Venezuela Siaga, Maduro Minta Bantuan Kolombia Hadapi Tekanan AS - Tribunnews
Venezuela Siaga, Maduro Minta Bantuan Kolombia Hadapi Tekanan AS - Tribunnews.com
Ringkasan Berita:
- Presiden Venezuela Nicolas Maduro menyerukan kerja sama militer dengan Kolombia untuk menghadapi tekanan AS, yang dinilainya berpotensi mengarah pada intervensi asing.
- Pemerintah Kolombia belum menyatakan kesediaan bergabung, memilih jalur diplomasi mengingat hubungan strategis Bogotá dengan Amerika Serikat.
- Konflik memanas sejak nasionalisasi era Hugo Chávez, diperparah sanksi AS, pengakuan AS terhadap Juan Guaidó pada 2019, hingga ancaman terbaru Trump yang menuding Venezuela mencuri aset AS.
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengeluarkan seruan mendesak kepada Kolombia untuk membangun solidaritas militer.
Pernyataan itu disampaikan Maduro menyusul meningkatnya ketegangan antara Caracas dan Washington yang disebutnya telah mencapai titik kritis.
Terlebih belakangan ini Washington semakin meningkatkan tekanan terhadap Caracas, termasuk ancaman untuk menetapkan pemerintahan Maduro sebagai Organisasi Teroris Asing (Foreign Terrorist Organization/FTO).
Tak hanya itu Presiden AS Donald Trump juga kerap mengerahkan kekuatan militer besar di sekitar kawasan Amerika Selatan.
Bagi Maduro, langkah-langkah ini dipandang sebagai sinyal eskalasi yang berpotensi membuka jalan bagi intervensi militer asing terhadap Venezuela.
Oleh karena itu pemerintah Maduro meminta Kolombia menjadi aktor kunci, mengingat negara tersebut berbatasan langsung dengan Venezuela dan secara historis kerap dijadikan titik strategis dalam dinamika keamanan regional.
Maduro menilai jika Kolombia bersikap netral atau justru berpihak pada Washington, maka wilayah perbatasan berisiko menjadi jalur tekanan militer atau logistik terhadap Venezuela.
Selain itu Maduro juga ingin membangun front regional anti-intervensi.
Dengan menggandeng Kolombia, negara yang selama bertahun-tahun memiliki hubungan tegang dengan Caracas Maduro ingin menunjukkan bahwa ancaman terhadap Venezuela bukan sekadar isu bilateral dengan AS, melainkan persoalan kedaulatan Amerika Latin secara kolektif.
Dalam narasinya, persatuan militer regional dianggap sebagai “jaminan terbesar” untuk menjaga perdamaian dan mencegah skenario perubahan rezim yang didukung kekuatan asing.
Melalui cara ini Maduro berupaya mengonsolidasikan dukungan internal dengan menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang siap menghadapi ancaman eksternal.
Dengan mengangkat isu kolonialisme, perampasan sumber daya, dan kedaulatan nasional, Maduro memosisikan konflik dengan AS sebagai perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara, sekaligus menggalang solidaritas regional sebagai tameng politik dan militer.
Kolombia Belum Buka Suara
Terkait respons Kolombia, hingga kini pemerintah Kolombia belum menyatakan kesediaan untuk memenuhi seruan Maduro tersebut.
Secara resmi, Bogotá cenderung mengambil sikap hati-hati. Pemerintah Kolombia menegaskan komitmennya pada stabilitas regional, prinsip non-intervensi, dan penyelesaian konflik melalui jalur diplomatik, tanpa secara terbuka mendukung aliansi militer dengan Venezuela.
Kolombia juga berada dalam posisi sensitif karena hubungan strategisnya dengan Amerika Serikat, baik di bidang keamanan maupun ekonomi.
Bergabung dalam solidaritas militer dengan Venezuela berisiko memperumit hubungan tersebut.
Karena itu, alih-alih merespons seruan Maduro dengan dukungan militer, Kolombia lebih menekankan dialog regional dan menjaga agar ketegangan Venezuela–AS tidak meluas menjadi konflik bersenjata di kawasan.
Kronologi Ketegangan Venezuela–Amerika Serikat
Konflik panas antara Venezuela–Amerika Serikat pertama kali bermula sejak akhir 1990-an, ketika Hugo Chávez terpilih sebagai Presiden Venezuela pada 1998 dengan agenda sosialisme dan nasionalisasi sumber daya alam, khususnya minyak.
Kebijakan tersebut bertentangan langsung dengan kepentingan perusahaan dan pemerintah Amerika Serikat yang selama puluhan tahun memiliki pengaruh kuat di sektor energi Venezuela.
Hubungan memburuk signifikan sejak 2017, ketika AS mulai memberlakukan sanksi ekonomi luas terhadap Venezuela, termasuk pembatasan ekspor minyak dan pembekuan aset negara.
Washington berdalih sanksi bertujuan menekan pemerintahan Maduro agar menggelar pemilu bebas, namun Caracas menilai langkah itu sebagai “perang ekonomi” yang melumpuhkan perekonomian nasional.
Puncak ketegangan terjadi pada 2019 saat AS secara terbuka mengakui pemimpin oposisi Juan Guaidó sebagai presiden sementara Venezuela.
Langkah tersebut ditolak keras Maduro dan memicu tuduhan campur tangan langsung terhadap kedaulatan negara. Sejak itu, retorika permusuhan terus berlanjut, disertai manuver militer AS di kawasan Karibia dan peningkatan tekanan diplomatik.
Dalam eskalasi terbaru, Trump menuding Venezuela telah “mencuri” aset dan sumber daya milik Amerika, termasuk minyak, serta mengklaim bahwa kekuatan militer AS telah mengepung Venezuela.
Tuduhan ini dibantah keras Maduro, yang menyebutnya sebagai dalih kolonialisme untuk membenarkan intervensi asing.
Dengan meningkatnya retorika keras dari kedua belah pihak, konflik Venezuela–AS kini kembali memasuki fase sensitif. Ancaman sanksi baru, tekanan militer, dan tuduhan perubahan rezim menempatkan kawasan Amerika Latin dalam risiko ketegangan geopolitik yang lebih luas.
(Tribunnews.com / Namira)