Faisal Basri Sanggah Jokowi soal Hilirisasi Nikel
By CNN Indonesia
Jumat, 11 Agu 2023 07:45 WIB
Ekonom Senior Faisal Basri menjawab tanggapan Presiden Jokowi terkait tudingan hilirisasi nikel lebih banyak menguntungkan China. (CNN Indonesia/ Adi Ibrahim).
Ekonom Senior Faisal Basri menyanggah tanggapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tudingan hilirisasi nikel lebih banyak menguntungkan China.
Tudingan itu disampaikan Faisal dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi pada Selasa lalu.
Melalui blog pribadinya, Jumat (11/8), Faisal menilai angka-angka terkait kenaikan nilai tambah ekspor dari Rp17 triliun ke Rp510 triliun berkat hilirisasi nikel yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumbernya.
300x250
"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ujar Faisal dalam unggahan blog itu.
Faisal mengakui hilirisasi membuat nilai tambah produk ekspor melonjak. Namun, angkanya tak sebesar yang disampaikan Jokowi.
Mengutip data dari keterangan resmi pemerintah dan pelaku bisnis terkait, Faisal menerangkan nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun pada 2014. Angka itu berasal dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per dolar AS.
Pada 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi yang tercatat US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah pada 2022 sebesar Rp14.876 per dolar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.
"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," ujarnya.
Kendati demikian, menurut Faisal, uang hasil ekspor itu tidak benar-benar mengalir ke Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Artinya, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Selain itu, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Hal ini berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor.
"Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," terangnya.
Menurut Faisal, keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif pajak itu diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.
"Nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahaan-perusahaan smelter China menikmati "karpet merah" karena dianugerahi status proyek strategis nasional," ujarnya.
Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
"Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," sambungnya.
Pernyataan Faisal tercermin dari peranan sektor industri manufaktur yang terus menurun, dari 21.1 persen pada 2014 menjadi hanya 18,3 persen pada 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir. Padahal, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung selama sepuluh tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel, sambung Faisal, juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Pasalnya, hampir separuh ekspor HS 72, yang menjadi acuan nilai tambah yang tercipta dari pengolahan nikel, adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel, nickel pig iron dan nickel mate. Artinya, produk tersebut harus diolah lebih lanjut.
"Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China. Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia," jelasnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Komentar
Posting Komentar