Fenomena TNI Geruduk KPK & Polisi, Cermin Arogansi Para Serdadu - CNN Indonesia

 

Fenomena TNI Geruduk KPK & Polisi, Cermin Arogansi Para Serdadu

Selasa, 08 Agu 2023 11:05 WIB
Sikap anggota TNI mendatangi kantor KPK dan Polisi beberapa waktu belakangan menerbitkan pertanyaan tentang apa kewenangan yang sebenarnya dimiliki tentara (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sikap anggota TNI mendatangi kantor lembaga penegak hukum sipil beberapa waktu belakangan menerbitkan pertanyaan tentang apa kewenangan yang sebenarnya dimiliki tentara.

Itu terjadi ketika rombongan Puspom TNI menyambangi gedung KPK pada 28 Juli dan puluhan personel Kodam I/Bukit Barisan ke Polrestabes Medan, Sumatera Utara pada 6 Agustus.

Semuanya berkaitan dengan proses hukum yang sedang ditangani KPK dan kepolisian.

Di KPK, personel TNI datang usai Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap. Berujung pada permohonan maaf petinggi KPK dengan alasan proses hukum dilakukan oleh peradilan militer.

Di Polrestabes Medan, Mayor TNI Dedi Hasibuan membawa rombongan prajurit menemui Kasat Reskrim Polrestabes Kompol Teuku Fathir Mustafa. Mereka meminta agar penangguhan penahanan ARH, tersangka dugaan pemalsuan surat keterangan lahan, dikabulkan.

Mayor Dedi melakukan itu karena statusnya sebagai penasehat hukum ARH yang tak lain masih memiliki hubungan saudara. Dengan kata lain, Mayor Dedi adalah seorang TNI aktif yang menjadi penasehat hukum warga sipil.

Intervensi

Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai sikap anggota TNI menggeruduk itu tergolong tidak patut dan menjadi contoh buruk bagi masyarakat.

Menurutnya, tindakan prajurit TNI mendatangi markas kepolisian sama saja bentuk intervensi terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan.

"Saya tetap melihat tindakan prajurit TNI mendatangi Polrestabes Medan itu sebagai bentuk arogansi, intimidatif (verbal) dan intervensi sekaligus," kata Fahmi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/8).

Fahmi mengkritisi tindakan Mayor Dedi yang bertugas memberi bantuan hukum terhadap tersangka. Menurutnya, prajurit TNI yang memberikan bantuan hukum pada tersangka juga wajib memperhatikan norma yang berlaku.

Fahmi merinci petunjuk penyelenggaraan bantuan hukum yang diatur melalui Keputusan Panglima TNI Nomor KEP/1089/XII/2017. Selain keluarga dan sejumlah kategori lain, mereka yang mempunyai hubungan kerja dalam rangka mendukung tugas pokok TNI juga dapat menerima bantuan hukum.

"Kategori terakhir itu sangat longgar dan dapat menjadi celah hadirnya praktik buruk pemberian bantuan hukum oleh TNI," kata Fahmi.

Tak seharusnya upaya meminta penangguhan penahanan dengan cara menggeruduk itu dikabulkan kepolisian. Ia khawatir bila dikabulkan, kondisi ini menginspirasi orang-orang yang tersangkut masalah pidana melakukan tindakan serupa.

"Mereka bisa menggunakan cara-cara serupa untuk memperjuangkan keadilan maupun sebaliknya untuk mengeluarkan tersangka dari tahanan. Termasuk dengan meminta bantuan hukum dari TNI," kata dia.

Terpisah, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menganggap penggerudukan yang dilakukan anggota TNI tak sesuai dengan profesionalisme dan asas kepatuhan. Oleh karena itu, patut ditindak tegas.

Jika tidak, Julius mengatakan maka bisa saja peristiwa serupa kembali terulang.

"Jangan-jangan besok Satpol PP digeruduk, besok apalagi. Karena ada preseden seperti ini enggak pernah ditindak serius," kata Julius saat dihubungi.

Julius juga memandang penggerudukan oleh prajurit TNI sebagai obstruction of justice atau tindakan menghambat proses hukum.

Dia menjelaskan bahwa fungsi yang melekat di penyidik menganut prinsip pro justitia. Dengan demikian, segala bentuk gangguan, hambatan dan halangan yang diterima dapat dijerat dengan suatu tindak pidana.

"Mau itu dilakukan oknum TNI, mau oknum sipil, periksa itu semua," kata Julius.

"Ini harus diperiksa juga oleh Puspom TNI. Ada pelanggaran terhadap profesional dan tupoksi. Harus ditindak tegas," tambahnya.

Khianati mandat Reformasi

Julius menganggap penggerudukan yang dilakukan anggota TNI jelas bertentangan dan mengkhianati mandat Reformasi 1998.

Reformasi mengamanatkan ada batasan terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI dalam operasi militer perang dan operasi militer selain perang.

Ia menegaskan bahwa TNI tidak boleh lagi melakukan intervensi dalam penegakan hukum di ranah sipil. Tak seperti dulu di era Orde Baru.

"Jelas menggeruduk dan halang-halangi proses hukum ini bukan Tupoksi anggota TNI. Dan ini enggak sesuai doktrin prajurit yang bicara profesionalisme, disiplin, patuh terhadap hukum dan sebagainya itu," kata Julius.

Akan tetapi, Julius juga menganggap batasan tupoksi TNI dalam hubungan sipil militer masih belum kentara dengan jelas. Perlu ada pembaruan dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

"Karena tak ada pembatasan itu, jadi masih terjadi intervensi model begini. Ke depannya PR kita masih banyak. Mulai peradilan militer, mesti settle memisahkan ruang sipil dan militer, lalu juga revisi UU TNI mempertegas operasi perang dan non-perang," kata dia.

CNNIndonesia.com menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI Laksda TNI Julius Widjojono untuk menjawab kritik soal penggerudukan TNI. Dia menyatakan bahwa hal tersebut sudah dijelaskan oleh Panglima TNI Yudo Margono di sejumlah kesempatan. 

Yudo pada pekan lalu menepis kesan seolah TNI belum berubah sejak reformasi. Hal itu disampaikan Yudo saat ditanya soal penangan kasus korupsi di Basarnas yang menyeret dua perwira aktif TNI.

Awalnya, Yudo meminta masyarakat untuk tidak khawatir soal penanganan tindak pidana prajurit di peradilan militer. Ia meminta pihak yang menyebut peradilan militer sebagai sarana impunitas prajurit untuk membuktikan pernyataannya.

"Tunjukkan mana impunitas yang diterima oleh prajurit TNI kalau salah, pasti dilaksanakan penyidikan dan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Yudo usai membuka Panglima TNI Cup 2023, di Mabes TNI, Jakarta Timur, Jumat (4/8).

Ia menjelaskan dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan prajurit, pihaknya mengacu pada UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Jika ada pihak yang ragu dalam penanganan kasus, ia mempersilakan untuk mengikuti penyidikan yang dilakukan Puspom TNI. Yudo meminta agar publik tidak terus menuduh TNI sebagai produk Orde Baru.

"Ayo kita sama-sama melihat penjaranya kayak apa, penyidikannya kayak apa. Jadi jangan selalu bilang produk Orde Baru, kita semuanya produk Orde Baru. Kita akui atau tidak, produk Orde Baru semuanya, karena memang saat itu kita lalui semua," kata Yudo.

Sementara dalam penggerudukan Polrestabes Medan, Yudo mengatakan peristiwa itu tidak pantas. Ia menyatakan telah memerintahkan polisi militer untuk memeriksa para prajurit itu.

"Saya perintahkan Danpom TNI ya langsung diperiksa ya. Sudah saya perintahkan nanti akan kita periksa," katanya.

(rzr/bmw)


TOPIK TERKAIT

Baca Juga

Komentar