Masjid Salafi di Aceh Barat 'dilarang gelar salat Jumat' - 'Setiap kelompok harus saling menghargai', kata sosiolog - BBC News Indonesia - Opsiin

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Masjid Salafi di Aceh Barat 'dilarang gelar salat Jumat' - 'Setiap kelompok harus saling menghargai', kata sosiolog - BBC News Indonesia

Share This

 

Masjid Salafi di Aceh Barat 'dilarang gelar salat Jumat' - 'Setiap kelompok harus saling menghargai', kata sosiolog - BBC News Indonesia

Wahabi di Aceh
Keterangan gambar, Salat Tarawih di Masjid Al-Ka'biy, di Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, awal April 2022.

Sebuah masjid di Aceh Barat milik kelompok Salafi dilarang menggelar salat Jumat, karena otoritas dan ulama setempat khawatir akan digunakan untuk menyebarkan ajaran yang mengkafirkan amalan umat Islam yang lebih dulu ada di sana. Bagaimana jalan keluar yang ideal?

Pria berperawakan gempal itu tengah memberi materi keagamaan di sebuah masjid kecil, tak jauh dari pusat Kota Meulaboh, Aceh Barat.

Di hadapan sepuluh orang peserta, Edy Saputra, pekan pertama April lalu, mengupas tentang tata cara salat.

Siang itu, misalnya, Edy membahas cara mengucapkan salam pada akhir salat dengan merujuk pada kitab karya seorang ulama.

Dia dan murid-muridnya menggelar pengajian di Masjid Jabir Al-Ka'biy, di Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.

Edy dan orang-orang yang terlibat dalam pengajian di tempat ibadah itu - oleh pemerintah daerah disebut sebagai 'musala', alih-alih 'masjid' - acap dikategorikan sebagai kelompok Salafi.

Kehadiran kelompok inilah yang kemudian ditolak sebagian besar ulama di Aceh Barat.

Kelak penolakan ini didukung otoritas di Aceh Barat. Ujungnya mereka dilarang menggelar salat Jumat di masjid mereka sendiri.

Masjid Al-Ka'biy, di Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Keterangan gambar, Edy dan kawan-kawan dianggap menyebarkan ajaran yang mengkafirkan amalan umat Islam yang lebih dulu ada di kawasan itu. (Foto: Masjid Al-Ka'biy dilihat dari depan).
Podcast
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Alasannya, Edy dan kawan-kawan dianggap menyebarkan ajaran yang mengkafirkan amalan umat Islam yang lebih dulu ada di kawasan itu.

Tetapi para ulama dari kelompok Salafi ini selalu membantah tuduhan seperti itu. Mereka pun melawan larangan itu dengan upaya hukum.

Salafi biasanya diidentikkan sebagai gerakan pemurnian kembali kepada ajaran awal Islam. Mereka juga acapkali dicap penganut Wahabi.

Istilah Wahabi merujuk kepada sosok Muhammad bin Abdul Wahab, ulama Arab Saudi pada abad 18, yang dikenal karena gerakan pemurniannya.

Selama bertahun-tahun, ajarannya kemudian menyebar ke seluruh dunia Islam, termasuk ke berbagai sudut wilayah di Indonesia.

Sebagian ajaran pemurnian kelompok ini mampu beradaptasi dengan tradisi Islam yang sudah lebih dulu ada.

Namun dalam perjalanannya, ajarannya tidak luput pula dari penolakan.

Kini, penolakan seperti itu terulang dan tergambar dari kasus kehadiran masjid atau musala kelompok Salafi di Aceh Barat.

Baca juga:

'Perang spanduk' di depan masjid salafi

Konflik terbuka kelompok Salafi dengan para ulama di Aceh Barat terlihat dari spanduk-spanduk yang ditempel di pintu gerbang Masjid Jabir Al-Ka'biy.

Ada lembaran spanduk dari Pemerintah Kabupaten Aceh Barat yang isinya melarang warga salat Jumat di musala itu.

Namun ada spanduk lain berisi larangan aktivitas keagamaan lainnya di masjid itu tanpa izin pengelolanya.

Sumber gambar,

Rino Abonita

Keterangan gambar,

Konflik terbuka kelompok salafi dengan para ulama di Aceh Barat terlihat dari spanduk-spanduk yang ditempel di pintu terbang masjid Jabir Al-Ka'biy.

Spanduk yang kedua ini dibuat Edy dan kawan-kawan, sebagai penolakan atas aktivitas pengajian di musala itu yang disebutkan diinisiasi oleh pemerintah setempat.

Mereka berargumen, aktivitas itu bertabrakan dengan jadwal pengajian yang sudah lama gelar di sana.

Satpol Pamong Praja melarang salat Jumat

Perang spanduk itu merupakan puncak dari konflik terbuka antara ulama setempat - yang didukung Pemerintah Aceh Barat - dengan pengelola masjid itu.

Pada 18 Februari 2022, pemerintah daerah setempat secara sepihak menggelar pengajian di masjid itu.

Acara ini ditolak Edy dkk, dan terjadilah aksi saling menggembok pintu pagarnya.

Sumber gambar,

Rino Abonita

Keterangan gambar,

Ada lembaran spanduk dari Pemerintah Kabupaten Aceh Barat yang isinya melarang warga salat jumat di musala itu.

Sebelumnya, Bupati Aceh Barat menerbitkan surat bernomor 300/75 tahun 2022 tentang pelarangan penyebaran ajaran Salafi di masjid itu.

Dalam surat itu juga terdapat pelarangan salat Jumat di sana.

Satuan Polisi Pamong Praja-Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) kemudian menindaklanjuti dengan menghentikan rencana salat Jumat di masjid itu pada 11 Februari 2022.

Tindakan ini dilaporkan mendapat pengawalan aparat kepolisian dan TNI.

Situasi ini sempat melahirkan ketegangan, namun laporan-laporan menyebutkan pihak pengelola masjid kemudian memilih membatalkan salat Jumat.

Baca juga:

Mengapa dilarang dijadikan tempat salat Jumat?

Selain alasan kelompok ini dianggap mengkafirkan kelompok Islam lainnya, status tempat ibadat itu disebutkan masih berstatus musala.

Selama belum berstatus masjid, kata pihak berwajib, mereka belum layak dijadikan tempat salat Jumat.

"Ini alasan yang tepat untuk kita melakukan larangan [salat] Jumat," kata mantan ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat, Abdurrani Adian.

Dia kemudian merujuk pada fatwa MPU Aceh nomor 12 tahun 2012 tentang tempat pelaksanaaan dan ta'addud Jumat.

Fatwa tersebut membolehkan berbilang-bilang (ta'addud) Jumat dalam suatu wilayah dengan syarat jika luas wilayah membuat para jemaah sukar berkumpul.

Sumber gambar,

Rino Abonita

Keterangan gambar,

Kajian rutin bakda zuhur yang diisi oleh Edy Saputra di rumah ibadat Jabir Al-Ka_biy, awal April 2022 lalu.

Lalu, daya tampung tempat ibadah Jumat tidak kuat, serta terpisah secara administratif dalam hal wilayah.

Alasan ini dipertanyakan Edy Saputra. Dia beralasan tidak semua mazhab di dalam Islam memberlakukan larangan tersebut.

Edy juga mempertanyakan kenapa larangan salat Jumat itu tidak dikenakan pada musala lain di Desa Drien Rampak dan di desa lainnya.

Dia mencontohkan, rumah ibadat berstatus musala di Desa Kuta Padang yang dapat menggelar salat Jumat.

"Itu... kok enggak dipermasalahkan?" tanya Edy kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (06/04).

Alasan 'kearifan lokal'

Menurut Kepala Kantor Kementerian Agama Aceh Barat, Khairul Azhar, perubahan status musala menjadi masjid, harus mendapat rekomendasi dari desa terlebih dahulu.

"Untuk kemudian, baru dicatat status yang sebelumnya musala, atau diajukan langsung menjadi status masjid, itu di dalam Sistem Informasi Masjid (Simas), di aplikasi yang berada di kantor kemenag," terang Khairul, Rabu, 6 April 2022.

Khairul mengaku pengelola Musala Jabir Al-Ka'biy, melalui Yayasan Hadyur Rasul, pernah mengirim surat yang isinya meminta eksplikasi mengenai status rumah ibadat tersebut.

Sumber gambar,

Rino Abonita

Kemenag Aceh Barat telah membalas surat tersebut dengan menerakan sejumlah poin.

Intinya, mereka menyatakan, selain persyaratan formal, ada faktor utama mengapa rumah ibadat itu tidak akan pernah berubah statusnya menjadi masjid.

"[...] Karena kita berada di Provinsi Aceh, yang dalam hal ini harus, tentunya kita berpedoman kepada kearifan lokal... maka tentunya, kemenag menyesuaikan," kata Khairul.

Kelompok Salafi di Aceh Barat dan tsunami 2004

Ajaran Salafi masuk di Aceh Barat, demikian klaim Edy Saputra, di antaranya dibawa oleh organisasi amal asal Qatar, Eid Charity, saat tsunami 2004.

"Yang kerja di situ, kebetulan, ada beberapa syekh dari Yaman," ungkap Edy kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita, untuk BBC News Indonesia.

Walaupun aktivitasnya berakhir lima tahun kemudian, orang-orang Indonesia yang bersentuhan dengan yayasan amal itu terus melanjutkan aktivitasnya.

Yayasan tersebut, seperti namanya yang berarti penghubung, bertugas menjembatani antara donatur dengan pihak yang membutuhkan dana.

Sumber gambar,

BAY ISMOYO/AFP

Keterangan gambar,

Ajaran salafi masuk di Aceh Barat diantaranya dibawa oleh organisasi amal asal Qatar, Eid Charity, saat tsunami 2004. (Foto: Pelataran masjid Baiturrahman di Banda Aceh, 28 Desember 2004).

Orang-orang di Aceh Barat yang bersentuhan dengan ulama asal Yaman itu kelak mendirikan Yayasan Hadyur Rasul.

Lembaga inilah yang menaungi kelompok Salafi di Aceh Barat, kata Edy.

Kantor yayasan itu berada di kompleks masjid atau musala di Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, tempat Edy mengisi kajian rutinnya.

Rumah ibadat itu mulai dibangun sejak intensitas pengajian meningkat, juga sebagai sarana berkumpul bagi orang-orang penganut Salafi di sana.

Pemegang nazir atau orang yang mengurus tanah wakaf di mana rumah ibadat tersebut dibangun telah dialihkan ke yayasan pada 8 Maret 2019.

Sumber gambar,

Getty Images

Keterangan gambar,

Bangunan masjid di Meulaboh, Aceh, setelah diterpa tsunami, 29 Desember 2004.

Edy tak menampik dirinya pengikut gerakan Salafi. Dia mengaku mempelajarinya di Kota Malang, Jawa Timur, sekian tahun silam.

"Di sana, kan, ada permukiman Arab... di sana ada syekh juga, jumpalah sama mereka, belajar sama mereka," tutur Edy.

Sebelumnya, Edy pernah mendalami ilmu agama di sebuah pesantren sembari kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Arafah di Medan, Sumatera Utara.

Rekomendasi pertemuan ulama di Aceh barat dan selatan

Penolakan kehadiran dan aktivitas kelompok Salafi di Musala Jabir Al-Ka'biy juga berdasarkan kesimpulan acara simposium yang digelar sejumlah ulama setempat, 25 November 2021.

Acara ini digelar Ikatan Ulama Barat Selatan (Imaratan), yang menghimpun sejumlah ulama di kawasan barat hingga selatan Aceh.

Mereka di acara itu menggelar jajak pendapat untuk menyikapi keberadaan kelompok Salafi di Aceh Barat.

Mantan MPU Aceh Barat, Tgk. Abdurrani Adian, yang baru saja melepas jabatannya, mengatakan masalah mengenai Salafi di Aceh Barat ibarat "barang baru namun stok lama."

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP

Keterangan gambar,

Orang-orang berkumpul untuk menerima hidangan kari tradisional selama Ramadan di Banda Aceh, 6 Mei 2021.

"Kami di MPU sendiri sudah pernah berdialog, memanggil, kalau enggak salah sudah dua kali, 2017 ada, 2019 ada, tapi, itulah, dari hasil dialog itu, katakanlah kita belum mendapat titik temu.

"Yang terakhir, 2019 itu, kita pun sudah membawa masalah Jabir [nama masjid] ke Forkompimda.

"Kita sudah memberi rekomendasi ke Forkompimda, tapi hasilnya belum sebagai yang kita harapkan," kata Abdurrani, saat ditemui di rumahnya, Selasa (05/04).

Baca juga:

Ancaman unjuk rasa ulama bila masjid Salafi 'tidak dilarang'

Acara para ulama itu kemudian merekomendasikan kepada bupati Aceh Barat untuk menindaklanjutinya.

"[Isinya] supaya membuat penyelesaian secara tuntas terhadap Jabir Al-Ka'biy, ...dan di situ, nampaknya, rekomendasi agak sangat tegas, karena ulama barat selatan ini memberi tempo satu bulan," ucap Abdurrani sembari tertawa.

Dari tujuh poin yang tertera di dalam surat rekomendasi tersebut, terdapat satu poin yang langsung mengarah kepada kelompok Salafi di kabupaten itu.

Sumber gambar,

Rino Abonita

Bunyinya meminta agar kelompok tersebut tidak mengadakan ibadah salat Jumat dan pengajian.

Alasannya, materi yang diajarkan mengafirkan serta menyesatkan amalan mayoritas "Rakyat Aceh."

Di poin terakhir disebutkan apabila Pemerintah Aceh Barat tak menjalankan rekomendasi setelah sebulan, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.

Sebanyak tiga belas orang ulama dan pimpinan pesantren terkenal di Aceh menandatangani surat rekomendasi tersebut.

Tudingan Wahabi identik dengan Khawarij

Perbedaan pandangan di antara antara kelompok Salafi dan berbagai kelompok Islam lainnya telah berlangsung lama.

Salah satu dari tiga belas ulama Aceh, Harmen Nuriqmar, mengatakan rekomendasi di Aceh Barat tersebut adalah upaya preventif untuk menekan sirkulasi kelompok Salafi di wilayah itu.

Harmen, yang merupakan pemimpin pondok pesantren Buket eQra' Al-Haramein Aceh Barat, mengatakan kelompok Salafi tidak hanya membawa ajaran yang bertolak belakang dengan mazhab yang berlaku di Aceh.

Namun secara umum, kelompok itu, kata dia "memalsukan" kitab untuk kepentingan mereka sendiri .

Anggapan ini kemudian dibantah oleh Ustaz Harits Abu Naufal, seorang ulama Salafi di Aceh.

"Kalau seandainya membantah sesuatu cuma sekadar ini begini, ini begini, anak kecil pun bisa melakukannya," ucap Harits.

Harmen juga khawatir dengan anggapan umum yang mengatakan Wahabi identik dengan Khawarij, kelompok yang dikatakan tidak segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya dan mengkafirkan muslim lain.

"Dianggap Wahabi itu Khawarij..., artinya, secara mental, siapa saja yang akan baca nanti, akan merugikan pemikiran-pemikiran mereka oleh umat hari ini, kalau tidak dicoret," jelas Harmen.

Harits sendiri tidak setuju jika pengikut minhaj (jalan) salaf atau yang diberi label Wahabi oleh orang-orang, disamakan dengan kelompok Khawarij, seperti klaim Harmen.

Dalam hal mengkafirkan muslim lain, kata Harits, "Ini adalah keyakinan yang bertentangan dengan akidah ahlisunnati waljamaah, dan kita memerangi keyakinan seperti ini," tegasnya.

Para ulama Salafi juga, menurut Harits, "sangat menentang" cara menantang pemerintah yang dianggap kafir dengan jalan angkat senjata.

Penolakan masyarakat desa yang 'resah'

Larangan aktivitas salat Jumat di masjid milik kelompok Salafi itu juga didasarkan surat pernyataan penolakan dari masyarakat desa setempat pada 5 Maret lalu.

Keputusan bupati setempat juga didasarkan hasil keputusan rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) pada 26 Januari 2022.

Dalam surat penolakan tersebut, disebutkan bahwa masyarakat resah dengan berbagai aktivitas yang berlangsung di rumah ibadat Jabir Al-Ka'biy.

Sumber gambar,

Fachrul Reza/Getty

Keterangan gambar,

Sejumlah warga Kota Lhokseumawe berziarah ke makam keluarganya, 14 Mei 2021, di hari kedua Idul Fitri.

Adapun aktivitas kelompok Salafi yang dimaksud membuat resah itu, yakni, tidak melaksanakan zikir maulid Nabi Muhammad.

Mereka juga disebutkan tidak menggelar tahlilan, tidak melaksanakan wiridan dan yasinan, serta tidak berselawat secara berjemaah.

Namun anggapan seperti itu dipertanyakan pengelola Masjid Jabir Al-Ka'biy.

Arham, Ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) untuk Musala Jabir Al-Ka'biy menolak tuduhan pihaknya meresahkan warga sekitar.

"Yang [kami] resahkan masyarakat yang mana?

"Apa yang kami [resahkan] sedangkan selama hampir kita dari 2006 sampai terakhir yang kemarin itu tidak ada masyarakat yang kita meresahkan mereka," kata Arham, Selasa (05/04).

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP

Keterangan gambar,

Warga Banda Aceh mendatangi sebuah pasar di Lambaro, Aceh, yang menjual daging sapi, menjelang Ramadan, 1 April 2022.

Dia mengeklaim, pihaknya sering melaksanakan santunan seperti pembagian hewan kurban setiap kali Idul Adha.

"Menjelang Ramadan, kita juga memberikan sembako ke masyarakat, dan setiap Jumat dulu itu, kita ada memberikan sembako gratis kepada masyarakat yang memang tidak mampu," katanya.

"Mereka meminta izin mereka membuat maulod [maulid] itu juga tidak pernah kita larang.

"Mereka tetap melaksanakan, tapi [kami] tidak membuat masalah apa-apa," tambah Arham, yang juga tercatat sebagai warga setempat.

Baca juga:

Apa komentar warga di sekitar masjid Salafi?

Mariadi dan Warlijah adalah sepasang suami istri yang tinggal dan membuka usaha bengkel di seberang Jabir Al-Ka'biy.

"Enggak [meresahkan] juga. Kalau menurutku enggak, tapi nggak tahu kalau masyarakat yang lain... meresahkan nggak, ngomongnya kok sopan-sopan orang itu.

"Istilahnya kita pun, istilah apa, dihargailah. Kalau masalah disesatkan, belum ada orang disesatkan di situ. Masih isu-isu yang enggak jelas," kata Mariadi, Selasa (05/04).

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP

Keterangan gambar,

Seorang pria bersiap membagikan masakan kari tradisional menjelang buka pada Ramadan di Banda Aceh, 6 Mei 2021

Mariadi mengenakan celana pendek di luar rumah - sebuah kebiasaan yang ditentang oleh sebagian kelompok salafi karena dianggap mempertontonkan aurat.

Sementara itu, istrinya, Warlijah mengaku sempat salat tarawih di Jabir Al-Ka'biy pada bulan Ramadan tahun lalu.

Namun ia mengaku tidak mengulangi salat tarawih di sana.

"Kemarin, tahun belakang, itu kan kalau enggak ada selawat berdoa itu enggak enak.

"Enggak pernah biasa. Orang itu, kan, berdoa enggak ada, selawat enggak ada," katanya, Selasa (05/04).

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP

Keterangan gambar,

Seorang warga di Meulaboh, Aceh, menggerakkan tasbih pada Ramadan, 17 April 2021.

Sementara, Mardiah, yang rumahnya berjarak sekitar 200 meter lebih dari Jabir Al-Ka'biy, mengaku tidak tahu menahu tentang aktivitas kelompok itu.

"Saya di dalam [rumah] saja, kudengar-dengar sudah datang polisi ke sana.

"Saya pun tidak tahu, apa yang dipelajari di sana, saya pun tidak pernah datang ke sana sekalipun," ucap Mardiah dalam bahasa Aceh, Rabu (06/04).

Dalam surat penolakan warga desa, turut diterakan lampiran berisi sebanyak 337 tanda tangan warga, dari 6.913 jiwa total jumlah penduduk berdasarkan data otoritas per 2021.

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP

Keterangan gambar,

Dua orang perempuan sedang membaca al-Quran di masjid Al Makmur, Banda Aceh, Aprl 2021, saat Ramadan.

Bustamam, mantan penjabat (Pj) Keuchik/Kepala Desa Drien Rampak, mengaku tidak tahu menahu sama sekali perihal penggalangan tanda tangan tersebut.

"Baru hari inilah saya tahu. Tidak sampai ke pak keucik [saya].

"Sebenarnya [malah] bukan tembusan, [tetapi] yang asli yang dikasih," kata Bustamam, Rabu (06/04).

Ia mengeklaim dilengserkan dari jabatan sebelum waktunya, karena dianggap tidak bisa menyelesaikan masalah keberadaan kelompok Salafi di desanya.

Ditetapkan sebagai Pj kepala desa pada 21 Mei 2021, namun, Bustamam digantikan berdasarkan surat "kudeta" ditandatangani sejumlah tokoh masyarakat yang dikirim ke bupati pada 6 Maret 2022.

Bustamam mengaku dirinya difitnah dan tidak percaya bahwa nama dan tanda tangan yang diterakan di dalam surat permohonan agar dirinya diturunkan itu dapat dipertanggungjawabkan.

Di lain pihak, Pj Kepala Desa Drien Rampak saat ini Tgk. Helmi Asyek, mengaku tidak tahu menahu soal alasan mengapa Bustamam dilengserkan dari jabatannya.

"[...] Karena, kan, saya memang tidak minta ke bupati, tidak minta kepada tokoh masyarakat, tidak minta usulan, enggak ada apa-apa," jawab Helmi, Rabu, 6 April 2022.

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/Getty

Keterangan gambar,

Seorang pria tengah membaca al-Quran di sebuah masjid di Banda Aceh, 16 April 2021, saat Ramadan.

Bagaimanapun, Bustamam mengaku dirinya tidak pernah melihat ada aktivitas yang mencurigakan di dalam Masjid Jabir Al-Ka'biy selama dirinya beribadah di sana.

Sebaliknya, Helmi mengaku bahwa masyarakat banyak yang melapor mengenai apa yang disebutnya sebagai "keganjilan-keganjilan" yang berlangsung di sana.

"Semenjak saya menjabat sebagai ketua tuha peut [badan permusyawaratan tingkat desa], memang, kan, banyak laporan masyarakat.

"...karena, kan, orang itu, enggak boleh apa, berzikir keras-keras, enggak boleh berselawat keras-keras, itu bid'ah, enggak kenduri maulid, itu bid'ah," kata Helmi.

Melayangkan gugatan hukum kepada bupati

Setelah melalui upaya nonlitigasi yang dinilai gagal, melalui kuasa hukum mereka, kelompok Salafi di Aceh Barat pun menggugat Bupati Aceh Barat pada 30 Maret lalu.

Gugatan ini juga dilayangkan kepada beberapa instansi di Aceh Barat yang dianggap berkaitan dengan kasus ini.

Alasannya, "ada upaya pengambilan paksa pengelolaan Masjid Jabir, dari yayasan [pengelolanya]."

"Kemudian ada upaya pelarangan orang beribadah menurut keyakinannya," kata Akbarul Fajri, Senin (11/04), kuasa hukumnya.

Menjawab gugatan tersebut, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Aceh Barat, Mawardi balik menantang.

"Pemerintah Kabupaten Aceh Barat tidak pernah takut pada siapa pun menyangkut dengan gugatan apa pun.

"Jangankan bupati, anak buah bupati pun sudah siap, apalagi bupati," kata Mawardi, Senin (11/04).

Apa yang terjadi di wilayah Aceh lainnya?

Sebelum masalah Jabir Al-Ka'biy mencuat ke permukaan, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan fatwa seputar itu.

Itu adalah fatwa nomor 9 Tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan, dan Penyiaran Agama Islam di Aceh, yang dikeluarkan pada Juni 2014.

Fatwa yang awalnya dialamatkan kepada kelompok Salafi di Desa Pulo Raya, Kecamatan Titeu, Pidie itu membagi dua golongan perkara, yaitu tentang akidah dan ibadah Salafi.

Sumber gambar,

Getty Images

Keterangan gambar,

Pada 10 September 2015, ribuan orang menggelar unjuk rasa di Banda Aceh, Aceh, menolak kehadiran dan ajaran Wahabi.

Fatwa itu mengeluarkan dua ketetapan, yaitu kelompok Salafi itu sesat serta menyesatkan. Dan kedua, dinyatakan salah.

Atas fatwa itu, kelompok Salafi menerbitkan 'buku putih' yang terdiri 23 halaman berisi dalil-dalil bantahan pada Agustus 2014.

Namun penolakan terhadap kelompok Salafi di Aceh tak berhenti sampai di situ.

Aksi ini dipimpin ormas seperti Front Pembela Islam (FPI), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA).

Baca juga:

'Setiap kelompok dalam Islam harus saling menghargai'

Keberadaan kelompok keagamaan semacam Salafi, dipandang sebagai fenomena diversitas yang bisa ditemukan di mana saja, terutama di negara-negara mayoritas muslim, kata sosiolog yang berdomisili di Aceh, Sehat Ihsan Shadiqin.

"Setiap mazhab memang memiliki satu karakter yang ingin dikembangkan ke tempat yang lain, termasuklah di sini, Salafi.

"Bagaimanapun, ketika mereka membangun sebuah mazhab, mereka ingin mazhab tersebut dikembangkan di tempat yang lain karena merasa itu adalah mazhab terbaik," kata Sehat, Minggu (10/04).

Setiap kelompok, tambah Sehat, memiliki cara pandang sendiri dalam memahami teks-teks keagamaan.

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP

Keterangan gambar,

Umat Islam di Banda Aceh salat tarawih di halaman masjid Baiturrahman, Banda Aceh, awal April 2022

Sehingga dalam beberapa hal, kelompok seperti Salafi hadir dengan mengusung konsep yang berbeda dari paham yang sudah lebih dulu berkembang di Aceh, katanya.

"Ketika gerakan ini muncul di dalam masyarakat Aceh, tentu saja dia menghadapi sebuah realitas yang berbeda dalam masyarakat," kata dia.

Kendati membawa paham yang sama sekali liyan, menurutnya, kemunculan kelompok keagamaan baru di tengah kelompok keagamaan mayoritas menurutnya tidak mungkin dihindari.

Hal yang sama, kata Sehat, bahkan pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad.

Tetapi di masa nabi, perbedaan pandangan terhadap suatu perkara bisa langsung diselesaikan pada masa itu.

Sumber gambar,

CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP

Keterangan gambar,

Seorang pria berjalan untuk melaksanakan salat di Masjid Tuha, yang sebelumnya merupakan kuil Hindu, di Indrapuri, Aceh, 10 April 2022.

Karena, orang-orang bisa langsung mengonfirmasinya kepada Nabi Muhammad, ujar Sehat.

"Tapi setelahnya, kan di situ ada kontestasi otoritas juga, [bahwa] setiap orang merasa dialah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan agama,"

Keragaman dalam agama, diakui terkadang membawa tabrakan-tabrakan yang bisa berujung konflik di dalamnya.

Maka untuk menjembatani perbedaan, Sehat menyarankan agar setiap kelompok memiliki kedewasaan dan saling menghargai.

"Ada dua sisi yang sebenarnya kalau dipadukan menjadi kekuatan bagi masyarakat muslim, termasuk di Aceh, misalnya.

"Jadi, hal-hal yang baik di kelompok masyarakat di sini, bisa digunakan, atau hal-hal yang baik dalam kelompok Salafi, mungkin juga bisa digunakan," ujar Sehat.

Wartawan di Aceh, Rino Abonita, melakukan liputan ini untuk BBC News Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages