Pilihan

Cerita Pemuda NTT Harus Kubur Cita-cita Jadi Insinyur karena Tak Sanggup Bayar UKT - Tempo

 Cerita Pemuda NTT Harus Kubur Cita-cita Jadi Insinyur karena Tak Sanggup Bayar UKT



TEMPO.COJakarta - Persoalan Uang Kuliah Tunggal atau UKT tak hanya menjadi masalah bagi mahasiswa kampus negeri di kota besar. UKT juga dikeluhkan oleh mahasiswa di pulau terluar Indonesia, bahkan disebut banyak terjadi.

Salah satunya yang dialami Julianus, mahasiswa salah satu universitas negeri di Kupang. Ia harus memupus keinginannya untuk kuliah karena kesulitan membayar UKT.

Julianus menceritakan kesulitannya kepada Billy Mambrasar, Staf Khusus Presiden Bidang Inovasi, Pendidikan dan Daerah Terluar. Billy yang melakukan kunjungan ke daerah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yakni di Atambua, Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur menerima banyak keluhan warga soal tingginya biaya SPP kampus negeri dan beberapa dari mereka harus melupakan impiannya untuk menyekolahkan anak mereka ke perguruan tinggi, seperti yang dialami Julianus.

Julianus menyampaikan ke Billly dalam bahasa Tetun (bahasa yang juga dipergunakan oleh warga Timor Leste), ia diminta untuk membayar UKT sebesar Rp 3 juta per semester dan dia tidak sanggup membayarnya. Sementara ayahnya yang bekerja sebagai petani hanya memiliki penghasilan kurang dari Rp 1 juta, ditambah dengan ibunya yang tidak memiliki penghasilan tetap.

Akhirnya Julianus memutuskan untuk pulang kampung membantu kedua orang tuanya untuk menjadi petani. Ia menguburkan cita-citanya menjadi seorang insinyur.

Advertising
Advertising

Billy pun menyebut bahwa ia bertemu dengan sejumlah pemuda lain yang mengalami nasib sepert Julianus. Tak hanya di NTT, tapi juga di Aceh, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Papua.

"Nasib mereka semua sama, yakni mereka harus menguburkan cita-cita mereka masuk perguruan tinggi karena masalah finansial," kata Billy.

Ia pun merasa prihatin. Sebab, banyak putra dari daerah terluar mengalami ketertinggalan di bidang pendidikan. Bahkan, provinsi terluar di Indonesia seperti NTT, Papua dan Maluku, tingkat masuknya anak muda ke perguruan tinggi di bawah angka 10 persen.

Menurut Billy, masalah utamanya adalah masalah ekonomi. "Saya ingin bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman di Kemendikbud Ristek dan Komisi X DPR RI terkait hal ini, dan mencari solusi terbaik, bagi anak-anak bangsa kita," ujarnya.

Data BPS pada 2021 dan 2022 menunjukkan bahwa kurang dari 11 persen saja anak-anak Indonesia yang mampu mengakses pendidikan tinggi. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Seperti Malaysia dan Singapura.

Hal ini, menurut Billy, menjadi hambatan Indonesia untuk menjadi negara maju sesuai cita-cita Presiden Joko Widodo. Sebab, untuk menjadi negara maju dibutuhkan SDM yang unggul dan terdidik hingga perguruan tinggi. Salah satu faktor penghambat anak muda Indonesia daftar masuk perguruan tinggi adalah karena masalah finansial dan tingginya angka UKT tersebut.

Menurut Billy, ketika status sebuah perguruan tinggi negeri berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), maka seharusnya kampus tersebut berkreasi mencari berbagai bentuk pemasukan, baik dengan membuat unit usaha milik perguruan tinggi, jasa penyewaan aset atau berbagai cara lain yang sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan badan hukum perguruan tinggi. Bukan bergantung sepenuhnya kepada bayaran UKT atau SPP mahasiswa untuk menutupi kebutuhan operasional kampus yang pada akhirnya kebergantungan terhadap UKT akan membebani mahasiswa.

Billy mencontohkan ketika dirinya mengenyam pendidikan di luar negeri, kampusnya memperoleh penghasilan untuk menutupi biaya operasional dari caranya memutarkan uang dengan berbagai bentuk usaha, seperti penyewaan aset, menjual hasil penelitian, bermitra dengan perusahaan dan memanfaatkan dana abadi yang diinvestasikan ke berbagai sektor usaha. "Dan bukan biaya SPP sebagai satu-satunya sumber pemasukan," ujar putra Papua pertama yang lulus dari Universitas Harvard di Amerika Serikat ini.

Billy pun berharap tidak banyak lagi anak Indonesia yang nasibnya seperti Julianus, yang harus menguburkan cita-citanya karena masalah finansial, termasuk tingginya UKT atau SPP. Ia meminta agar universitas negeri yang berbadan hukum BLU, khususnya di daerah dengan basis kemiskinan tinggi seperti NTT, Papua dan Maluku, tidak membebankan mahasiswa untuk membayar UKT yang tinggi tetapi dapat mencari cara lain untuk menutupi kebutuhan operasionalnya dengan berbagai bentuk bisnis sesuai dengan aturan.

Pilihan Editor: Ajukan Keringanan UKT, Mahasiswa Baru ITB Wajib Bayar DP RP 5 Juta

Komentar

Baca Juga (Konten ini Otomatis tidak dikelola oleh kami)

Antarkabarid

Arenanews

Antaranews

Berbagi Informasi

Kopiminfo

Liputan Informasi 9

Media Informasi

Opsi Informasi

Opsitek