Upaya Reboisasi Masih Gagal Kejar Laju Deforestasi Nasional - Tirto
Upaya Reboisasi Masih Gagal Kejar Laju Deforestasi Nasional
Upaya reboisasi dari pemerintah masih tak konsisten. Tahun 2024 mencapai 217 ribu ha, tapi, 4 tahun sebelumnya, jika ditotal hanya 167 ribu ha.
tirto.id - Gelombang deforestasi yang kerap melanda wilayah hutan Indonesia ternyata tak mampu dibendung oleh program reboisasi pemerintah. Meskipun melaksanakan penghijauan setiap tahun, upaya itu tak sebanding dengan luasnya hutan dan pepohonan di Indonesia yang lenyap karena berbagai faktor.
Ketimpangan ini membuat upaya penanggulangan bencana ekologis dan sosial imbas kehilangan hutan jadi terasa kurang signifikan.
Berdasarkan laporan resmi yang dikeluarkan pemerintah, tren deforestasi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir memang mengalami penurunan. Dalam 12 tahun terakhir, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kehutanan mencatat bahwa angka deforestasi tinggi, terakhir terjadi pada periode 2014-2015 silam.
Pada periode pertama rezim Presiden RI ke-7 Joko Widodo itu, Indonesia kehilangan hutan seluas 1,09 juta hektare (ha). Kejadian tersebut juga masuk dalam catatan sebagai karhutla terhebat dalam dua dekade terakhir.
Setelah itu, angka deforestasi yang dicatat pemerintah terus mengalami penurunan. Namun di periode 2023-2024 atau pengujung masa pemerintahan Jokowi, deforestasi netto tercatat seluas 175,4 ribu ha, sedikit meningkat dalam dua tahun terakhir. Untuk diketahui, penghitungan deforestasi netto pemerintah adalah luas deforestasi dikurangi dengan luas upaya reforestasi atau reboisasi.

Perbedaan antara deforestasi kawasan hutan dan bukan kawasan hutan atau biasa disebut areal penggunaan lain (APL) juga menunjukkan dinamika penting. Lenyapnya tutupan hutan yang terus terjadi di luar kawasan hutan yang biasanya merupakan wilayah target ekspansi perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI), serta tambang. Ini bisa jadi penanda bahwa meski angka deforestasi menurun, kerusakan ekologis di luar kawasan hutan tetap signifikan.
Sementara itu, perbedaan metodologi dan pencatatan deforestasi antara versi pemerintah dengan lembaga independen pengawas hutan, membuat potret faktual kondisi deforestasi Indonesia menjadi buram. Deforestasi yang dicatat pemerintah berpeluang lebih kecil dari realitas yang terjadi di lapangan.
Auriga Nusantara misalnya mencatat pada 2024, deforestasi kembali naik menjadi 261.575 ha dari 257.384 ribu ha di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan tren lonjakan ulang setelah beberapa tahun relatif stabil.
Data Auriga memperlihatkan puncak deforestasi pada 2016, saat itu lebih dari 1 juta ha hutan menghilang, sejalan dengan fakta karhutla hebat yang terjadi. Setelah 2016, data deforestasi yang dicatat Auriga menurun tajam, tetapi stabil di angka 200 ribu ha dalam 4 tahun belakangan.
Perbedaan utama, data Auriga menggunakan metode overlay dari citra satelit independen University of Maryland dan memakai Auriga Nusantara's STADI (Status Deforestasi Indonesia) sekaligus dilengkapi dengan pemantauan lapangan. Hal ini mencerminkan kondisi tutupan pohon sebenarnya tanpa mengikuti batas-batas birokrasi.
Sepanjang 2024, tim peneliti Auriga Nusantara mengunjungi area-area deforestasi di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat Daya, serta Papua. Secara keseluruhan, area deforestasi 2024 yang dikunjungi Auriga Nusantara merepresentasi area deforestasi seluas 22.350 ha.
Tahun lalu, Auriga mencatat bahwa deforestasi terjadi di seluruh pulau besar di Indonesia. Peningkatan deforestasi terjadi di wilayah Kalimantan dan Sumatera, sementara deforestasi di Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tercatat menurun.
Dilihat dari status penguasaan lahan, 57 persen deforestasi terjadi pada lahan yang dikuasai negara atau kawasan hutan. Tiga provinsi penyumbang deforestasi terbesar yakni wilayah Kalimantan Timur (44.483 ha), Kalimantan Barat (39.598 ha), dan Kalimantan Tengah (33.389 ha). Ini membentuk pola struktural bahwa pusat industri ekstraktif serta komoditas perkebunan menjadi episentrum kerusakan hutan.
Dengan begitu, Kalimantan kembali menjadi pulau pemilik deforestasi tahunan terluas pada 2024. Catatan Auriga, Kalimantan mengalami deforestasi tahunan terluas secara beruntun dalam 11 tahun terakhir. Berbeda dengan pulau lainnya yang cenderung stagnan, laju deforestasi di Kalimantan justru meningkat drastis setiap tahun, sejak 2021.
Ditilik secara komoditas, dampak pengembangan kebun kayu (29.898 ha), tambang (23.583 ha), dan sawit (23.430 ha) menjadi sebab utama deforestasi di Kalimantan. Deforestasi oleh ketiga komoditas ini mencakup 59 persen deforestasi di seluruh Pulau Kalimantan.
Program Reboisasi Belum Jadi Prioritas
Di sisi lain, data reboisasi menunjukkan fluktuasi besar selama satu dekade terakhir. Periode 2014–2018, luas upaya reboisasi pemerintah relatif kecil–berkisar sekitar 7 sampai 26 ribu ha per tahunnya. Ini menandakan bahwa program penghijauan belum menjadi prioritas serius.
Lonjakan baru tampak pada 2019 ketika luasan reboisasi mencapai 206 ribu ha. Sebelum kemudian turun kembali dan naik signifikan pada 2024 mencapai 217.900 ha, titik tertinggi selama satu dekade terakhir.
Namun, luasan wilayah reboisasi tidak otomatis berarti pemulihan ekologis. Banyak program reboisasi pemerintah adalah penanaman kembali di luar kawasan hutan atau menggunakan tanaman monokultur. Secara ekologis, aksi itu tidak setara dengan pemulihan hutan primer yang hilang.
Jika dibandingkan dengan total deforestasi yang tercatat, luas reboisasi pemerintah masih sangat kecil. Dalam sepuluh tahun, total reboisasi hanya sekitar 698 ribu ha, tetapi tidak berarti banyak ketika deforestasi tahunan di masa lalu bisa mencapai 1 juta ha.
Juru Kampanye Auriga, Hilman Afif, menyatakan secara umum memang tren deforestasi di Indonesia beberapa tahun terakhir terlihat menurun dalam laporan resmi. Namun gambaran di lapangan, kata dia, menunjukkan cerita lebih kompleks.
“Kita melihat bahwa penurunan itu banyak dipengaruhi faktor jangka pendek seperti berkurangnya kebakaran besar dan kebijakan moratorium izin, sementara tekanan terhadap hutan sebenarnya tidak hilang,” kata Hilman Afif kepada wartawan Tirto, Selasa (2/11/2025).
Hilman menambahkan, bentuk kehilangan hutan di Indonesia bergeser. Praktiknya bukan lagi pembukaan besar-besaran seperti era ekspansi sawit pada awal 2000-an, tapi fragmentasi, degradasi, dan konversi yang lebih tersebar. Terutama di sekitar pusat tambang dan proyek infrastruktur nasional.
Jika bicara wilayah yang paling kritis saat ini, tekanan terbesar terlihat di berbagai provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera, kata Hilman, kehilangan hutan banyak dipicu oleh kombinasi ekspansi perkebunan sawit dan perluasan kebun kayu. Banyak kawasan hutan yang tersisa kini terfragmentasi sehingga lebih rentan terhadap perambahan dan konversi.
Sedangkan di Kalimantan, tekanan utama deforestasi datang dari aktivitas pertambangan batu bara dan mineral, pembangunan infrastruktur seperti jalan serta kawasan industri, dan ekspansi perkebunan serta kebun kayu.
“Meskipun faktor pemicunya berbeda di tiap provinsi, pola umum yang terlihat adalah bahwa laju pembangunan dan eksploitasi ruang berjalan lebih cepat daripada kapasitas ekosistem untuk pulih,” tegas Hilman.
Indonesia Nomor 5 Dunia Kehilangan Tutupan Hutan
Secara global, World Resources Institute (WRI) menempatkan Indonesia pada posisi kelima dunia dengan kehilangan tutupan hutan terbesar, mencapai 32 juta ha selama periode 2001-2024. Angka tersebut jauh di atas negara Asia dan Pasifik lainnya seperti Malaysia dan Australia, menunjukkan skala kerusakan struktural yang masif terjadi selama dua dekade terakhir.
Kehilangan hutan sebesar itu jelas belum mampu dipulihkan program reboisasi pemerintah yang hanya mencapai ratusan ribu hektare selama satu dekade terakhir. Jika ditempatkan dalam konteks reboisasi pemerintah, fakta ini memperlihatkan jurang disparitas yang sangat jauh.
Kendati demikian, dalam agenda COP30 di Belém, Brasil, November 2025 lalu, Pemerintah Indonesia berjanji mempercepat rehabilitasi hutan lewat pendekatan agroforestri regeneratif.
Penasihat Utama Menteri Kehutanan, Silverius Oscar Unggul, menyebut bahwa Indonesia menyampaikan target besar memulihkan 12,7 juta ha hutan, memakai pola agroforestri regeneratif. Yakni memadukan tanaman kayu dan komoditas bernilai ekonomi, seperti kopi, kakao, dan pala.
Pendekatan ini dinilai strategis dalam memulihkan fungsi ekosistem. Pemerintah mengklaim pola ini juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
“Agroforestri regeneratif adalah jalan tengah terbaik. Dengan model ini, hutan pulih dan ekonomi rakyat tumbuh. Kami ingin memastikan bahwa pemulihan 12,7 juta hektare, membawa manfaat bagi lingkungan sekaligus bagi masyarakat,” ucap Silverius yang akrab disapa Onte seperti dilansir RRI, Rabu (19/11/2025) silam.
Narasi serupa juga digaungkan Utusan Khusus Presiden RI Bidang Energi dan Perubahan Iklim Hashim Djojohadikusumo. Dalam rapat koordinasi akhir jelang COP30, Rabu (29/3/2025), dia menegaskan kalau proses penghijauan kembali lahan seluas 12 juta ha akan diupayakan agar berdampak baik bagi lingkungan, juga kepada masyarakat.
"12 juta hektare dalam waktu tidak satu tahun atau dua tahun, tentu, tetapi kita harus mulai dan program yang kita tawarkan adalah program yang unik," ucapnya, dikutip dari Antara.
Dia juga menyebut kalau rencana reforestasi jutaan ha lahan itu sudah disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat pada 23 September 2025.

Gap reforestasi dan deforestasi masih signifikan
Meskipun data deforestasi pemerintah Indonesia mengklaim keberhasilan terjadi penurunan, data WRI menunjukkan bahwa kerusakan kumulatif tetap tinggi.
Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios), Zakiul Fikri, menilai untuk memulihkan keadaan tutupan hutan yang telah musnah hingga jutaan hektare, upaya pemerintah menargetkan reboisasi hingga 12,7 juta ha tampak meragukan dan terlalu kecil. Bukan tanpa alasan, ungkap Fikri, sebab sejarah deforestasi telah panjang terjadi di Indonesia.
Artinya, angka 32 juta ha tutupan hutan yang berkurang versi WRI, belum ditambah dengan laju deforestasi yang dilakukan pada era sebelum tahun 2000. Ini menandakan upaya reboisasi pemerintah belum cukup mampu mengobati luka yang telah digoreskan bagi hutan Indonesia.
“Selain itu, target reboisasi 12,7 juta hektar tidak berjalan lurus dengan rencana pembukaan seluas 20 juta hektare hutan untuk kebutuhan energi dan pangan yang semakin mendorong laju deforestasi terjadi. Jadi, bisa dibilang kebijakan reboisasi ini tidak akan berjalan efektif untuk memulihkan kerusakan hutan yang terjadi,” kata Fikri kepada wartawan Tirto, Selasa (2/11/2025).
Sementara itu, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menilai bahwa gap antara laju deforestasi dan upaya reforestasi masih cukup signifikan. Deforestasi Indonesia tahun 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu ha, dengan realisasi reforestasi yang disebut Kementerian Kehutanan mencapai 40,8 ribu ha.
Namun angka itu dinilai Arie masih perlu dipertanyakan karena tidak ada bukti kuat bahwa pemerintah mampu menunjukkan bukti peta reforestasi dilakukan.
“Apa bentuk reforestasinya, apakah hutan alam atau hutan tanaman industri yang dimaksud dengan reforestasi,” ujar Arie kepada wartawan Tirto, Selasa (2/11/2025).

Arie menilai, upaya reboisasi dan reforestasi yang dilakukan pemerintah saat ini tidak efektif dilakukan dalam melindungi atau mengembalikan fungsi hutan ke kondisi alaminya. Seperti fungsi ekologis yang meliputi penyerap karbon dan oksigen, pengatur siklus air, pencegah bencana alam, sumber keanekaragaman hayati dan pangan, hingga sumber ekonomi dan sosial bagi masyarakat adat.
Hal ini karena transparansi dan tata kelola yang baik di sektor kehutanan belum dijalankan maksimal. Ditambah lemahnya penegakan hukum dan korupsi merajalela di sektor ekstraktif yang gagal dijalankan.
“Dampak ekologisnya keseimbangan alam terganggu, dan krisis iklim semakin meningkat, seperti bencana iklim dan ekologis mengancam serta menghilangkan nyawa manusia. Ini merugikan perekonomian dan masa depan generasi ke depan mengalami ketidakpastian,” tegas Arie.