Tiga Pekan bertahan, Warga Aceh Akhirnya Kibarkan Bendera Putih | Republika Online
Tiga Pekan bertahan, Warga Aceh Akhirnya Kibarkan Bendera Putih | Republika Online
REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH — Masyarakat di Aceh masif mengibarkan bendera-bendera putih di depan rumah-rumah, dan di titik-titik pengungsian bencana. Kantor-kantor pemerintahan di daerah, pun dikabarkan mengibarkan bendera warna serupa. Pengibaran bendera-bendera putih tersebut bentuk protes, dan respons warga yang tak lagi tahan dengan situasi kebencanaan saat ini.
“Di Bireun, banyak warga dan juga relawan-relawan yang memasang bendera putih karena tidak tahan dengan situasinya yang sudah sangat parah,” kata Rahmiana, seorang warga Banda Aceh yang melakukan kerja-kerja kemanusian di Kabupaten Bireun saat dihubungi Republika dari Jakarta, Senin (15/12/2025). Rahmiana mengirimkan video-video tentang warga Aceh yang menaiki motor untuk membagi-bagikan bendera putih ke warga.
Baca Juga :
Di Lokshukon, seorang warga bernama Siti menyampaikan kepada Republika bendera putih juga berkibar. “Bendera putih itu berkibarnya di Gedung (Pemerintah) Aceh Utara, juga di Masjid Raya,” kata Siti melalui sambungan telefon.
Siti sempat mengalami banjir dengan tinggi airnya mencapai atas rumah di Desa Alumuddin pada 26 November 2025 lalu. Menurutnya, bendera-bendera putih itu bentuk solidaritas bersama seluruh warga Aceh yang saat ini masih dalam kebencanaan.
Baca Juga :
Tetapi lebih dari itu, kata dia, bendera putih, pun sebagai respons, dan protes atas penanganan bencana yang saat ini terjadi di banyak wilayah di Aceh. “Bendera putih itu, artinya kan menyerah. Karena banyak yang meninggal, dan bencananya tidak ditangani dengan baik,” ujar dia.
Siti menuturkan, pada awal bencana sempat mengungsi sampai tujuh hari di rumah-rumah warga yang tak tergenang. Warga masih bisa saling membantu. Termasuk saling menyokong agar semua dapat tempat berlindung, dan bisa makan.
Baca Juga :
“Kami harus melewati deras air sedalam lebih dari dua meter untuk mencapai meunasah (balai desa) untuk mengungsi,” kata dia. Banjir sempat mereda pada hari ke tujuh. Dan dalam keadaan surut itu Siti sempat pulang melihat keadaan rumah.
“Rumah saya karena di jalan lintas Aceh-Medan tidak telalu parah,” ujar Siti. Lalu ia bersama suami mengumpulkan kerabat-kerabatnya untuk membuka posko-posko bantuan. “Ada juga dapur umum dari uang yang dikumpulkan kepala desa untuk bersama,” ujar dia.
Pemerintah daerah, kata Siti, sampai hari ke-20, sejak banjir pertama pada 26 November 2025 memberikan bantuan terbatas berupa beras, dan kebutuhan makanan lain kepada orang-orang tua. Sementara kata Siti, masih banyak warga lainnya yang membutuhkan bantuan.
“Saya bersama-sama warga lainnya yang tidak terlalu parah (terkena dampak), membantu warga yang lainnya, yang rumahnya hanyut dengan membantu mereka untuk hanya bisa survive. Kami mengumpulkan sandang dan pangan semampu kami dari bantuan-bantuan kerabat-kerabat lain dari luar daerah untuk bisa disalurkan ke tempat-tempat pengungsian di Aceh Utara, dan juga di Aceh Timur,” ujar Siti.
Halaman 2 / 4
Ketua Dewan Profesor Syiah Kuala di Banda Aceh, Profesor Izarul Machdar menilai, pemasangan bendera-bendera putih tersebut adalah bentuk protes warga Aceh atas situasi kebencanaan saat ini. “Memang kan sebenarnya, pemerintah daerah sudah dari awal-awal itu sudah mengatakan menyerah,” kata Izarul saat dihubungi Republika dari Jakarta, Senin (15/12/2025).
Kata dia, keadaan yang semakin runyam saat ini membuat sikap menyerah itu juga ‘menular’ ke masyarakat, pun juga relawan-relawan mandiri yang turun ke lapangan untuk membantu. “Bendera putih itu, sikap menyerah warga Aceh saat ini. Dan sinyal-sinyal menyerah itu sebenarnya sudah lama, dari awal-awal penanganan bencana,” ujar dia.
Menurutnya sikap itu, pun protes terhadap pemerintah pusat. Karena menurut Izarul, bendera putih itu respons atas penanganan bencana di Aceh yang hingga saat ini belum membawa pengaruh positif untuk pemulihan situasi. Seperti, kata Izarul masih banyaknya masyarakat terkena banjir bandang dan tanah longsor yang belum mendapatkan bantuan.
Hingga, kata dia, keadaan dan situasi di Aceh pascabenana yang belum juga pulih. “Kita melihat faktanya di sini, sudah tiga pekan penanganan bencana, tidak juga pulih. Listrik masih mati, dan distribusi bantuan yang juga tidak merata,” ujar Izarul. “Jadi itu (bendera putih) memang bentuk protes warga kepada pemerinta pusat, untuk mempercepat penanganan bencana saat ini,” ujar dia.

Lebih dari lima ratus desa di Aceh belum teraliri listrik, hampir tiga pekan setelah banjir dahsyat melanda Sumatera. Warga mengeluhkan masih tersendatnya akses dan bantuan ke wilayah-wilayah terdampak.
“Ini beras hanya tahan seminggu lagi,” kata Jamil, warga Wih Tenang Uken, Permata, Bener Meriah, Senin (15/12/2025). Ia menuturkan, listrik sama sekali belum menyala. Untuk menghubungi keluarga di luar daerah, ia hanya bisa dua hari sekali.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PT PLN (Persero) mendata, sebanyak 562 desa masih belum tersambung listrik. Upaya lapangan berlangsung di tengah akses jalan terputus dan medan lumpur ekstrem.