Data Intelijen Jokowi, Kritik BRIN, dan Sinyal Kerenggangan dengan Megawati | Garuda News 24
JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan sejumlah kritik terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal data intelijen tentang kondisi internal dan agenda seluruh partai politik.
Kritik itu disampaikan dalam kajian klaster Konflik, Pertahanan, dan Keamanan Pusat Riset Politik (PRP) BRIN dan dipaparkan melalui webinar.
Peneliti dan Koordinator klaster Konflik, Pertahanan, dan Keamanan Pusat Riset Politik (PRP) BRIN Muhamad Haripin menyampaikan sejumlah catatan terkait dengan pernyataan Jokowi.
Menurut kajiannya, Jokowi tengah melakukan praktik spionase politik terkait pernyataannya yang mengaku memiliki data intelijen terkait kondisi internal dan agenda partai politik.
Haripin menganggap, pernyataan Jokowi juga memperlihatkan hubungan antara presiden dan lembaga intelijen yang penuh dengan konflik kepentingan.
Baca juga: Dikritik Soal Data Intelijen, Jokowi: Di Undang-Undang Harus Laporan ke Presiden
“Dari analisis kami memang ada risiko apa yang diungkapkan presiden adalah satu praktik dari intelijen politik,” kata Haripin dalam Webinar Bahaya Penyalahgunaan Intelijen dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024, dikutip dari kanal YouTube BRIN, Kamis (21/9/2023).
Menurut Haripin berdasarkan kajian dan analisis di PRP BRIN, aksi spionase terhadap parpol mengindikasikan terjadinya penyalahgunaan intelijen untuk kepentingan kekuasaan.
Dampak dari hal itu adalah pelanggaran hak kebebasan warga, menjadi ancaman serius bagi proses menjelang Pemilu 2024, dan mengancam nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila.
Haripin melanjutkan, mobilisasi intelijen untuk mematai-matai parpol adalah penyalahgunaan kekuasaan. Sebab tugas intelijen adalah mengumpulkan dan mengolah informasi soal ancaman, bukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) tentang koalisi atau oposisi politik.
Haripin menilai dari pernyataan Jokowi itu terindikasi terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara yang mengatur pembagian fungsi intelijen di antara Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, dan Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri.
Baca juga: Pegang Data Intelijen Parpol, Jokowi Klaim Tak Ada Aturan Dilanggar
Praktik memata-matai parpol juga dinilai sebagai wujud intimidasi negara. Dampaknya, kata Haripin, bisa menimbulkan ketakutan bagi masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan politik, berbangsa dan bernegara, di tengah situasi menuju Pemilu 2024.
“Aksi spionase terhadap partai politik mencederasi prinsip Luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan Jurdil (jujur, adil). Aksi mata-mata bisa dipandang sebagai bentuk obstruksi (menghalangi) terhadap upaya menyukseskan Pemilu 2024,” ucap Haripin.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Ahli Utama klaster Partisipasi Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah PRP BRIN Firman Noor memandang terdapat sejumlah pelanggaran kewenangan institusional dari pernyataan Jokowi.
Pertama adalah pelanggaran kekuasaan presiden. Firman menilai presiden sudah melanggar prinsip demokrasi dengan “terlalu jauh ke dalam” (in too deep) hingga mengetahui dinamika internal partai politik melalui spionase intelijen.
“Selangkah lagi atau setengah langkah lagi artinya sudah sangat terbuka peluang intervensi secara tidak langsung yang secara nyata dilakukan oleh presiden dalam mengintrusi partai-partai politik,” ujar Firman.
Baca juga: Tawa Jokowi Saat Ditanya soal Data Intelijen Partai Politik…
Komentar
Posting Komentar