PBB Dorong Reformasi Struktur Keuangan Global untuk Bantu Negara Berkembang
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fimg2.beritasatu.com%2Fcache%2Fberitasatu%2F960x620-3%2F1668259859_1024_626.jpg)
Jakarta, Beritasatu.com- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan pentingya upaya reformasi struktur keuangan global sehingga sejalan dengan kondisi ekonomi dan politik sekaligus responsif terhadap kebutuhan negara-negara berkembang.
“Kita perlu membuat mekanisme pembayaran utang yang efektif untuk mendukung penangguhan pembayaran, jangka waktu pinjaman lebih panjang, dan suku bunga rendah," kata Sekjen PBB António Guterres dalam konferensi pers di ASEAN Media Center, Jakarta Convention Center (JCC) dikutip Investor Daily, Kamis (7/9/2023).
Dia mengatakan likuiditas perlu ditingkatkan sebesar US$ 100 miliar lewat hak penarikan khusus yang tidak terpakai melalui bank-bank pembangunan multilateral. Hal tersebut diimplementasikan menggunakan model yang diusulkan Bank Pembangunan Afrika dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. “Hal ini akan meningkatkan sumber daya setidaknya lima kali lipat,” tutur António.
Sementara itu, negara berkembang membutuhkan US$ 500 miliar setiap tahun untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs). ASEAN dapat menjadi contoh bagi dunia sebagai kekuatan ekonomi hijau global dan perintis transisi energi berkelanjutan, adil, inklusif, dan merata. “PBB bangga menjadi mitra ASEAN dalam mewujudkan visi ini menjadi kenyataan bagi seluruh masyarakat Asia Tenggara,” terang Antonio.
Dalam kesempatan tersebut, Antonio juga menekankan pentingnya upaya transisi energi untuk mengantisipasi perubahan iklim. Menurut dia, para pemimpin negara harus segera mencari solusi untuk mengatasi masalah iklim.
“Saya telah menyerukan pakta solidaritas iklim, semua penghasil emisi besar melakukan upaya ekstra untuk mengurangi emisi dan negara-negara kaya memobilisasi sumber daya keuangan dan teknis untuk mendukung negara berkembang,” kata Antonio.
Antonio menekankan pentingnya agenda percepatan yang berisi tentang ajakan negara-negara maju untuk mencapai nol emisi sebisa mungkin di tahun 2040. Sementara negara-negara berkembang sebisa mungkin pada tahun 2050. Dia mengapresiasi sikap negara-negara anggota ASEAN, seperti Indonesia dan Vietnam yang memelopori kemitraan transisi energi berkeadilan yang menjadi instrumen mengurangi emisi, mendorong energi terbarukan, dan menumbuhkan ekonomi hijau. “Ambisi yang lebih besar diperlukan di seluruh bidang bersama dengan dukungan dan sumber daya yang lebih besar,” tutur Antonio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar