Mayoritas Manusia Kepanasan Akibat Perubahan Iklim By garudanews24

 

Mayoritas Manusia Kepanasan Akibat Perubahan Iklim

By Beranda
garudanews24.id
September 12, 2023

WASHINGTON – Lonjakan suhu akibat perubahan iklim bukan hanya terjadi di Indonesia dalam tiga bulan belakangan. Sebanyak 98 persen populasi dunia juga mengalami lonjakan suhu akibat perubahan iklim pada Juni hingga Agustus. 

Hal itu diungkap Climate Central, kelompok penelitian yang berbasis di Amerika Serikat (AS), lewat studinya yang dirilis Kamis (7/9/2023) malam. Juli menjadi bulan terpanas yang pernah tercatat Sementara suhu rata-rata di bulan Agustus juga 1,5 Celcius lebih tinggi dibandingkan suhu pra-industri.

 “Hampir tidak ada seorangpun di bumi yang lolos dari pengaruh pemanasan global selama tiga bulan terakhir,” kata Andrew Pershing, wakil presiden bidang sains Climate Central. 

Climate Central mengamati suhu di 180 negara dan 22 wilayah. Pengamatannya menunjukkan bahwa 98 persen populasi dunia terpapar suhu lebih tinggi yang setidaknya dua kali lebih besar kemungkinannya disebabkan polusi karbon dioksida. “Di setiap negara yang dapat kami analisis, termasuk belahan Bumi selatan, yang merupakan waktu terdingin sepanjang tahun, kami melihat suhu yang sulit dicapai, dan dalam beberapa kasus hampir tidak mungkin terjadi, tanpa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia,” ungkap Pershing. 

Climate Central menilai apakah kejadian panas lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim dengan membandingkan suhu yang diamati dengan suhu yang dihasilkan oleh model yang menghilangkan pengaruh emisi gas rumah kaca. Dikatakan bahwa sebanyak 6,2 miliar orang mengalami setidaknya satu hari suhu rata-rata yang setidaknya lima kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim, nilai maksimum dalam Indeks Pergeseran Iklim dari Climate Central. 

Friederike Otto, ilmuwan iklim di Institut Perubahan Iklim dan Lingkungan Grantham mengatakan, gelombang panas di Amerika Utara dan Eropa Selatan tidak mungkin terjadi tanpa perubahan iklim. “Kami telah mengamati gelombang panas yang terisolasi. Kemungkinannya tidak lima kali lebih besar. Hal ini menjadi jauh lebih mungkin terjadi karena hal tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya perubahan iklim,” ucapnya. 

Musim panas di belahan Bumi utara pada 2023 telah menjadi musim panas terpanas sejak pencatatan dimulai. Gelombang panas yang berkepanjangan di Amerika Utara dan Eropa Selatan menyebabkan bencana kebakaran hutan serta lonjakan angka kematian. 

Sementara, Dana Moneter Internasonal (IMF) mengatakan saat ini kenaikan suhu bumi naik dua kali lipat dan mempengaruhi iklim sehingga kerap terjadi cuaca ekstrim. Negara negara berkembang, salah satunya Indonesia berpotensi terdampak secara signifikan dari krisis iklim ini.

Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva menjelaskan krisis iklim akan berdampak pada perekonomian global. Cuaca ekstrim akan mempengaruhi sektor pertanian, laut dan juga lapangan pekerjaan. Justru, ancaman ini akan berdampak signifikan Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Taiwan, termasuk dalam 10 besar indeks risiko iklim global, dan Indonesia. 

“Indonesia terkena dampak parah dari bencana alam kenaikan permukaan air laut. Dan kita tahu bahwa satwa liar, kebakaran hutan merupakan ancaman yang semakin dramatis. Saat suhu naik. Dan tentu saja, selain kerugian fisik, kita juga harus menanggung kerugian manusia, penderitaan orang-orang yang menghancurkan penghidupan ratusan juta orang,” kata Kristalina dalam Indonesia Sustainable Forum (ISF), Kamis (7/9/2023). 

Kristalina menjelaskan kerugian ekonomi akibat krisis iklim bisa mencapai 100 miliar dolar AS per tahun. Negara ASEAN memiliki banyak penduduk hingga 190 juta jiwa yang akan terdampak. Krisis pangan, akses lapangan pekerjaan yang minim akan semakin menggerus kesejahteraan masyarakat. 

“Karena perubahan iklim membahayakan stabilitas makroekonomi dan keuangan. Negara-negara ini berada di garis depan dalam dampak perubahan iklim, namun mereka juga menjadi pendorong tindakan di kawasan ini,” kata Kristalina.

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, jika semua negara tak bahu membahu memerangi iklim maka pada tahun 2050 mendatang krisis iklim bisa merugikan perekonomian global hingga 23 triliun dolar AS.

“Karena  krisis iklim berdampak pada ketahanan pangan, pembangunan daerah pedesaan, dan kemiskinan. Akan ada kerugian besar perekonomian global karena krisis iklim ini,” kata Luhut dalam Indonesia Sustainable Forum (ISF), Kamis (7/9/2023). 

Luhut menekankan butuh kolaborasi internasional yang konkrit untuk bisa mencegah krisis iklim. Ia menilai, terlalu banyak perjanjian dan komitmen namun minim aksi. 

“Secara global, banyak hal telah dituangkan di atas kertas. Namun, kolaborasi internasional yang konkrit, dengan kecepatan dan skala besar, sangat dibutuhkan,” tegas Luhut.

Ia menilai, jika tak ada perubahan dan langkah konkrit maka kegagalan satu dunia berarti kegagalan seluruh dunia. “Ini masalah semua orang. Kegagalan satu negara berarti kegagalan seluruh dunia,” kata Luhut.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya