0
News
    Home Featured Sawit Spesial

    Kebun Sawit Sitaan “Diputihkan”, Petani Sawit Nilai Negara Lebih Berpihak ke BUMN Ketimbang Rakyat - InfoSAWIT

    7 min read

     

    Kebun Sawit Sitaan “Diputihkan”, Petani Sawit Nilai Negara Lebih Berpihak ke BUMN Ketimbang Rakyat - InfoSAWIT



    InfoSAWIT, PEKANBARU — Harapan para pegiat lingkungan agar jutaan hektare kebun kelapa sawit hasil rampasan negara dikembalikan ke fungsi awal sebagai kawasan hutan kian memudar. Alih-alih direstorasi, lahan-lahan tersebut justru berpotensi “diputihkan” dan dilegalkan untuk kepentingan bisnis badan usaha milik negara (BUMN) melalui perubahan regulasi kehutanan.

    Perhatian tajam ini mencuat setelah Raja Juli Antoni menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 20 Tahun 2025, yang merevisi aturan sebelumnya terkait perencanaan kehutanan serta perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Regulasi ini membuka jalan bagi pelepasan kawasan hutan secara parsial untuk kebun sawit yang telah terbangun dan kini berada dalam penguasaan kembali negara.

    Dalam Pasal 326A ayat (1), disebutkan bahwa kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan hasil penguasaan kembali dapat dilepaskan status kawasan hutannya. Ayat berikutnya menegaskan, pelepasan tersebut dilakukan terhadap kawasan hutan yang telah diserahkan kepada BUMN.

    BACA JUGA: Bentrok KSO Sawit Bengkalis, Kapolda Riau Dorong Pokja dan Pengamanan Resmi untuk Redam Konflik

    Kebijakan inilah yang menuai kritik keras dari Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Sawitku Masa Depanku (DPP-SAMADE), Abdul Aziz. Ia menilai langkah pemerintah bertolak belakang dengan narasi awal penyitaan kebun sawit yang diklaim demi penyelamatan kawasan hutan.

    “Ini kezaliman yang luar biasa. Di awal, kebun sawit itu diambil alih dengan dalih dikembalikan menjadi hutan. Tapi faktanya, justru dilepaskan menjadi Areal Peruntukan Lain (APL) untuk perusahaan,” kata Abdul Aziz dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Senin (29/12/2025).

    Menurut Aziz, publik sempat mendukung langkah penyitaan karena percaya negara ingin memulihkan fungsi ekologis hutan. Namun dengan terbitnya aturan baru tersebut, ia menilai telah terjadi pembohongan publik secara sistematis.

    BACA JUGA: Usai Rentetan Bencana, Pemerintah Cabut Izin Sawit hingga Tambang di Sumatra

    Jutaan Hektare Lepas dari Kawasan Hutan

    Aziz mengakui bahwa dalam aturan tersebut, kawasan yang dilepaskan umumnya berstatus Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Hutan Produksi Tetap (HP). Namun, jika total kebun sawit sitaan negara mencapai sekitar 4,08 juta hektare, maka setidaknya separuhnya berpotensi dilepaskan dari kawasan hutan.

    “Kalau separuhnya saja HPK dan HP, itu berarti sekitar dua juta hektare kawasan hutan dilepaskan. Ini bukan angka kecil,” ujarnya.

    Yang dipersoalkan Aziz, pelepasan itu ditujukan untuk kepentingan korporasi, meskipun berstatus BUMN. “Tetap saja orientasinya bisnis. Pertanyaannya, apakah bisnis lebih penting daripada penyelamatan lingkungan?” katanya.

    BACA JUGA: Evaluasi Sebelum Melaju, Tantangan Rasional di Balik Rencana B50

    Ia juga mempertanyakan kesiapan BUMN yang mengelola kebun sitaan tersebut. Menurutnya, perusahaan yang ditunjuk masih berusia sangat muda dan di lapangan tidak mengelola langsung, melainkan menyerahkan operasional melalui skema kerja sama operasi (KSO) kepada pihak lain.

    “Akibat KSO ini, banyak persoalan sosial muncul, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah. Kalau pada akhirnya lahan itu dilepaskan juga dari kawasan hutan, kenapa tidak pengelola lama saja yang tetap diberi hak? Mereka sudah lama mengajukan pelepasan, tapi tidak pernah digubris,” tegasnya.

    Klaim Sepihak dan Denda Fantastis

    Kritik juga diarahkan pada proses penetapan kawasan hutan yang dinilai sepihak. Aziz menilai, sejak awal banyak lahan sawit diklaim berada di kawasan hutan tanpa bukti lengkap proses pengukuhan kawasan.

    “Kehutanan hanya menunjukkan peta kawasan hutan. Bukti penataan batas, pemetaan, sampai penetapan kawasan hutan tidak pernah ditunjukkan ke publik,” katanya.

    Padahal, Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa jika dalam proses tata batas masih terdapat hak pihak lain, maka hak tersebut harus diselesaikan. Bukti formalnya adalah Berita Acara Tata Batas (BATB) yang ditandatangani para pihak.

    Dibaca : 60,996

    Halaman: 1 2

    Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO, biodiesel dan industri kelapa sawit setiap hari dengan bergabung di Grup Telegram "InfoSAWIT - News Update", caranya klik link InfoSAWIT-News Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.

    Komentar
    Additional JS