Jeritan Diaspora yang Pulang tetapi Tak Kunjung Dapat Pekerjaan
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fimg2.beritasatu.com%2Fcache%2Fberitasatu%2F960x620-3%2F2023%2F08%2F1692272758-1600x1066.webp)
Jakarta, Beritasatu.com - Tema peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-78 kemerdekaan Indonesia "Terus Melaju untuk Indonesia Maju" memunculkan tanda tanya bagi seorang diaspora. Pasalnya, keinginannya untuk memajukan Indonesia, khususnya di sektor energi terbarukan (renewable energy), hingga kini belum terealisasi.
Setelah hampir 3 tahun pulang ke Indonesia, Hesty (bukan nama sebenarnya) belum juga mendapat pekerjaan sesuai keahliannya. Dia pun mempertanyakan langkah konkret pemerintah memfasilitasi diaspora untuk membangun negeri sejalan dengan imbauan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di hadapan penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Presiden Jokowi meminta mereka pulang ke Tanah Air jika telah menyelesaikan masa studi.
Meski gaji dan fasilitas tidak sebagus di luar negeri, lanjutnya, Indonesia membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki pemikiran visioner.
"Gaji di sini mungkin lebih rendah sedikit, tetapi tetap pulang. Meskipun mungkin fasilitas enak di negara lain, tetap pulang. Negara kita saat ini sangat membutuhkan anak-anak muda yang memiliki pemikiran, dan visi ke depan yang lebih baik," katanya.
Saat berbincang dengan Beritasatu.com, Rabu (16/8/2023), Hesty mengapresiasi pernyataan Presiden Jokowi yang meminta SDM Indonesia di luar negeri atau yang disebut diaspora untuk pulang dan membangun negeri tercinta. Sayangnya, meski sudah hampir 3 tahun berada di Indonesia setelah 15 tahun tinggal di Amerika Serikat, Hesty belum juga mendapat pekerjaan.
Saat ini Hesty bersama suaminya tinggal di Solo, Jawa Tengah. Rumahnya berjarak sekitar 5 kilometer dari kediaman Jokowi di kawasan Sumber.
Hesty adalah seorang engineer dengan gelar MBA dari Texas A&M University, salah satu universitas ternama di Amerika. Di negeri orang, dia berkarier di Technip, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang perminyakan, gas, dan energi terbarukan.
“Anjuran pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, agar SDM di luar negeri pulang ke Indonesia sudah tepat agar mereka bisa lebih nyata mengaktualisasikan peran membangun negeri. Saya merasa terpanggil untuk pulang, tetapi sampai sekarang belum bisa mengaplikasikan ilmu yang saya kuasai,” katanya.
Hesty juga sempat berkarier sebagai konsultan transformasi bisnis di bidang energi, sumber daya, dan industri, serta restrukturisasi perusahaan dan manajemen strategi bisnis. Menurutnya, dalam bidang transformasi energi di Indonesia, masih banyak potensi yang bisa dimaksimalkan.
“Ada banyak alternatif energi terbarukan yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan, seperti biofuels, biochemicals, floating offshore wind, solar energy, termasuk pengembangan sumber daya nonmineral dan pengembangan kendaraan berbahan bakar listrik,” katanya.
"Yang terpenting dilakukan Indonesia adalah segera melakukan proses transfer teknologi dengan memperbarui dan segera beralih dari energi minyak bumi ke sustainable energy, renewable energy, sebagai langkah efisiensi dan kesiapan menghadapi tantangan global," jelasnya.
Sebelum memutuskan pulang ke Indonesia, Hesty menerima tawaran dari salah satu pejabat untuk mengisi lowongan pada salah satu divisi di BUMN dengan menjadi tenaga ahli bidang transformasi energi. Pasalnya, bidang transformasi energi menuju penggunaan energi terbarukan tergolong masih baru di Indonesia, sehingga memerlukan banyak tenaga ahli. Ternyata tawaran dari pejabat tersebut tak pernah terealisasi hingga kini.
“Pulang ke Indonesia, artinya juga meninggalkan segala privilese, zona nyaman, dan status permanent resident di luar negeri,” katanya.
Setelah gagal bergabung di BUMN, Hesty berusaha mencari pekerjaan di perusahaan swasta. Namun, perjuangannya belum membuahkan hasil. Banyak tes dan wawancara yang dia jalani, tetapi hasilnya nihil. Beragam alasan diterimanya, seperti minim pengalaman bekerja di Indonesia, bahkan overqualified.
Kenyataan yang dihadapinya saat ini membuat Hesty hanya bisa tersenyum kecut. Dia merasa asing di tanah kelahirannya. “Serasa saya jadi WNA, meski kenyataannya WNI. Investasi pendidikan di Amerika, ilmu dan pengalaman lebih dari 15 tahun di luar negeri, ternyata belum cukup untuk membuka pintu kesempatan berkarya di negeri sendiri,” kata Hesty.
Menurutnya, boleh saja pemerintah mengimbau diaspora untuk pulang ke Indonesia, tetapi perlu disiapkan sistem yang bisa menampung segala potensi mereka agar bisa dimanfaatkan untuk membuat negara ini menjadi semakin maju.
“Apabila profesional dari luar negeri pulang ke Indonesia, apakah sudah ada peraturan dan kebijakan pemerintah untuk mendayagunakan potensi mereka? Apakah sektor swasta juga bersedia memberi peluang mereka berkarya? Profesional, talented person, yang sudah bersedia kembali ke Indonesia, hendaknya mendapat tempat yang layak untuk terus berkarya dan memajukan bangsa. Sayangnya, potensi anak negeri justru lebih dihargai negara lain, karena pemerintah maupun pihak swasta minim mengapresiasi mereka," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar