian Kehutanan ada yang bilang kayu lapuk, kayu tumbang."

      "Tapi bukti pandangan mata menunjukkan itu adalah kayu-kayu yang sudah digergaji, bisa jadi pembalakan liar, karena pembalakan liar," jelasnya.

      Menurut Iqbal, seharusnya para penegak hukum sudah cukup paham soal cara main praktik pembalakan liar ini, karena mereka bekerja di lapangan langsung.

      "Enggak pernah tuh habis digergaji langsung diangkut keluar, pasti disimpan dulu. Jadi kalau misalnya tiba-tiba ada keluar kayu yang sudah tergergaji dengan jelas, itu bisa kita telusuri, kan enggak mesti satu dua hari ini dia menebang. Itu bisa jadi tahun kapan atau 1 bulan yang lalu, bahkan bertahun itungannya," ungkapnya.

      "Jadi sensitivitas para pemangku kepentingan ini juga penting sebenarnya, jangan langsung membela, cari dulu, gentleman, jangan bilang, 'Oh, enggak. Ini kayu lapuk, ini kayu tumbang". Kenapa mereka enggak langsung bilang kita selidiki gitu, masalah nanti terbukti atau enggak, tapi masyarakat punya keyakinan bahwa pemerintah mengerjakan sesuatu," imbuh Iqbal.

      Sebagai informasi, berdasarkan data sementara yang terbaru, total korban tewas akibat banjir Sumatra secara keseluruhan, kini sudah mencapai 753 jiwa, 650 korban hilang, dan 2.600 korban luka-luka.

      Rinciannya adalah di Aceh 218 orang meninggal dan 227 korban hilang, kemudian di Sumut ada 301 orang tewas dan 163 korban hilang, sementara di Sumbar korban meninggal ada sebanyak 234 orang dan 227 orang lainnya masih hilang.

      Sementara itu, jumlah rumah rusak berat ada sebanyak 3.600, rusak sedang 2.100, dan rusak ringan 3.700.

      Data ini didapatkan dari Dashboard Penanganan Darurat Banjir dan Longsor Sumatra Tahun 2025 yang tertulis di situs Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB) dan data ini masih terus diperbarui oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara berkala).

      Greenpeace Sebut Tata Guna Lahan Sudah Lama Dieksploitasi

      Ketua tim kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, sebelumnya mengatakan bahwa Tata guna lahan yang dianggap sebagai daya dukung dan daya tampung lingkungan di Pulau Sumatra itu sebenarnya sudah  sudah lama dieksploitasi.

      "Sehingga sebagian besar DAS, Daerah Aliran Sungai di Sumatra itu memang sudah menurun, bahkan sudah di bawah ambang batas sekitar 30 persen," ucapnya, Senin (1/12/2025), dikutip dari YouTube Kompas TV.

      Oleh karena itu, menurut Arie, adanya gelondongan kayu yang mengalir ke sungai dalam banjir di Sumatra bisa juga karena dipengaruhi daya dukung dan daya tampung daerah aliran sungai yang sudah rusak.

      "Kebetulan juga topografi di wilayah-wilayah Sumatra itu, di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, topografi sungainya memang sedikit pendek tapi dia curam gitu."

      "Sehingga kemudian kayu-kayu itu ketika fungsi hutannya sudah rusak gitu ya, karena sudah terdegradasi dan deforestasi yang tinggi, sehingga kemudian dia terbawa, masuk ke lumpur-lumpur, bercampur lumpur dan masuk ke sungai, yang kemudian itu daya tampung sungai juga semakin kecil," jelasnya. 

      Arie pun mengatakan, dalam hal ini, pemerintah seharusnya melakukan pengecekan terlebih dahulu.

      "Tinggal sebenarnya dilihat ada dua menurut saya kalau itu kemudian dari konsesi-konsesi izin yang memang diberikan sama pemerintah itu harus dicek gitu karena bisa jadi itu berasal dari tebangan-tebangan yang legal."

      "Tapi bisa juga ada tebangan-tebangan yang illegal logging yang di banyak dipertanyakan orang kan. Nah, illegal logging itu kan harus dilakukan investigasi," ujarnya.

      Terkait hal ini, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) memberikan klarifikasi kembali mengenai gelondongan kayu yang hanyut dalam banjir Sumatra itu.

      Sebelumnya, Kemenhut mengatakan bahwa kayu-kayu tersebut merupakan kayu lapuk dan akibat pohon lapuk atau tumbang.

      "Hasil analisis sumber-sumber kayu itu. Satu adalah kayu lapuk, kedua kayu yang akibat tadi pohon tumbang dan ketiga di area-area penebangan. Kayu-kayu dari area penebangan," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto, Jumat (28/11/2025). 

      Namun, pada Sabtu (29/12/2025) lalu, Januanto mengatakan bahwa kayu gelondongan yang ikut terbawa arus banjir di Sumatra itu bisa berasal dari berbagai sumber.

      "Terkait pemberitaan yang berkembang, saya perlu menegaskan bahwa penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir," ungkap Januanto dalam keterangannya, Sabtu.

      "Melainkan untuk memperjelas sumber-sumber kayu yang sedang kami telusuri dan memastikan setiap unsur illegal logging tetap diproses sesuai ketentuan,” sambungnya.

      (Tribunnews.com/Rifqah)

      kisah-inspiratif-pensiunan-produktif-taspen.jpg
      Komentar
      Additional JS