KLH Sebut Banjir Sumatera Jadi Bukti Dampak Perubahan Iklim - Kompas
KLH Sebut Banjir Sumatera Jadi Bukti Dampak Perubahan Iklim


JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyebut, banjir Sumatera yang terjadi dari Selasa (25/11/2025) sampai Kamis (27/11/2025) lalu menjadi bukti dampak perubahan iklim. Siklon tropis senyar menyebabkan hujan ekstrem yang memicu banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara, serta Aceh.
"Kejadian bencana hidrometeorologi di Sumatera Bagian Utara minggu yang lalu ini terlihat sebagai bukti nyata karena sebetulnya sebelumnya siklon tropis tidak pernah ada di sana," kata Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudijanto di Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Baca juga:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan kerugian akibat bencana untuk memulihkan infrastuktur di tiga provinsi mencapai Rp 52 triliun.
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) menaksir biaya pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp 50 triliun.
"Jadi Rp 100 triliun yang harus kita tanggung untuk mengatasi akibat dari bencana hidrometeorologi di Sumatera Bagian Utara tersebut. Kalau itu (krisis iklim) terus berlanjut, maka kemudian upaya apa pun yang kemudian kita lakukan jadi sia-sia," ucap Ary.
Perjalanan panjang menurunkan emisi
Dia menyampaikan. saat ini dunia sedang menghadapi tiga krisis atau triple planetary crisis yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
Seiring dengan memanasnya bumi, berbagai negara di dunia termasuk Indonesia menyepakati Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu melebihi 1,5 derajat celsius.
Menurut Ary, United Nations Framework Convention on Climate Change telah melakukan penilaian terhadap Nationally Determined Contributions (NDC), komitmen negara menurunkan emisi.
Berdasarkan 86 dokumen yang dinilai, UNFCCC menyebut pada 2035 dunia baru akan berhasil menurunkan emisi 12 persen dibandingkan level tahun 2019.
"Jadi masih jauh, artinya kita harus berekspektasi bahwa kita perlu untuk punya kegiatan-kegiatan yang lebih rendah emisi termasuk di Indonesia. Peran serta dari para pelaku usaha untuk melakukan upaya penurunan emisi, saya melihat Pertamina, BRI dan sebagainya sudah punya komitmen untuk dekarbonisasi," tutur dia.
Baca juga:
Sebelumnya, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin mengatakan, fenomena siklon tropis yang dipengaruhi perubahan iklim global meningkatkan intensitas hujan ekstrem dan angin kencang.
Hal tersebut memperbesar risiko banjir bandang, longsor, serta kerusakan infrastruktur.
Menurut dia, sejak 1980-an, peningkatan suhu muka laut dan perubahan pola sirkulasi atmosfer telah menciptakan kondisi yang mendukung terbentuknya siklon tropis dan badai skala menengah hingga besar.
“Banjir bandang dan longsor tidak hanya disebabkan oleh hujan lebat sesaat, tetapi oleh hujan ekstrem yang berlangsung selama beberapa hari. Kondisi ini menyebabkan tanah jenuh air, debit sungai meningkat, dan lereng kehilangan kestabilannya,” papar Erma.
Dia menerangkan, potensi kemunculan siklon tropis sebenarnya dapat terdeteksi beberapa hari hingga bulan sebelumnya melalui pemodelan cuaca.
BRIN telah mengembangkan berbagai perangkat prediksi cuaca dan iklim untuk menangkap sinyal awal penguatan hujan dan angin ekstrem. Erma menyoroti mitigasi masih menjadi kendala meski peringatan dini dikeluarkan.
“Peringatan dini menjadi kunci utama untuk menekan risiko korban jiwa dan kerusakan. Tantangannya adalah memastikan informasi tersebut dapat ditindaklanjuti secara cepat dan tepat,” tuturnya.