Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Banjir Featured Istimewa ITB Lintas Peristiwa Spesial

    Pakar ITB Sebut Banjir Bandang Sumatera Disebabkan oleh 3 Faktor - Kompas

    6 min read

     

    Pakar ITB Sebut Banjir Bandang Sumatera Disebabkan oleh 3 Faktor

    Kompas.com, 30 November 2025, 13:53 WIB


    logo appx2
    Lihat Foto

    KOMPAS.com - Pulau Sumatera tengah menghadapi bencana banjir bandang dan logsor di tiga provinsi sejak 24 November 2025 yakni Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat.

    Hingga Jumat (28/11/2025) korban banjir Sumatera sudah mencapai 174 orang yang meninggal dunia, 79 jiwa hilang, dan 12 orang luka-luka.

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

    Pakar dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB) mencermati dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah.

    Dr. Muhammad Rais Abdillah, S.Si., M.Sc. dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer melihat kejadian ini merupakan dampak dari interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah.

    Israel Tetap Serang Lebanon Termasuk Saat Beirut Bersiap Sambut Paus Leo XIV

    Berdasarkan ilmu klimatologis, wilayah Sumatera bagian utara memang sedang berada di masa puncak musim hujan.

    Oleh karena itu kawasan tersebut memiliki distribusi hujan dalam setahun dengan kemungkinan dua kali puncak musim hujan.

    “Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya,” ujar Dr. Rais, dikutip dari situs ITB.

    BMKG yang mencatat curah hujan yang ada di sana lebih dari 300 milimeter dan dikategorikan sebagai curah hujan ekstrem.

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

    Sebagai perbandingan, curah hujan ekstrem mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari di Jakarta banjir besar pada awal Januari 2020.

    Siklon Tropis Senyar dan fenomena atmosfer

    Dr. Rais mengatakan sudah mulai terlihat adanya sistem yang berputar dari Semenanjung Malaysia pada tanggal 24 November.

    "Dalam meteorologi, kita menyebutnya sebagai vortex, meskipun saat itu masih berupa bibit dan matanya belum terlihat jelas,” jelasnya.

    Fenomena itu berkembang menjadi sistem Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat.

    Sistem tersebut cukup untuk meningkatkan suplai uap air, memperkuat pembentukan awan hujan, dan memperluas cakupan presipitasi di Sumatera bagian utara.

    Ketua Program Studi Meteorologi ini juga mengungkap adanya pengaruh fenomena atmosfer skala meso dan sinoptik, seperti vortex siklonik dan indikasi cold surge vortex.

    Hembusan angin kuat dari utara membawa massa udara lembap serta memperkuat pembentukan awan hujan.

    Kondisi ini dapat memperbesar intensitas presipitasi (proses pengendapan) dan risiko banjir di wilayah Sumatera Utara.

    “Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah,” jelasnya.

    Foto udara permukiman warga terdampak banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). BPBD Tapanuli Selatan mencatat hingga Sabtu (29/11) sebanyak 43 korban meninggal dunia di wilayahnya akibat banjir bandang pada Selasa (25/11).
    Lihat Foto

    Tak ada lahan resapan

    Pakar geospasial ITB, Dr. Heri Andreas, S.T., M.T. dari Kelompok Keahlian Sains Rekayasa dan Inovasi Geodesi menjelaskan bahwa banjir dipengaruhi bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi. Bukan hanya soal hujan.

    “Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah,” jelasnya.

    Kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih tinggi.

    Berbeda dengan wilayah yang telah berubah fungsi menjadi permukiman, perkebunan, atau area terbuka tanpa vegetasi.

    Ketika kawasan tersebut terdegradasi, kemampuan infiltrasinya menurun signifikan dan menyebabkan peningkatan runoff (limpasan permukaan) yang jauh lebih besar.

    “Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir,” ujarnya.

    Mitigasi perlu dioptimalkan

    Menurutnya upaya mitigasi banjir tidak boleh hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik seperti tanggul atau normalisasi sungai.

    Penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sangat penting untuk mitigasi jangka panjang.

    “Peta bahaya dan risiko banjir yang kita miliki saat ini belum optimal, karena masih terbatas oleh data geospasial yang akurat dan pemodelan yang komprehensif,” tambahnya.

    Perlindungan kawasan resapan air alami seperti hutan, rawa, dan sempadan sungai juga sangat penting untuk menjaga kapasitas wilayah dalam menyerap air dan mengurangi limpasan.

    Lebih lanjut, Dr. Rais menggarisbawahi pentingnya sistem peringatan dini yang akurat secara ilmiah, komunikatif, dan mudah dipahami masyarakat.

    Prediksi cuaca dan potensi bencana harus dapat diterjemahkan menjadi informasi praktis yang menjawab kebutuhan warga, seperti kapan dan area mana yang berpotensi terdampak serta langkah antisipasi yang harus dilakukan.

    Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang
    Komentar
    Additional JS