India Ogah Ekspor Beras ke RI
JAKARTA — Kementerian Perdagangan membatalkan rencana tambahan impor beras sebanyak 1 juta ton dari India. Pembatalan impor itu seiring dengan keputusan India yang melarang ekspor berasnya demi mengamankan kebutuhan dalam negeri.
Pemerintah pada tahun ini mengimpor beras sebanyak 2 juta ton lewat penugasan kepada Perum Bulog. Namun, beras-beras itu hanya didatangkan dari Thailand dan Vietnam. Kedua negara itu diketahui juga tengah melakukan langkah proteksi terhadap pasokan pangan dalam negerinya.
“India sedang melarang ekspor berasnya, tapi (stok) kita aman, insya Allah,” kata Zulkifli saat ditemui seusai rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Senin (4/9/2023).
Zulkifli mengungkapkan, sebetulnya India memiliki pasokan beras sebanyak 7 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negerinya hingga akhir tahun ini hanya sekitar 3 juta ton, sehingga terdapat surplus 4 juta ton.
Namun, India lebih memilih menutup keran ekspor demi mengantisipasi dampak buruk dari cuaca kemarau ekstrem El Nino yang bisa berdampak pada penurunan produksi. “India juga akan pemilu dan inflasinya cukup tinggi, jadi oleh Pemerintah India yang terkait pangan akan dilarang ekspor agar harga turun dan inflasi terkendali karena musuh pemerintah kalau mau pemilu itu inflasi,” kata ujarnya.
Meski gagal mendapatkan pasokan tambahan, lelaki yang akrab disapa Zulhas itu percaya diri dengan stok cadangan beras di Bulog sebanyak 1,6 juta ton. Ia juga optimistis Bulog bisa menjadi menstabilkan pasokan beras dan harga meski harus diakui harga beras di dalam negeri terus meningkat.
Zulhas kembali menekankan bahwa stok Bulog sebanyak 1,6 juta ton saat ini cukup untuk menjadi penyangga nasional.
“Tahun lalu, beras (cadangan) cuma 500 ribu ton, kita khawatir. Tapi, sekarang 1,6 juta ton dan mungkin akan masuk lagi 400 ribu ton,” kata Zulhas.
Beras Bulog merupakan cadangan beras yang dipakai pemerintah dalam stabilisasi harga domestik maupun bantuan sosial (bansos) kepada keluarga kurang mampu. Pasokan beras Bulog juga diandalkan pemerintah untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri di tengah ancaman penurunan produksi imbas kemarau ekstrem El Nino yang melanda Tanah Air.
Hal itu, menurut Zulhas, dapat menimbulkan efek psikologis pasar perberasan. “Agar tidak ada efek psikologis, maka stok diperkuat, jadi, insya Allah, aman. Mulai September ini, (beras bansos) juga mulai dibagi,” kata Zulhas.
Seperti diketahui, pemerintah kembali menyalurkan beras bansos sebanyak 10 kg masing-masing untuk 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama tiga bulan. Ini merupakan gelombang kedua setelah periode pertama bantuan serupa pada Maret, April, dan Mei.
Zulhas melanjutkan, dirinya juga telah meminta Bulog untuk bisa bersaing dengan penggilingan padi swasta dalam menyerap produksi petani. Apabila swasta bisa menyerap gabah dengan harga tinggi, Bulog perlu melakukan hal serupa demi bisa mempertahankan pasokan cadangan.
Kemendag juga terus memantau pergerakan harga beras dari sekitar 500 pasar kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Ia menekankan, pemerintah akan mengambil intervensi bila pergerakan harga beras menyebabkan kenaikan laju inflasi yang signifikan.
“Kita syukuri kenaikan-kenaikan harga ini masih dalam inflasi yang terkendali. Kita menargetkan inflasi 3 plus minus 1 persen. Mudah-mudahan tidak lewat 4 persen,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim saat ditemui menjelaskan, sesuai standar Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Indonesia setidaknya perlu memiliki cadangan beras sekitar 1,5 juta ton. Dengan kata lain, rekomendasi itu sudah dijalankan saat ini.
Isy mengatakan, stok di Bulog sebanyak 1,6 juta ton harus dapat dikelola secara tepat agar bisa menjadi penyangga beras nasional di tengah situasi seperti saat ini. “Bukan berarti stok 1,6 juta ton ini aman, tapi ini harus dijaga terus, apalagi stok cadangan akan kemakan terus di saat harga beras lumayan tinggi,” katanya.
Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras dari India itu sebagai bentuk antisipatif. Pemerintah, ucap dia, ingin berjaga-jaga apabila terjadi penurunan produktivitas dalam negeri akibat El Nino
“Makanya, skemanya pakai kontrak beli. Kontrak itu akan didatangkan jika Indonesia benar-benar butuh. Jika tidak, ya, kontrak belinya tidak direalisasikan,” ujar Khudori saat dihubungi Republika, Senin (4/9/2023).
Khudori menyampaikan, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memperkirakan penurunan produksi beras hingga 1,2 juta ton akibat El Nino. Ada juga yang memperkirakan produksi turun hingga 5 persen atau setara 1,5 juta ton beras.
“Ketersediaan beras saat ini memang cukup mengkhawatirkan karena, menuju akhir tahun dan awal tahun depan, harga beras potensial terus naik,” ucap Khudori.
Mengikuti siklus produksi padi, ucap Khudori, saat ini hingga akhir September nanti adalah musim panen gadu lantaran produksi lebih rendah dari panen rendeng atau panen raya. Harga gabah/beras akan lebih tinggi.
Khudori memprediksi, Indonesia akan mulai mengalami musim paceklik pada Oktober. Biasanya, Oktober adalah waktu awal tanam dan akan dipanen akhir Januari atau awal Februari di musim panen raya. Namun, adanya El Nino membuat hujan datang terlambat alias mundur.
“Kalau mundur sebulan, musim tanam akan mundur sebulan. Jika mundur dua bulan, musim tanam mundur dua bulan. Artinya, musim paceklik akan lebih lama. Sementara, 14 Februari 2024 ada pilpres, lanjut Ramadhan di Maret yang disusul Idul Fitri, juga Natal dan tahun baru 2024. Ini semua butuh konsumsi lebih,” lanjutnya.
Khudori menyampaikan, saat ini cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog sebesar 1,6 juta ton. Khudori menilai peluang mengharapkan pengadaan dari dalam negeri sangat kecil. Apalagi, harga gabah dan beras medium sudah di atas harga eceran tertinggi.
Menurut Khudori, Bulog sulit mendapatkan gabah/beras. Sementara itu, di sisi lain, Bulog mesti menyalurkan bansos beras selama tiga bulan dari September sampai dengan November 2023 sekitar 640 ribu ton.
Selain itu, Bulog masih perlu mengamankan harga beras lewat stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) bisa mencapai 150 ribu-200 ribu ton hingga akhir tahun.
“Jadi, stok akhir tahun kemungkinan tinggal 750-800 ribu ton. Ini bisa cukup, bisa tidak. Cukup jika Bulog di awal 2024 tidak diminta menyalurkan bansos beras lagi. Jika ini langkah pemerintah, harga beras mungkin akan tinggi,” katanya.
Khudori mengatakan, pemerintah juga perlu mengantisipasi pasokan beras jelang pilpres dan Ramadhan. Sebagai gantinya, dia katakan, SPHP mungkin akan besar volumenya dengan konsekuensi stok CBP akan terkuras.
Dengan jumlah stok CBP yang semakin kecil, beras akan lebih banyak dimiliki pihak swasta. Dengan demikian, pemerintah tidak memiliki stok beras untuk intervensi pasar.
“Ini mesti diwaspadai. Agar tidak gambling, sisa kuota impor 0,4 juta ton yang diberikan ke Bulog sebaiknya dieksekusi meski untuk mendapatkannya tidak mudah,” kata Khudori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar