Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Bencana Featured Istimewa Spesial Walhi

    Walhi Sebut Banjir di Pulau Sumatra Akibat Eksploitasi Hutan Sejak Soeharto Jadi Presiden - NU Online

    4 min read

     

    Walhi Sebut Banjir di Pulau Sumatra Akibat Eksploitasi Hutan Sejak Soeharto Jadi Presiden

    NU Online  ·  Selasa, 2 Desember 2025 | 17:30 WIB


    Gambar hanya sebagai ilustrasi kerusakan hutan. (Foto: freepik)

    Ahmad Solkan

    Jakarta, NU Online

    Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menyebut banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) bukan semata disebabkan faktor alam.


    Menurutnya, bencana tersebut merupakan konsekuensi panjang dari eksploitasi hutan yang terjadi sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto.


    Ia menjelaskan, praktik perusakan hutan di Pulau Sumatra berlangsung dalam waktu lama dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI), alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, praktik tambang ilegal, perluasan permukiman hingga pembangunan jalan yang membuka kawasan hutan.

    Baca Juga

    Data Terbaru Korban Bencana di Aceh, Sumut, Sumbar: 659 Jiwa Meninggal, 475 Orang Masih Hilang


    "Jadi semua itu terjadi kolektif kan. Kesalahan kolektif jadinya yang nambang ilegal dibiarkan, yang buka sawit saat sudah panen baru jadi kasus. Harusnya kan sebelum dibuka menjadi kasus. HTI sudah menebang kayu sebegitu luas. Jadi, itu bagian dari praktik yang bisa dilihat secara fakta," ujarnya saat dihubungi NU Online pada Selasa (2/12/2025).


    Nur menilai kerusakan ekologis tersebut tidak hanya terjadi pada masa kini. Sejak era presiden-presiden sebelumnya, praktik penebangan hutan, aktivitas tambang, dan pembukaan lahan untuk perkebunan sudah berlangsung tanpa pengendalian yang memadai. Hal itu memperburuk daya dukung lingkungan hingga memicu bencana yang kini dirasakan masyarakat.


    Di balik ketenaran Pulau Sumatra sebagai penghasil sawit terbesar di Indonesia, tersimpan ironi berupa penurunan kualitas lingkungan. Pembukaan hutan untuk sawit yang berdampingan dengan permukiman membuat daerah semakin rentan terhadap bencana.


    Nur menegaskan bahwa kemampuan tanah di Sumatra untuk menampung air semakin melemah akibat perubahan struktur tanah dan sungai. Perubahan tersebut merupakan dampak aktivitas manusia yang mengubah bentang alam.

    Baca Juga

    Hari Ke-5 Pasca-Banjir di Aceh: 443 Ribu Jiwa Mengungsi, 173 Orang Meninggal


    "Jadi sungai-sungai di Sumatra ini pada rusak. Ketika sungai tidak bisa menjadi tempat penampung air, berubah menjadi tempat bebatuan, itu kan menjadi daya rusak yang tinggi," jelasnya.


    "Hutan yang besar hilang di Sumatra ini, indikasi bahwa struktur tanah kita ini mengalami penurunan kualitas," lanjutnya.

    Baca Juga

    LPBI dan LK PWNU Sumut Gelar Pemeriksaan Kesehatan bagi Warga Terdampak Bencana Banjir

    Desakan Penetapan Status Bencana Nasional

    Nur menilai kondisi banjir yang terjadi di berbagai daerah di Pulau Sumatra sudah sangat memprihatinkan. Ia mendorong pemerintah menetapkan bencana tersebut sebagai bencana nasional agar penanganan dapat dilakukan secara lebih cepat dan menyeluruh. Bahkan, menurutnya, pemerintah dapat membuka peluang bantuan internasional jika kapasitas nasional tidak mencukupi.


    "Karena bagaimanapun, korban-korban banjir ini perlu dibantu. Mau dari segi kemanusiaan, ekonomi rakyat, iklim, mau dari segi apapun rakyat ini harus dibantu menurut saya. Kalau dari segi kemanusiaan dari kabupaten atau provinsi tidak akan sanggup," tegasnya.


    Ia menambahkan, setelah masa tanggap darurat selesai, pemerintah perlu menyiapkan langkah pemulihan ekonomi dan lingkungan jangka panjang agar dampak bencana tidak kembali berulang.

    Baca Juga

    Komentar
    Additional JS