Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Assad Dunia Internasional Featured Spesial Suriah

    Satu Tahun setelah Jatuhnya Assad, Apa Saja yang Berubah di Suriah? - Tribunnews

    15 min read

     

    Satu Tahun setelah Jatuhnya Assad, Apa Saja yang Berubah di Suriah? - Tribunnews.com

    Str/Xinhua
    MASA DEPAN SURIAH - Fadi Mohammed Sbeqji mengemasi barang-barangnya saat membongkar tendanya di sebuah kamp di Khirbet al-Joz, provinsi Idlib barat laut, Suriah, 20 November 2025. Setahun setelah tumbangnya rezim Bashar al-Assad, ekonomi Suriah perlahan pulih, tetapi masalah keamanan masih terus mengintai. 
    Ringkasan Berita:
    • Setahun setelah tumbangnya rezim Bashar al-AssadSuriah masih menghadapi keamanan yang rapuh dengan ancaman ISIS dan bentrokan antar kelompok. 
    • Di tengah kepulangan jutaan pengungsi dan kerusakan infrastruktur besar, ekonomi Suriah mulai pulih perlahan


    TRIBUNNEWS.COM - Tanggal 8 Desember 2025 menandai satu tahun sejak jatuhnya diktator Suriah Bashar al-Assad.

    Keluarga Assad sebelumnya telah memerintah Suriah selama lebih dari 50 tahun.

    Hafez Assad sang ayah berkuasa sejak 1971.

    Setelah ia wafat, kekuasaan dilanjutkan oleh putranya, Bashar, pada tahun 2000.

    Pemerintahan otokratis Assad memicu pemberontakan rakyat pada 2011, yang kemudian berubah menjadi perang saudara selama hampir 14 tahun.

    Namun pada 8 Desember 2024, serangan kilat yang dipimpin kelompok milisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) menyebabkan rezim Assad tumbang dengan perlawanan yang sangat minim.

    Assad dan keluarganya kemudian melarikan diri ke Rusia.

    Pada Januari 2025, ketua HTS, Ahmad al-Sharaa, ditunjuk sebagai presiden sementara Suriah.

    Kini setahun berlalu, apa saja yang sudah dan belum berhasil dicapai Suriah?

    Berikut rangkumannya, dilansir DW.

    Keamanan dan Stabilitas

    Suriah kini tidak lagi menghadapi bom barel yang dijatuhkan dari helikopter atau serangan udara Rusia terhadap fasilitas medis.

    Namun, sebagaimana disampaikan dalam pengarahan Dewan Keamanan PBB (DK PBB) pada November, Suriah masih berjuang menghadapi kondisi keamanan yang terfragmentasi.

    Ibu kota Damaskus relatif tenang.

    Menurut Syria Weekly, tingkat kekerasan juga menurun.

    Meski demikian, bentrokan antara pasukan keamanan pemerintah baru dengan kelompok lain, termasuk komunitas Kurdi dan Druze Suriah, masih terjadi, menurut laporan DK PBB.

    Pasukan pro-Assad juga dilaporkan masih beroperasi secara terselubung.

    Kebangkitan kembali kelompok ekstremis ISIS turut menjadi ancaman, memanfaatkan celah keamanan yang belum stabil.

    Laporan terbaru Badan Uni Eropa untuk Suaka (EUAA) menyebut, otoritas baru Suriah belum memegang kendali sepenuhnya atas negara tersebut.

    "Insiden pelanggaran hukum, kriminalitas, dan kekerasan pembalasan terus dilaporkan," tulis lembaga itu.

    Keadilan Transisi Kurang Didukung Pemerintah Pusat

    Salah satu penyebab kekerasan yang masih berlangsung adalah aksi balas dendam terhadap individu yang dianggap kolaborator rezim Assad.

    Karena itu, mekanisme keadilan transisional menjadi sangat penting, menurut Pusat Keadilan dan Akuntabilitas Suriah (SJAC) dalam laporan September lalu.

    Pada Mei, pemerintah mendirikan dua komisi independen, satu untuk mencari ribuan warga Suriah yang masih hilang pascaperang, dan satu lagi untuk menyelidiki kejahatan rezim Assad.

    Menurut SJAC, komisi pertama adalah yang paling aktif, sementara komisi kedua tidak berkembang karena minim dukungan dari pemerintah pusat.

    Kelompok HAM seperti Human Rights Watch juga mengkritik Komisi Nasional untuk Keadilan Transisi Suriah karena hanya menyelidiki kejahatan pemerintah Assad, dan tidak menyentuh pelanggaran yang diduga dilakukan kelompok lain, termasuk HTS dan sekutunya.

    Politik

    Suriah menggelar pemilu parlemen pertamanya yang relatif bebas awal tahun ini.

    Karena kondisi belum memungkinkan, pemilu tidak dilakukan sepenuhnya secara langsung, melainkan sebagian melalui sistem elektoral.

    Al-Sharaa tetap menjabat sebagai presiden sementara hingga konstitusi baru disahkan.

    Saat ini Suriah sedang menyusun konstitusi baru dan telah menggelar dialog nasional untuk membahasnya, meski perbedaan pandangan antara pemerintah sementara dan berbagai komunitas masih tajam.

    Para kritikus menilai al-Sharaa semakin mengonsolidasikan kekuasaan dan menunjukkan kecenderungan otoriter.

    Untuk saat ini, analis memilih sikap “tunggu dan lihat”.

    “Masih terlalu dini berbicara tentang demokratisasi Suriah, tetapi institusi-institusi baru menunjukkan sedikit kemajuan dalam politik elektoral,” tulis Patricia Karam dari Arab Center Washington pada November.

    Suriah kini berada pada titik penentu: bergerak menuju pemerintahan partisipatif atau mundur kembali ke otoritarianisme.

    Kebijakan Luar Negeri

    Di sektor ini, perubahan Suriah tampak paling signifikan.

    Kedutaan-kedutaan besar yang dulu ditutup kini kembali beroperasi.

    Pejabat baru Suriah, termasuk menteri luar negeri serta Presiden al-Sharaa, aktif melakukan kunjungan ke luar negeri,

    Al-Sharaa, yang sebelumnya masuk daftar sanksi dan pernah menjadi buronan terkait afiliasinya dengan al-Qaeda, kini justru berpidato di Majelis Umum PBB pada September.

    Pada November, ia menjadi pemimpin Suriah pertama yang mengunjungi Gedung Putih sejak 1946.

    Para pejabat Suriah juga menjalin kontak dengan seluruh anggota tetap DK PBB, termasuk Rusia dan China.

    Langkah ini dipandang sebagai bentuk pragmatisme diplomatik.

    Rusia, yang dahulu merupakan sekutu Assad dan musuh utama HTS, kini berkomunikasi dengan pemerintahan baru Suriah.

    Namun tantangan terbesar Suriah adalah serangan berulang Israel di wilayahnya.

    “Operasi militer Israel membahayakan warga sipil, meningkatkan ketegangan regional, merusak situasi keamanan yang rapuh, dan mengancam transisi politik,” ujar wakil utusan khusus PBB untuk Suriah, Najat Rochdi.

    Masyarakat

    Banyak warga Suriah yang dahulu melarikan diri karena perang, kini mulai kembali.

    Data terbaru menunjukkan, sekitar 2,9 juta warga telah pulang, termasuk 1,9 juta pengungsi internal dan lebih dari satu juta yang sebelumnya berada di luar negeri.

    Namun, kepulangan itu membawa tantangan besar.

    Menurut Dewan Pengungsi Norwegia, banyak keluarga kembali hanya untuk menemukan rumah mereka telah menjadi puing-puing.

    Pada November, Komite Penyelamatan Internasional melaporkan lebih dari separuh jaringan air dan empat dari lima jaringan listrik di Suriah rusak berat atau tidak berfungsi.

    Biaya rekonstruksi diperkirakan mencapai 250–400 miliar dolar AS, atau bahkan lebih.

    Meski begitu, upaya pemulihan terus berjalan.

    Analisis Mercy Corps berdasarkan citra satelit menunjukkan peningkatan produksi listrik, meski distribusinya belum merata.

    Kantor berita resmi Suriah, SANA, melaporkan bahwa 823 sekolah telah direnovasi dan pekerjaan pada 838 sekolah lainnya masih berlangsung.

    Ekonomi

    Banyak warga yang kembali juga menghadapi kesulitan mencari pekerjaan, karena perang saudara menghancurkan ekonomi Suriah.

    Saat ini sekitar seperempat penduduk hidup dalam kemiskinan ekstrem.

    Namun ada tanda-tanda perbaikan.

    Laporan Bank Dunia pada Juli memperkirakan, ekonomi Suriah akan tumbuh sekitar 1 persen pada 2025.

    Banyak sanksi era Assad telah dicabut, baik secara permanen maupun sementara, sehingga membuka ruang bagi pemulihan ekonomi.

    Dukungan finansial dari negara-negara seperti Arab Saudi dan Qatar, melalui kesepakatan investasi bernilai miliaran dolar, juga diperkirakan dapat membantu.

    Meski begitu, seperti dicatat Tahrir Institute for Middle East Policy, dampaknya pada kehidupan sehari-hari warga Suriah belum terasa signifikan.

    Warga Suriah Ramaikan Jatuhnya Assad di Masjid Umayyad Damaskus

    Bahkan sebelum tanggal 8 Desember, warga Suriah sudah membanjiri kompleks Masjid Umayyad untuk merayakan penggulingan Assad.

    Dilansir Al Jazeera, kerumunan orang, termasuk anak-anak, mengibarkan bendera Suriah, diiringi kembang api yang menghiasi langit.

    Seorang warga bernama Abu Taj (24) mengungkapkan kebahagiaannya menjelang satu tahun tanpa Assad.

    Sepuluh tahun sebelumnya, Abu Taj meninggalkan rumahnya di pedesaan Aleppo setelah rumahnya hancur dalam pertempuran antara rezim dan kelompok anti-Assad.

    Ia kemudian melarikan diri ke Damaskus dan Beirut sebelum akhirnya terbang ke Arab Saudi untuk bergabung dengan ayahnya.

    Setelah satu dekade di pengasingan (delapan tahun di Arab Saudi dan dua tahun belajar di Mesir) Abu Taj kembali ke Suriah.

    Ia tiba lebih dari seminggu sebelum warga dari seluruh negeri berkumpul untuk merayakan operasi yang merebut Damaskus dan memaksa Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia.

    Pada Jumat (5/12/2025), hari Jumat terakhir sebelum peringatan tersebut, Abu Taj salat di Masjid Umayyad sebelum bergabung dengan kerumunan di titik pertemuan utama Damaskus untuk menyaksikan perayaan.

    "Budaya negara ini kini untuk rakyat," ujarnya kepada Al Jazeera, menunjukkan antusiasmenya terhadap arah baru yang ditempuh Suriah.

    Beberapa hari sebelum massa tumpah ruah di Lapangan Umayyah, terlihat jelas betapa besar arti kejatuhan rezim bagi banyak warga Suriah.

    Di seluruh penjuru kota, bendera hijau, putih, dan hitam dipasang di berbagai sudut.

    Di luar Masjid Umayyad, wajah anak-anak dicat dengan garis-garis vertikal hijau, putih, dan hitam, sementara di Lapangan Marjeh, penduduk setempat membuka kantong berisi bendera untuk dijual atau dibagikan.

    Meskipun hampir seluruh kota dihiasi warna-warna revolusi, Lapangan Umayyah menjadi pusat utama perayaan.

    Perayaan dimulai Jumat sore ketika ribuan pemuda dan pemudi menaiki minivan atau skuter menuju bundaran bersejarah kota, tempat puing-puing serangan Israel terhadap Kementerian Pertahanan pada Juli lalu masih terlihat.

    Kemeriahan terus berlangsung hingga Sabtu dini hari.

    Pada Sabtu sore, badai petir dan hujan deras mengguyur Damaskus.

    Banyak warga tetap datang, membawa kenangan pahit selama hidup di bawah Assad, sekaligus harapan bahwa masa depan akan sedikit lebih baik.

    Berdiri di Lapangan Umayyah pada Jumat itu, Rahma al-Taha, seorang pengacara, mengatakan bahwa hari-hari pertama setelah pembebasan terasa kurang aman, namun perlahan situasinya membaik selama setahun terakhir.

    “Semuanya membaik, dan setiap bulan kami melihat hal-hal baru,” ujarnya.

    Rahma mencerminkan perasaan banyak warga yang berbicara kepada Al Jazeera, perasaan yang menurut mereka tidak mungkin diungkapkan secara terbuka selama rezim al-Assad.

    “Ada harapan," ujarnya.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

    Komentar
    Additional JS