Sampah Indonesia Berlayar Sampai Afrika - detikX - Opsiin

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Sampah Indonesia Berlayar Sampai Afrika - detikX

Share This

 

Sampah Indonesia Berlayar Sampai Afrika

Sampah plastik dari Indonesia menyebabkan pencemaran di Samudra Hindia. Sampah-sampah itu terombang-ambing sampai ke negara-negara tetangga hingga Afrika Selatan.

Foto : Tumpukan sampah di kampung nelayan dekat tanggul laut di Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (8/6/2022). (Pradita Utama/detikcom)

Selasa, 13 Juni 2023

Sekitar pertengahan 2015, tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memasang 11 drifter—sebuah pelacak lokasi berukuran mini—pada sampah yang mengalir dari sembilan sungai di Jakarta. Pemasangan drifter dilakukan guna memantau seberapa jauh jarak sampah-sampah plastik Jakarta berlayar di lautan. Periode pemantauan dilakukan selama setahun. Hasilnya, 2 drifter tersangkut di Pulau Bengkulu, 4 di Kepulauan Seribu, dan 4 lainnya tersangkut di pantai Jawa Barat.

“Dan satu nyasar sampai ke Afrika Selatan,” tutur Muhammad Reza Cordova, peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), yang turut andil dalam proyek penelitian itu, kepada reporter detikX pekan lalu. Jarak antara Jakarta dan Afrika Selatan terbentang lebih dari 9.000 kilometer atau hampir dua kali lipat dari jarak Sabang ke Merauke.

Studi yang dilakukan para peneliti BRIN pada 2020 juga menunjukkan data bahwa sampah-sampah plastik dari Indonesia berlayar jauh sampai ke negara-negara tetangga. Dalam jurnal berjudul ‘Marine Debris Pathway Across Indonesian Boundary Seas’, sampah dari utara dan selatan Indonesia terombang-ambing sampai ke Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sampah-sampah itu kemudian nyangkut di beberapa kepulauan Indonesia dan sebagian sampai ke negara belahan Asia lain.

Di bagian utara Indonesia, wilayah yang terdampak antara lain Kepulauan Riau, Borneo barat, Borneo timur, Maluku Utara, dan Raja Ampat. Di bagian selatan, sampah-sampah itu berlayar sampai ke Pulau Aru, Pulau Babar, Sumba, Bali, dan Jawa Barat. Sedangkan di luar garis batas perairan Indonesia, sampah-sampah itu bertualang sampai ke Malaysia, Timor Leste, Brunei Darussalam, Thailand, dan Australia.

Suasana tumpukan sampah di pinggir pantai kawasan Marunda Kepu, Jakarta Utara, Rabu (3/5/2023).
Foto : Pradita Utama/detikcom

“Beberapa puing juga terpantau masih mengambang di laut lepas setelah tiga bulan,” demikian temuan dalam penelitian itu.

Karena praktik bisnis industri yang semakin gencar mengedepankan material plastik sekali pakai berkontribusi terhadap masalah sampah plastik yang kita hadapi, termasuk pencemaran di lautan.”

Temuan dari studi mutakhir juga menemukan hasil yang senada. Sebagian besar sampah plastik, tutup botol, dan barang rumah tangga kecil yang terdampar di Seychelles, Afrika Timur, berasal dari Indonesia. Itu berasal dari sampah yang tidak dikelola dengan baik yang dihasilkan di Indonesia. Riset ini dipublikasikan di jurnal Marine Pollution Bulletin pada Februari 2023.

Bahkan puing-puing sandal pantai, botol, hingga jaring apung yang berasal dari Indonesia bisa bertahan di lautan setidaknya selama 6 bulan hingga lebih dari 2 tahun. Penulis utama penelitian bertajuk ‘Sources of marine debris for Seychelles and other remote islands in the western Indian Ocean’ ini, Noam Vogt-Vincent, berasal dari Departemen Ilmu Bumi University of Oxford.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), dalam lima tahun terakhir, Indonesia menghasilkan sedikitnya 23-34 juta ton sampah per tahun. Sekitar 16-20 persen atau 3,68-6,8 juta ton merupakan sampah plastik yang sulit terurai.

Kepala Administrasi Penanggulangan Pencemaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Hendi Koeshandoko mengatakan, dari total sampah plastik itu, sekitar 20 persennya mengalir ke sungai dan berlayar hingga ke lautan. Jumlahnya 270-680 ribu ton per tahun. Sampah-sampah inilah yang akhirnya juga mencemari negara tetangga dan Samudra Hindia. Sebaliknya, sampah dari negara-negara tetangga juga banyak yang mengalir dan tersangkut di pesisir maupun perairan Indonesia.

“Sampahnya dari Filipina, Singapura,” tutur Hendi kepada reporter detikX pekan lalu.

Data Tim Koordinasi Penanganan Sampah Plastik Nasional menunjukkan, sebanyak 77-97 persen sampah yang berada di laut Indonesia berasal dari kebocoran sampah di darat. Sedangkan sisanya merupakan sampah yang berasal dari laut, baik itu dari aktivitas pelayaran maupun nelayan tangkap ikan.

Tim yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ini mencatat, secara persentase, kebocoran terbesar sampah plastik darat ke laut terjadi pada 2020. Dari total 521.540 ton sampah plastik di laut pada tahun itu, sebanyak 508.755 ton atau 97,5 persennya berasal dari darat.

Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar mengatakan pemerintah sebetulnya sudah berupaya mengatasi problem ini dengan menelurkan sejumlah kebijakan. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

Tumpukan sampah terlihat di kampung nelayan yang berdekatan dengan tanggul laut di Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (8/6/2022).
Foto : Pradita Utama/detikcom

Beleid ini menegaskan upaya optimalisasi pengurangan sampah dengan sejumlah cara. Salah satunya, upaya pencegahan timbulan sampah dan penggunaan produk kemasan yang dapat didaur ulang. Di samping itu, melalui aturan ini, pemerintah berupaya memanfaatkan kembali sampah plastik dengan cara diolah menjadi barang yang lebih berguna.

“Tapi cara ini saja tidak cukup karena masalah sampah plastik di laut bukan cuma jadi masalah suatu negara saja atau kota, tapi juga masalah global,” tutur Novrizal saat dihubungi tim detikX pada Jumat, 9 Juni lalu.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengungkapkan, meski sulit, Indonesia sebetulnya sedikit demi sedikit cukup berhasil mengurangi sampah plastik di laut. Terbukti, kata Rosa, selama 2018-2022, jumlah sampah plastik di laut berkurang dari 615.674 ton menjadi hanya 398 ribu ton.

Jumlah tersebut, sambung Rosa, setara dengan 35,36 persen dari target yang dicanangkan pemerintah, yakni 38,5 persen pada 2022. Rancangan besarnya, Indonesia bakal mengurangi 70 persen sampah plastik di laut pada 2025. Caranya, menekan produksi dan konsumsi plastik, memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah untuk penjemputan sampah, hingga penjaringan sampah di sungai.

Jika target pengurangan sampah plastik ini berhasil, lanjut Rosa, tantangannya hanya tinggal mencari cara untuk mengolah sampah-sampah plastik yang kadung berlayar ke laut. Sebab, berdasarkan pengalaman tim KLHK, pengolahan sampah plastik di laut sangat sulit dilakukan lantaran kondisinya yang kotor, rusak, pecah-pecah, dan telah terfragmentasi.

“Tantangannya besar karena membutuhkan biaya pengumpulan dan biaya pre-treatment yang mahal,” tulis Rosa melalui pesan singkat kepada reporter detikX pada Kamis, 8 Juni 2023.

Pengkampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi memandang upaya pemerintah mengurangi sampah plastik di laut memang sudah cukup baik. Namun, kata Atha, mestinya pemerintah bisa lebih ambisius dalam upaya pengurangan sampah plastik ini. Salah satunya dengan lebih tegas melaksanakan aturan-aturan penanganan sampah plastik, misalnya Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Aturan ini secara sederhana mewajibkan dunia industri bertanggung jawab atas produk wadah maupun kemasan yang mereka produksi dengan melakukan 3R (reduce, reuse and recycle)—mengurangi, menggunakan ulang, dan mengolah kembali. Menurut Atha, selain mewajibkan 3R ini, pemerintah perlu tegas memberikan sanksi atau teguran terhadap produsen yang tidak melaksanakan aturan tersebut.

“Karena praktik bisnis industri yang semakin gencar mengedepankan material plastik sekali pakai berkontribusi terhadap masalah sampah plastik yang kita hadapi, termasuk pencemaran di lautan,” tulis Atha melalui pesan singkat kepada reporter detikX.

Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Muhammad Aminullah mengungkapkan, pelaksanaan Permen LHK 75 Tahun 2019 memang masih menjadi salah satu permasalahan penanganan sampah plastik Indonesia. Pasalnya, menurut Anca, begitu dia akrab disapa, sampai saat ini masih sedikit perusahaan manufaktur maupun ritel yang secara nyata menjalankan peraturan tersebut.

Padahal dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, kata Anca, pengelolaan kemasan secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab produsen. Seharusnya, pemerintah lebih tegas lagi dalam menegakkan aturan ini terhadap produsen yang lalai dan tidak bertanggung jawab atas produk kemasannya.

Ketegasan pemerintah dalam pelaksanaan sejumlah aturan sampah plastik kepada produsen penting dilakukan untuk mencegah dampak yang mungkin jauh lebih besar di masa mendatang. Pasalnya, berdasarkan sejumlah penelitian, kini sampah plastik dapat terurai menjadi mikroplastik yang bisa berdampak pada penyakit manusia.

“Karena mikroplastik ini banyak dikonsumsi oleh ikan, yang kemudian dikonsumsi oleh manusia,” pungkas Anca saat berbincang dengan reporter detikX pada Kamis, 8 Juni lalu.

Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ani Mardatila, Cut Maulida Rizky (magang)
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages