Mengenal Kabupaten Mandailing Natal yang Warganya 98 Persen Muslim - Hatipena
Mengenal Kabupaten Mandailing Natal yang Warganya 98 Persen Muslim - Hatipena
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Barusan, saya sudah ngajak jalan-jalan ke Pulau Natal. Seru karena banyak kepiting merahnya. Sekarang kalian saya ajak jalan-jalan ke Kabupaten Mandailing Natal. Ada natalnya lagi. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Kalau Mandailing Natal itu manusia, ia bukan tipe yang suka menjelaskan diri di awal. Ia lebih mirip Gordang Sambilan. Besar, berat, ditabuh pelan dulu, baru kemudian dada kita ikut bergetar. Sayangnya, banyak orang baru mendengar namanya saja sudah salah tafsir. Baru lihat kata “Natal”, pikiran langsung lompat ke pohon cemara, lonceng, dan lagu berbahasa asing. Padahal, di sini yang lebih sering terdengar justru azan Subuh bersahutan, bukan “jingle bells”. Dang songon i do, bah.
Mandailing Natal, atau lebih dikenal Madina, berada di Sumatera Utara, dengan Panyabungan sebagai ibu kota. Wilayahnya luas, hijau, dan kalau dilihat dari udara, lebih mirip hamparan sajadah raksasa yang dibentangkan alam. Luasnya lebih dari enam ribu kilometer persegi, dengan desa-desa yang tersebar seperti biji kopi Mandailing di tampah penjemuran. Tidak rapat, tapi penuh rasa. Penduduknya hampir setengah juta jiwa, hidup berdampingan dalam ritme yang tidak tergesa-gesa. Sai santabi do huta on, tenang tapi berisi.
Sejarah Mandailing panjang dan berlapis, seperti ulos yang ditenun sabar. Pernah berada di bawah bayang Kerajaan Aru, lalu tumbuh kerajaan-kerajaan lokal: Nasution, Lubis, Pulungan. Mandailing Godang dan Mandailing Julu bukan sekadar nama wilayah, tapi penanda identitas. Tahun 1998, daerah ini resmi menjadi kabupaten. Lahir di era reformasi, tapi jiwanya jauh lebih tua dari sekadar undang-undang. I do adat, i do ugamo, adat dan agama berjalan seiring, tidak saling mendahului, tidak saling menyingkirkan.
Soal ekonomi, Mandailing Natal tidak berisik, tapi nyata. Sawah terbentang seperti halaman kitab yang belum selesai dibaca. Kopi Mandailing tumbuh pelan, pahitnya jujur, aromanya menempel lama. Karet, jagung, dan sawit jadi denyut harian. Di perut bumi Batang Natal, emas dan batubara tersimpan seperti rahasia lama yang sesekali diperebutkan. Alam di sini bukan sekadar latar belakang foto, tapi sumber hidup yang kalau disalahperlakukan, bisa berubah jadi murka. Gunung Sorik Marapi berdiri seperti guru tua, diam, tapi mengawasi.
Pariwisatanya pun tidak menjual teriakan. Danau Siais tenang seperti orang yang sudah berdamai dengan nasib. Air terjun Sigala-gala jatuh tanpa perlu viral. Gordang Sambilan, ikon Mandailing itu, ditabuh bukan untuk hiburan semata, tapi untuk memanggil nilai, doa, dan ingatan kolektif. Sekali gordang berbunyi, orang tahu, ini bukan sekadar acara, ini peristiwa. Horas ma hita sude, kata adat membuka kebersamaan.
Lalu soal nama yang sering bikin salah paham itu. Mandailing Natal. Mandailing berasal dari kisah panjang tentang “kehilangan ibu”, tentang pergeseran garis keturunan, tentang keberanian membentuk identitas sendiri. Bukan kisah sedih, tapi kisah dewasa. Sementara “Natal” adalah nama tempat, sudah disebut sejak Negarakertagama abad ke-14. Ia ada sebelum kalender gerejawi diperdebatkan di media sosial. Ini Natal yang lahir dari peta, bukan dari misa. Dang adong hubunganna dohot pesta agama, sama sekali tidak ada kaitannya.
Sekarang fakta yang sering membuat orang kota terdiam seperti salah kirim pesan, lebih dari 98 persen warga Mandailing Natal beragama Islam. Ya, hampir seluruhnya. Masjid di sini jumlahnya ribuan. Dari yang tua dengan kayu hitam berusia ratusan tahun, sampai musala kecil di ujung kebun karet. Azan bukan sekadar penanda waktu, tapi penanda hidup. Islam di Mandailing bukan simbol, tapi nafas. Dari adat perkawinan sampai musyawarah kampung, nilai agama mengalir tanpa perlu diteriakkan.
Umat Kristen dan Katolik ada, minoritas, dan hidup berdampingan tanpa perlu spanduk toleransi yang kebesaran. Tidak ada yang merasa terancam, tidak ada yang merasa paling benar. Di sini, rukun bukan jargon, tapi kebiasaan. Sai marsiadapari do hita, saling menghormati, karena hidup terlalu singkat untuk ribut soal nama daerah.
Masjid Raya Panyabungan berdiri seperti saksi zaman. Musala-musala kecil tersebar seperti titik-titik doa di peta. Gordang Sambilan kadang mengiringi acara adat yang sarat nilai Islam, membuktikan bahwa budaya dan iman tidak selalu harus dipisahkan dengan pagar tinggi.
So, Mandailing Natal bukanlah ironi. Ia hanya korban salah paham massal. Seperti kopi Mandailing yang pahit di awal tapi kaya di akhir, daerah ini perlu diseruput pelan. Jangan cuma baca namanya, pahami ceritanya. Karena Mandailing Natal bukan tentang Natal yang nuan kira, tapi tentang Mandailing yang panjang sejarahnya, dalam budayanya, dalam imannya, dan dalam keteguhan warganya menjaga jati diri. Songon i do Madina.
Untuk warga Madina mohon maaf bila ada yang salah. Untuk warga Batak, mohon koreksi bila bahasa Batak saya salah, maklum kursus kilat. (*)
#camanewak
Foto Ai hanya ilustrasi