Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Bencana Bencana Hidrometeorologi Featured ITB Lintas Peristiwa Spesial Sumatera

    Pakar ITB: Tata Ruang Kunci Pencegahan Bencana Hidrometeorologi di Sumatera - Kompas

    6 min read

     

    Pakar ITB: Tata Ruang Kunci Pencegahan Bencana Hidrometeorologi di Sumatera

    Kompas.com, 5 Desember 2025, 17:51 WIB
    Lihat Foto.

    BANDUNG, KOMPAS.com - Kerusakan lingkungan di Sumatera berkaitan erat dengan tingginya laju deforestasi dan konversi lahan di daerah tangkapan air, khususnya di wilayah Bukit Barisan.

    Hal tersebut disampaikan Saut Aritua Hasiholan Sagala, Kepala Program Studi Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) dan Transportasi ITB dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/12/2025). 

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

    "Terkait kerusakan lingkungan, itu berhubungan dengan bagaimana laju deforestasi di Sumatera yang termasuk tinggi di Indonesia. Dan ini berhubungan juga dengan konversi lahan di daerah tangkapan air,” ujarnya. 

    Pembukaan lahan dan alih fungsi hutan di wilayah hulu menyebabkan daerah aliran sungai (DAS) kehilangan kemampuan untuk menyerap air.

    Ratusan RS dan Puskesmas Terdampak Banjir Aceh-Sumatera

    Akibatnya, saat curah hujan ekstrem dan siklon terjadi, lahan terbuka menyebabkan limpasan air (run-off) meningkat drastis.

    Kecepatan aliran air yang tinggi, ditambah kemiringan lereng, tidak hanya membawa volume air yang besar, tetapi juga material berat seperti kayu gelondongan dan sedimen ke pemukiman di wilayah hilir.

    Kunci Pencegahan Bencana

    Saut menekankan, penguatan tata ruang merupakan salah satu kunci dalam pencegahan bencana hidrometeorologi ke depan.

    Ia menekankan pentingnya penerapan analisis risiko dalam pengambilan keputusan, terutama untuk wilayah hulu dan hilir yang saling terhubung secara ekologis.

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

    "Dalam ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota, setiap alih fungsi lahan dihitung eksternalitasnya, yaitu dampak yang ditimbulkan di luar lokasi izin, terutama ke wilayah hilir. Integrasi pendekatan ini dapat membantu memastikan bahwa pembangunan berjalan selaras dengan aspek keselamatan publik dan keberlanjutan lingkungan," jelasnya.

    Arah Kebijakan Rehabilitasi dan Mitigasi

    Menghadapi situasi darurat ini, Saut menekankan beberapa langkah rehabilitasi dan penguatan kebijakan yang harus segera dilakukan.

    Prioritas utama adalah peninjauan ulang tata ruang untuk mengubah zonasi di daerah berisiko tinggi, seperti sempadan sungai yang harus dibebaskan dari permukiman.

    Selain itu, pemerintah perlu memberlakukan moratorium serta melaksanakan program penanaman kembali (reboisasi) di daerah-daerah yang telah gundul.

    Ia menyerukan agar pembangunan mengadopsi kerangka ekologi politik.

    Yakni setiap pemberian izin dan pembangunan harus melalui perhitungan cost-benefit yang jujur, memastikan manfaat ekonomi tidak hanya sesaat, dan memperhatikan risiko ekologi jangka panjang, termasuk dampak perubahan iklim.

    Untuk mengatasi risiko kerugian finansial tahunan yang mencapai puluhan triliun, Saut menilai Indonesia harus meninggalkan ketergantungan tunggal pada APBN dan beralih ke Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB).

    Strategi ini mengombinasikan retensi melalui penggunaan dana siap pakai dan transfer risiko.

    "APBN saja tidak akan pernah cukup untuk menutupi potensi kerugian tahunan yang bisa mencapai Rp50 triliun, belum lagi ada ancaman seperti climate change. Kita perlu masukkan itu dalam skenario model kita sehingga kita bisa mengatakan kalau terjadi seperti ini kita sudah punya pembiayaan," ujarnya.

    Implementasi transfer risiko telah dimulai dengan program Asuransi Barang Milik Negara (BMN), yang mencakup aset-aset pemerintah seperti bangunan dan jembatan.

    Langkah ini memastikan aset negara terlindungi secara ekonomi, sehingga fokus dana pemerintah dapat dialihkan kepada sektor-sektor yang belum tercakup, terutama masyarakat.

    Menguatkan Dana Pooling Fund Bencana

    Terkait mekanisme baru, Saut berpendapat bahwa Pooling Fund Bencana (PFB) tidak akan langsung mengurangi ketergantungan pada APBN dalam waktu dekat, karena porsi terbesar tetap berada di APBN.

    Namun, PFB berfungsi sebagai penguat pendanaan yang ada, mengisi kekosongan fiskal, dan mengatasi kelambatan administrasi yang sering terjadi dalam penyaluran dana APBN.

    Ia menekankan bahwa PFB harus secara integral dikaitkan dengan pemodelan risiko yang komprehensif untuk memastikan efektivitasnya dalam menutup celah pendanaan yang ada.

    PFB harus memiliki fleksibilitas untuk mengakomodasi keragaman tingkat ekonomi masyarakat.

    “Bagi kelompok yang mampu, mekanisme ini dapat mendorong mereka membeli asuransi untuk perlindungan diri, sementara bagi masyarakat miskin atau ekstrem, PFB dapat membantu melalui skema subsidi atau bantuan langsung,” jelasnya.

    Saut juga menekankan pentingnya edukasi dalam PFB untuk meningkatkan kemampuan mitigasi di tingkat komunitas dan mendorong masyarakat memilih lokasi tinggal yang aman.

    Ia menegaskan bahwa Pooling Fund Bencana berfungsi sebagai mekanisme yang memperkuat pendanaan yang sudah ada demi meningkatkan ketahanan bangsa dalam menghadapi bencana.

    Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang
    Komentar
    Additional JS