Peringatan Buat Pemerintah yang Ingin Ratifikasi Perjanjian FIR Singapura Lewat Perpres Halaman all - Kompas

 

Peringatan Buat Pemerintah yang Ingin Ratifikasi Perjanjian FIR Singapura Lewat Perpres Halaman all - Kompas.com

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berjalan bersama Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kanan) di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Pertemuan tersebut membahas upaya penguatan kerja sama bilateral yang mana pada tahun ini merupakan tahun peringatan 55 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Singapura.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana meratifikasi perjanjian Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura melalui Peraturan Presiden (Perpres). Meski dibenarkan, namun Pemerintah diingatkan pentingnya evaluasi DPR untuk perjanjian kerja sama strategis ini.

"Perjanjian FIR 1995 juga dengan Perpres (dulu Keppres). Tapi menurut Pasal 11 UU Perjanjian Internasional harus dievaluasi oleh DPR," ungkap Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (17/2/2022).

Adapun aturan tersebut ada dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Bunyinya adalah sebagai berikut:

(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

"Tapi kalau pengambil kebijakan sudah punya mau apalagi DPR-nya sudah dikuasai, apapun jadi," kata Hikmahanto.

Video Rekomendasi

Sejarah TNI, Sang Penegak Kedaulatan Negara

Perjanjian antara Indonesia dan Singapura soal FIR ini sendiri masih menuai kritik karena tak membuat Indonesia betul-betul menguasai wilayah udara di Kepulauan Riau (Kepri), Tanjungpinang, dan Natuna.

Sebelumnya Pemerintah mengklaim berhasil mengambil alih FIR di ruang udara tersebut setelah sejak merdeka berada dalam penguasaan Singapura.

Namun dalam perjanjian kerja sama yang dilakukan pada Selasa (25/1/2022) lalu, Indonesia masih memberikan izin pengelolaan ruang udara di sekitar Kepri kepada Singapura.

Delegasi pelayanan jasa penerbangan pada area tertentu diberikan kepada otoritas Singapura untuk penerbangan dengan ketinggian 0-37.000 kaki. Adapun penerbangan 37.000 feet ke atas baru masuk dalam pengelolaan Indonesia.

Sementara traffic atau lalu lintas penerbangan sipil jarang berada pada ketinggian di atas 37.000 feet. Ppenerbangan sipil di atas 37.000 kaki biasanya hanya untuk melintas.

Perjanjian FIR ini berada satu paket dengan kesepakatan soal Defense Cooperation Agreement (DCA) dan ekstradisi buronan.

Salah satu poin dari DCA ini mengizinkan militer Singapura berlatih di ruang udara Indonesia. Perjanjian soal DCA sendiri sudah pernah dilakukan antara Indonesia dan Singapura tahun 2007 di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) namun akhirnya tak diratifikasi karena banyak penolakan.

Sementara itu perjanjian ekstradisi memungkinkan Indonesia memulangkan kembali buronan yang lari ke Singapura beserta asetnya. Namun Hikmahanto menilai paket perjanjian ini berat sebelah.

"Mengapa kok pemerintah mau tandemkan dengan perjanjian Pertahanan yang tahun 2007 dipermasalahkan karena banyak peluang bagi Singapura untuk melanggar kedaulatan Indonesia?" tuturnya.

"Dalam narasi pemerintah selalu dikatakan mentandemkan ini bagus karena kita bisa mengejar buron kita yang ada di Singapura. Menurut saya ini absurd," tambah Hikmahanto.

Pemerintah dinilai seharusnya tidak menukar kedaulatan dengan buron. Tak hanya itu, kata Hikmahanto, perjanjian ekstradisi tidak menjamin Indonesia bisa membawa semua buronan yang ada di Singapura.

"Para buron mungkin saat ini sudah bergeser ke negara lain karena mereka pasti dapat advis hukum agar keluar dari Singapura sebelum Indonesia meratifikasi (perjanjian). Dan sebagian dari mereka bergeser karena tahun 2007 kan sudah ditandatangani perjanjian ekstradisi," paparnya.

Hikmahanto mengatakan, tanpa perjanjian ekstradisi yang efektif pun saat ini Singapura jika diminta untuk mengekstradisi buronan Indonesia pasti akan bersedia.

"Karena mereka mau hilangkan persepsi dari publik Indonesia bahwa Singapura merupakan surga untuk pelarian. Atas dasar hal-hal tersebut, Indonesia tidak diuntungkan dengan adanya tandem 3 perjanjian," sebut Hikmahanto.

Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ini yakin, keputusan Pemerintah untuk meratifikasi paket kerja sama secara terpisah nantinya akan dipersoalkan oleh Singapura.

Hikmahanto menilai, Singapura tidak akan bersedia apabila perjanjian FIR diratifikasi lewat Perpres sementara perjanjian DCA dan ekstradisi melalui Undang-undang di DPR.

"Coba sekarang pemerintah cek mau tidak perjanjian ekstradisi diratifikasi secara stand alone, tanpa dikaitkan dengan perjanjian FIR dan perjanjian Pertahanan. Saya yakin Singapura tidak akan mau melakukan pertukaran dokumen ratifikasi. Pertukaran ini menandakan mulai berlakunya perjanjian," tuturnya.

Warning DPR

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan perjanjian FIR dengan Singapura akan diratifikasi melalui Perpres.

Sedangkan ratifikasi perjanjian Defense Coperation Agreement (DCA) dan ekstradisi akan diproses melalui DPR RI dalam bentuk undang-undang (UU).

"Menurut hukum kita, tak semua perjanjian harus diratifikasi dengan UU. Ada yang cukup dengan Perpres, Permen, atau MoU biasa. Yang harus diratifikasi dengan UU, antara lain, perjanjian yang terkait dengan pertahanan dan hukum," kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Rabu (16/2/2022).

Rencana Pemerintah untuk meratifikasi perjanjian FIR lewat Perpres mendapat peringatan dari Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono. Ia berpendapat sebaiknya ratifikasi perjanjian Indonesia-Singapura dilakukan lewat undang-undang agar memiliki kekuatan hukum yang lebih ketat.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan sejumlah hal, antara lain masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; serta kedaulatan atau hak berdaulat negara.

Untuk itu, kata Dave, perlu ada penafsiran atas Perjanjian FIR antara Indonesia dan Singapura, apakah perjanjian itu termasuk yang harus diratifikasi melalui undang-undang atau tidak.

"Tentu sebaiknya diratifikasi melalui DPR (menjadi undang-undang)," kata Dave saat dihubungi Kompas.com, Kamis.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya