Korpri Desak Evaluasi Sistem Penggajian ASN Imbas Kasus Rafael Alun - CNN Indonesia

 

Korpri Desak Evaluasi Sistem Penggajian ASN Imbas Kasus Rafael Alun

CNN Indonesia
6-7 minutes
Selasa, 14 Mar 2023 05:57 WIB

Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri menilai timpangnya besaran gaji dan gaya hidup mewah para pejabat Kemenkeu berawal dari penentuan tunjangan yang salah kaprah.

Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Zudan Arif Fakrulloh. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Yuk, daftarkan email jika ingin menerima Newsletter kami setiap awal pekan.

Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Zudan Arif Fakrulloh mendesak perombakan sistem penggajian berskala nasional usai ramai kasus pegawai Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun.

Menurutnya, timpangnya besaran gaji dan gaya hidup mewah para pejabat Kemenkeu berawal dari penentuan tunjangan yang salah kaprah.

"Harus ada komite penggajian nasional yang ditetapkan oleh Bapak Presiden. Di situ mengatur sistem penggajian nasional, termasuk mengatur faktor risiko," kata Zudan dalam sebuah webinar bertajuk ASN Sultan & Pendapatan Timpang, tayang di kanal YouTube Korpri Nasional, Jumat (9/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zudan mengkritisi soal risiko pekerjaan yang menjadi dalih mengapa pendapatan pegawai Kemenkeu di pusat menjadi begitu tinggi.

"Ada yang menyampaikan pada saya begini, 'Pak tunjangan kinerja itu disusun berdasarkan profil risiko. Semakin berisiko kinerjanya, semakin besar tunjangan kinerjanya'," kata Zudan membuka penjelasannya.

Menurut Zudan, alasan tersebut sama dengan nir-empati dan tidak memiliki kepekaan sosial. Ia kemudian membandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan berisiko tinggi seperti tenaga kesehatan yang berjuang semasa pandemi Covid-19.

"Kalau berpikir risiko, tentu kita melihat teman-teman yang bekerja di sektor kesehatan: dokter, bidan, perawat yang bekerja di RS; PNS yang bekerja di RS itu risikonya besar," kata Zudan.

"Dia bergulat dengan penyakit, risikonya adalah nyawa. Ternyata tunjangan kinerjanya tidak setinggi Direktorat Jenderal Pajak," sambungnya.

Selain contoh-contoh yang ia berikan di atas, Zudan juga merujuk kepada tidak adilnya sistem yang berlaku untuk ASN di luar DKI Jakarta.

Menurutnya, sistem penggajian yang timpang membuat jurang pemisah itu semakin kentara. Hal ini berimbas kepada munculnya pola promosi, mutasi, dan rotasi yang tidak berkeadilan.

"Pegawai Kementerian Keuangan Eselon III di Direktorat Jenderal Pajak, misal dikirim menjadi camat di Kabupaten Lembata. Enggak mau. Nangis dia," ujarnya memberikan contoh.

"Tapi coba camat di Kabupaten Nagan Raya, sama-sama Eselon III lalu dikirim menjadi Subdit di Direktorat Jenderal Pajak, dia akan senang," sambung Zudan.

Menurutnya, saat ini pola mutasi seperti ini akan sulit, karena masing-masing kementerian lembaga memiliki pendapatan dengan ketimpangan tinggi.

Untuk itu ia mendesak agar presiden segera membentuk komite nasional yang merombak seluruh sistem penggajian tersebut.

"Nah, hal-hal seperti ini harus menjadi pemikiran menyeluruh dari komite yang harus dibentuk oleh bapak Presiden-komite yang mengatur sistem penggajian nasional. Kalaupun tidak, dibentuk saja dari menteri-menteri secara ex-officio," ujarnya.

Pemaparan Zudan di atas mengacu kepada fenomena gaya hidup mewah dan pamer kekayaan dari para pejabat pemerintah yang menjadi sorotan publik, bahkan hingga membuat Presiden Joko Widodo buka suara.

Jokowi meminta agar semua pimpinan kementerian/lembaga bisa mendisiplinkan jajarannya agar tidak mencederai kepercayaan masyarakat.

Selain itu, Jokowi juga meminta para pemimpin kementerian/lembaga membersihkan dan membenahi institusinya masing-masing agar tak ada lagi pejabat yang pamer harta dan gaya hidup mewah.

"Sekali lagi saya ingin tekankan, supaya ditekankan kepada bawahan kita, jangan pamer kekuasaan, jangan pamer kekayaan, apalagi sampai dipajang-pajang di IG (Instagram), di media sosial, itu sebuah kalau aparat birokrasi sangat-sangat tidak pantas," ujarnya dalam arahan Sidang Kabinet Paripurna, Kamis (2/3).

Isu ini tengah menjadi sorotan usai sejumlah mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai Kementerian Keuangan memamerkan hartanya melalui media sosial. Di antaranya Rafael Alun Trisambodo dan Eko Darmanto.

Ketidakwajaran harta dan kekayaan Rafael Alun Trisambodo pertama kali terendus akibat kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario, terhadap David.

Sebelum melakukan penganiayaan, Mario memang kerap kali pamer mengendarai kendaraan mewah seperti Rubicon dan motor gede di media sosial. Akibatnya, netizen mencurigai ketidakwajaran harta Rafael yang terlalu besar bagi pejabat eselon III.

Di tengah kasus penganiayaan sang anak, terungkap juga harta kekayaan Rafael yang tercantum dalam LHKPN 2021 mencapai Rp56,1 miliar.

Sebagai pejabat eselon III, nominal tersebut terbilang fantastis, terutama jika dibandingkan dengan pejabat di eselon yang lebih tinggi.

Nominal kekayaan Rafael bahkan mengungguli Dirjen Pajak Suryo Utomo yang memiliki kekayaan sebesar Rp14,45 miliar.

Saat ini, Rafael telah dicopot dari jabatannya dan bahkan dipecat secara tidak terhormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rafael juga masih menjalani sejumlah pemeriksaan di KPK.

(far/pmg)

Saksikan Video di Bawah Ini:

VIDEO: Kemenkeu Periksa Laporan Harta Rafael

Baca Juga

Komentar