Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Tidak Ada Kategori

    5 Fakta Film G30S/PKI, Wajib Diputar Era Soeharto, Pecahkan Rekor Penonton hingga Dilarang - Tribunnews

    7 min read

    5 Fakta Film G30S/PKI, Wajib Diputar Era Soeharto, Pecahkan Rekor Penonton hingga Dilarang - Tribunnews

    Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lazim dikenal dengan nama Pengkhianatan G30S/PKI masih kontroversi.

    Selasa, 29 September 2020 23:50

    tribunnews
    Poster Pengkhianatan G 30 S PKI dirilis oleh PPFN (1984) 

    SERAMBINEWS.COM – Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lazim dikenal dengan nama Pengkhianatan G30S/PKI masih kontroversi.

    Bahkan film yang diproduksi Perum Perusahaan Film Negara (PPFN) tahun 1984 tersebut kerap disebut sebagai propaganda ala rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto kala itu.

    Film tersebut merupakan film yang menceritakan mengenai kekejaman PKI dan cerita tentang detik-detik bagaimana para perwira tinggi militer Indonesia diculik sebelum kemudian dibantai hingga akhirnya dikubur menjadi satu lubang yang kemudian disebut sebagai lubang buaya.

    Berikut ini beberapa fakta seputar film G30S/PKI tersebut:

    1. Besutan Sutradara Arifin C Noer

    Film G30S/PKI merupakan besutan sutradara kawakan Arifin C Noer.

    Film ini dalam pembuatannya menghabiskan anggaran sebesar Rp 800 juta, dan pengerjaannya memerlukan waktu dua tahun.

    Arifin sebelumnya juga pernah membuat film berjudul Serangan Fajar, Suci Sang Primadona, Petualang Petualang, Harmonikaku, dan Yuyun.

    2. Tahun 1984 Memecahkan Rekor Penonton DKI

    Berdasarkan data Harian Kompas (31/12/1984), pada tahun 1984 film ini memecahkan rekor penonton wilayah DKI melebihi film-film sebelumnya.

    Film ini sampai Desember 1984 DKI Jakarta menarik penonton hingga 699.282.

    Jumlah tersebut mengungguli top box office 1982 yakni Nyi Blorong yang mencetak penonton 354.790 penonton.

    3. Menjadi Film Wajib di Era Soeharto

    Usai dibuat, film ini menjadi film yang selalu diputar selama 13 tahun tiap menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Era Kepemimpinan Soeharto.

    Oleh karena itu banyak yang menyebut fim G30S/PKI merupakan film propaganda ala rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.

    4. Berhenti di Era Reformasi

    Setelah terus menerus diputar selama 13 tahun, Film G30S/PKI tak lagi menjadi film wajib usai Soeharto lengser dan masuk era reformasi.

    Pemberitaan Harian Kompas 30 September 1998 menyebutkan saat itu, Departemen Penerangan beralasan film tersebut sudah terlalu sering ditayangkan.

    "Karena terlalu sering diputar, filmnya juga sudah kabur," ucap Dirjen RTF Deppen Ishadi SK.

    Sementara itu, Menteri penerangan Muhammad Yunus juga berpendapat pemutaran film G30S/PKI tak sesuai dinamika reformasi.

    5. Menuai Banyak Pro dan Kontra

    Film ini menuai pro dan kontra banyak kalangan.

    Sebagian kalangan percaya mengenai brutalnya kisah yang disajikan.

    Sedangkan sebagian yang lain meragukan cerita yang ditampilkan sama seperti sejarah yang sebenarnya terjadi saat itu.

    • 5 Warga Sipil Tewas dalam Serangan Roket di Baghdad, Dua wanita dan Tiga Anak Kecil

    • Frank Lampard Mengamuk di Ruang Ganti, Bek Chelsea Ini Kena Semprot

    Tak Lagi Wajib Disiarkan

    Sejak tumbangnya era Orde Lama, hampir setiap tahun menjelang akhir September dan awal Oktober, pembahasan mengenai peristiwa yang mengubah arah sejarah di Indonesia selalu menyuguhkan tema serupa, yakni mengenai pengkhianatan dan penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI).

    Pembahasan ini selalu menjadi topik hangat.

    Berbagai pro dan kontra selalu menghiasi diskusi dan perdebatan tentang hal ini.

    Pada periode kepemimpinan Presiden Soharto, sebuah film legendaris berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lazim dikenal dengan nama Pengkhianatan G30S/PKI wajib diputar di seluruh bioskop dan stasiun televisi Tanah Air.

    Film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984 ini disutradari dan ditulis oleh Arifin C Noer.

    Kala itu, ia menghabiskan waktu dua tahun untuk memproduksi film yang menghabiskan anggaran Rp 800 juta tersebut.

    Setelah selesai, film berdurasi 3 jam itu lalu ditayangkan dan diputar secara terus menerus menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila selama 13 tahun.

    Kemudian, peristiwa reformasi mengubah kembali arah sejarah Bangsa Indonesia.

    Selang empat bulan setelah setelah jatuhnya Soeharto, Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar film ini.

    Arsip pemberitaan Harian Kompas 30 September 1998 menyebutkan, kala itu, Departemen Penerangan beralasan, film ini sudah terlalu sering ditayangkan.

    "Karena terlalu sering diputar, filmnya juga sudah kabur," ucap Dirjen RTF Deppen Ishadi SK.

     Bahkan Menteri Penerangan Muhammad Yunus berpendapat, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.

    "Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan Lagi Film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Muhammad Yunus seperti dikutip dari Harian Kompas, 24 September 1998.

    Selain itu, kalangan seniman, pengamat film, serta artis juga menyuarakan hal serupa.

    Menurut pemberitaan Harian Kompas, 2 September 1998, sutradara film Eros Djarot saat itu menolak pemutaran film.

    "Film itu sangat tidak perlu diputar," kata Eros.

    Hal senada juga digaungkan Ketuam Umum Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (PB PARFI) periode 1993-1998, Ratno Timoer.

    Ada pula yang menganggap, film ini menyimpan rasa dendam yang tidak menguntungkan.

    Sebagai gantinya, Deppen bekerja sama dengan Depdikbud menyiapkan telesinema berjudul Bukan Sekedar Kenangan.

    Film Pengkhianatan G30S/PKI pun akhirnya tak lagi wajib diputar.

    "Bukan Sekedar Kenangan"

    Pemutaran film tahunan yang menjadi agenda wajib itu pun dibatalkan.

    Menurut Dirjen Kebudayaan Depdikbud, Edi Sedyawati, film Bukan Sekedar Kenangan pada awalnya disiapkan sebagai tayangan penunjang yang juga disiarkan pada tanggal 30 September.

    Sehingga sebagai gantinya, tayangan ini yang awalnya disiapkan sebagai film beralih menjadi sajian utama.

    Film berdurasi 72 menit ini adalah episode pertama dari trilogi yang ditayangkan pada waktu berbeda.

    Sinema Bukan Sekedar Kenangan berkisah mengenai trauma seorang kepala keluarga akan peristiwa G 30S yang diperankan oleh Dina Lorenza, Atalarik Syach, dan Derry Drajat.

    Tokoh utama yang diperankan Dina Lorenza (Fitria) akhirnya berusaha mencari tahu soal trauma itu.

    Keingintahuannya kemudian membawa Fitria sampai ke Yogyakarta.

    Di sini dia bertemu dengan Prapti, adik kandung ayahnya.

    Wanita setengah baya tersebut terganggu jiwanya akibat melihat langsung suaminya disiksa pada 33 tahun lalu.

     Tayangan arahan Jonggi Sihombing ini merupakan proyek Dirjen Kebudayaan Depdikbud dan menghabiskan biaya hingga Rp 100 juta.

    • Pendaftaran Calon Rektor IAIN Lhokseumawe Dibuka, Dua Doktor Sudah Mendaftar

    • 7 Pahlawan Revolusi Dievakuasi dari Sumur Lubang Buaya Pada 4 Oktober 1965, Gugur oleh G30S/PKI

    • Siswi SMAN Modal Bangsa Teliti Nilam Aceh Sebagai Medicated Oil, Masuk Finalis KiHajar STEM 2020

    Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "5 Fakta Film G30S/PKI, dari Film Wajib Era Soeharto hingga Pecahkan Rekor Penonton"

    Ikuti kami di
    Editor: faisal
    Sumber: Kompas.com
    Komentar
    Additional JS