Kakek 71 Tahun Dituntut 2 Tahun Gara-Gara 5 Burung Cendet, Pengacara: Hukum Terlalu Kejam! - Radar Situbondo
RADARSITUBONDO.ID - Kasus pidana Masir, terdakwa pencurian lima burung Cendet di Kawasan Hutan Baluran, menuai protes dari sejumlah pengacara.
Sebab, tuntutan Jaksa Penuntut umum (JPU) terhadap kekek 71 tahun dinilai berlebihan. Seharusnya mendapat Keadilan Restoratif dan tidak lanjut ke meja hijau.
Supriyono,S.H., pengacara senior di Kota Santri mengaku sangat miris mengetahui penahanan Masir yang sudah berumur 71 tahun.
Baca Juga:
Seharusnya petugas Hutan Baluran cukup memberi teguran tanpa harus menyeret ke tingkat persidangan.
“Umur terdakwa sudah 71 tahun dan kerugian yang dialami negara hanya lima ekor Cendet. Padahal di area lain, tidak dilarang. Bukan hewan langka. Tapi yang dilakukan oleh kakek mengambil burung di kawasan konserfasi hanya untuk bertahan hidup. Apa tidak kasihan ?,” ungkap Supriyono pada Jawa Pos Radar Situbondo (9/12).
Ditegaskan, tujuan hukum adalah memberikan keadilan.
Sehingga, aparat penegak hukum (APH) dari anggota polsek hingga JPU seharunya tidak tekstual dalam menentukan hukuman. Harusnya menerpkan hukum secara kontekstual.
Baca Juga:
“Semua hal harus menjadi pertimbangan. Jadi menerapkan hukum tidak selalu tekstual tapi harus kontrekstual,” ujar Supriyono.
Selanjutnya, JPU dan majelis hakim yang terlibat dalam menangani perkara terdakwa kakek Masir bisa menekankan kemanfaatan bukan hanya kepastian hukum.
Penahanan bagi kakek 71 tahun harus dipertimbangkan dengan matang.
“Seharusnya kan dinilai, adil tidak jika seorang kakek dengan kondisi sulit mencari pekerjaan dalam bertahan hidup lalu ditahan gara-gara mengambil burung Cendet di area Hutan Baluran. Manfaatnya apa menghukum kakek 71 tahun. Jangan-jangan terdakwa sering sakit saat di dalam tahanan,” katanya.
Eko Kintoko S.H. salah satu praktisi hukum di Kota Santri juga menyayangkan upaya Pengurus Hutan Baluran dan APH dalam menahan kakek Masir.


Padahal saat ini hukum lebih mengedepankan Restoratif Justice.
Sebab, itu salah satu cara untuk meberi sanksi pada orang yang melakukan pelanggaran tidak terlalu fatal.
“Harusnya diselesaikan secara kekeluargaan. Mengingat pelaku sudah tua dan barang bukti yang diambil juga bukan hewan langka. Penindakan tidak semuanya harus dipenjera. Bisa dilarikan ke denda, peringatan. Lagian ancamannya hanya di bawah lima tahun,” tutup eko Kintoko.
Kasi Intel Kajari Situbondo Hazamal Huda menegaskan, bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai prosesdur dalam menangani kasus terdakwa pencurian burung Cendet.
Untuk dilakukan restorative justice juga tidak bisa. Sebab, tuntutan minimalnya dua tahun.
“Pencurian burung Cendet yang dilakukan terdakwa tidak sama dengan pencurian biasa. Kalau konserfasi minimal tuntutannya memang dua tahun. Itu kan sudah sidang tuntutan, nanti pengacara terdakwa bisa melakukan pembelaan, habis itu tinggal menunggu vonis dari mejelis hakim,” tegas Huda. (hum/pri)


RADARSITUBONDO.ID - Kasus pidana Masir, terdakwa pencurian lima burung Cendet di Kawasan Hutan Baluran, menuai protes dari sejumlah pengacara.
Sebab, tuntutan Jaksa Penuntut umum (JPU) terhadap kekek 71 tahun dinilai berlebihan. Seharusnya mendapat Keadilan Restoratif dan tidak lanjut ke meja hijau.
Supriyono,S.H., pengacara senior di Kota Santri mengaku sangat miris mengetahui penahanan Masir yang sudah berumur 71 tahun.
Seharusnya petugas Hutan Baluran cukup memberi teguran tanpa harus menyeret ke tingkat persidangan.
“Umur terdakwa sudah 71 tahun dan kerugian yang dialami negara hanya lima ekor Cendet. Padahal di area lain, tidak dilarang. Bukan hewan langka. Tapi yang dilakukan oleh kakek mengambil burung di kawasan konserfasi hanya untuk bertahan hidup. Apa tidak kasihan ?,” ungkap Supriyono pada Jawa Pos Radar Situbondo (9/12).
Ditegaskan, tujuan hukum adalah memberikan keadilan.
Sehingga, aparat penegak hukum (APH) dari anggota polsek hingga JPU seharunya tidak tekstual dalam menentukan hukuman. Harusnya menerpkan hukum secara kontekstual.
“Semua hal harus menjadi pertimbangan. Jadi menerapkan hukum tidak selalu tekstual tapi harus kontrekstual,” ujar Supriyono.
Selanjutnya, JPU dan majelis hakim yang terlibat dalam menangani perkara terdakwa kakek Masir bisa menekankan kemanfaatan bukan hanya kepastian hukum.
Penahanan bagi kakek 71 tahun harus dipertimbangkan dengan matang.
“Seharusnya kan dinilai, adil tidak jika seorang kakek dengan kondisi sulit mencari pekerjaan dalam bertahan hidup lalu ditahan gara-gara mengambil burung Cendet di area Hutan Baluran. Manfaatnya apa menghukum kakek 71 tahun. Jangan-jangan terdakwa sering sakit saat di dalam tahanan,” katanya.
Eko Kintoko S.H. salah satu praktisi hukum di Kota Santri juga menyayangkan upaya Pengurus Hutan Baluran dan APH dalam menahan kakek Masir.