Kebijakan Trump Jadi Senjata Makan Tuan, Badai Pengangguran Diproyeksikan Hantam AS Tahun 2026 - Tribunnews
Kebijakan Trump Jadi Senjata Makan Tuan, Badai Pengangguran Diproyeksikan Hantam AS Tahun 2026 - Tribunnews.com
Ringkasan Berita:
- Tarif impor Trump dinilai menjadi “senjata makan tuan” karena menaikkan biaya produksi, membuat perusahaan memangkas staf, dan memperburuk indeks manufaktur AS yang sudah mendekati kontraksi.
- Pelaku industri memperingatkan badai pengangguran 2026, dengan penghematan permanen, relokasi pabrik ke luar negeri akibat tekanan arus kas dan beban tarif.
- Risiko perang dagang dan naiknya harga barang diprediksi menekan daya beli, menurunkan ekspor, serta memicu gelombang PHK di berbagai sektor
TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan tarif impor yang dicanangkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump diproyeksi memicu lonjakan pengangguran pada tahun 2026.
Prediksi ini diungkap eksekutif industri dan analis ekonomi. Alih-alih menarik kembali lapangan kerja manufaktur ke dalam negeri, tarif dinilai justru menjadi “senjata makan tuan” bagi pasar tenaga kerja AS yang kini berada dalam kondisi rentan.
Para pelaku industri menyebut pasar tenaga kerja AS saat ini sudah berada pada titik “tanpa perekrutan dan tanpa pemecatan sehingga kenaikan biaya akibat tarif disebut dapat memaksa perusahaan memangkas jumlah karyawan demi menjaga operasional tetap berjalan.
Situasi ini terlihat dari temuan survei bulanan Institute for Supply Management (ISM) yang menunjukkan meningkatnya kecemasan perusahaan terhadap beban tarif.
Adapun saat ini Indeks manufaktur ISM turun ke angka 48,2 persen, mendekati zona kontraksi yang menunjukkan aktivitas bisnis semakin melemah.
Curhatan Pelaku Bisnis
Mengutip laporan CNBC International, seorang eksekutif industri peralatan transportasi dalam survei ISM mengungkapkan perusahaannya mulai mengambil langkah penghematan permanen.
Termasuk pengurangan staf dan pembukaan manufaktur lepas pantai yang sebelumnya justru ingin ditekan oleh pemerintahan Trump.
Hal serupa juga diungkap responden dari industri minyak dan batu bara, menegaskan bahwa meski kondisi saat ini stabil, tahun 2026 diprediksi menjadi titik kritis.
Arus kas perusahaan diperkirakan menurun, sementara penjualan aset dan program pesangon sukarela mulai dijalankan untuk mengurangi beban perusahaan.
Sektor manufaktur peralatan listrik bahkan menyatakan kondisi bisnis saat ini lebih sulit dibanding masa pandemi Covid-19 karena ketidakpastian rantai pasokan yang diperburuk oleh beban tarif.
Biaya Produksi Melonjak, Industri Tertekan
Para ekonom menjelaskan tarif tinggi yang diberlakukan AS pada produk dari China dan negara mitra dagang lainnya berpotensi menekan lapangan kerja dan mendorong angka pengangguran di Amerika Serikat.
Hal ini terjadi karena beberapa negara yang terkena tarif tinggi diperkirakan merespons dengan kebijakan balasan.
Situasi tersebut berpotensi memperpanjang ketegangan perdagangan global dan mengganggu rantai pasokan internasional.
Jika perang dagang berlanjut, perusahaan-perusahaan berbasis ekspor di AS pun ikut terancam karena produk mereka menjadi kurang kompetitif di pasar global.
Kondisi itu menambah daftar sektor yang berpotensi kehilangan pekerja.
Itu lantaran tarif tinggi otomatis menaikkan harga bahan baku yang diimpor oleh pabrik-pabrik di AS.
Kenaikan biaya produksi tersebut membuat perusahaan terpaksa mengurangi output atau memotong jumlah tenaga kerja untuk tetap bertahan.
Perusahaan-perusahaan besar telah memperingatkan bahwa jika tarif terus meningkat, mereka akan menghadapi tekanan finansial yang memaksa pengurangan investasi dan perekrutan.
Selain industri, konsumen juga menjadi pihak yang terdampak langsung. Harga barang kebutuhan elektronik, rumah tangga, hingga produk otomotif diperkirakan naik.
Ketika daya beli melemah, penjualan ritel menurun dan perusahaan harus memangkas tenaga kerja untuk menutupi penurunan pendapatan.
Penurunan ekspor inilah yang berpotensi menambah gelombang pemutusan hubungan kerja terutama di sektor pertanian dan manufaktur.
Serikat Pekerja Minta Evaluasi Kebijakan
Organisasi pekerja di AS mulai menyerukan evaluasi terhadap kebijakan tarif tersebut.
Mereka menilai kebijakan itu justru menimbulkan efek domino yang memperburuk stabilitas ekonomi domestik dan mengancam jutaan pekerja.
Sementara itu, Gedung Putih tetap mempertahankan kebijakannya dengan alasan melindungi industri dalam negeri dan mendorong perusahaan untuk memproduksi lebih banyak barang di AS.
Namun para analis menilai bahwa proses relokasi industri ke dalam negeri membutuhkan waktu bertahun-tahun dan tidak dapat dilakukan secara cepat.
Dalam jangka pendek, dampaknya justru lebih besar terhadap naiknya biaya dan hilangnya lapangan kerja.
Hingga kini, para ekonom memperingatkan bahwa tanpa mitigasi yang jelas, kenaikan tarif mungkin menjadi pemicu gelombang pengangguran baru di Amerika Serikat.
(Tribunnews.com / Namira)