Rempang dan Perlawanan Keturunan Pasukan Elite 300 Tahun Silam
Ribuan warga Rempang, Batam, menolak digusur dari tanah kelahirannya. Mereka tak ingin direlokasi ke Pulau Galang atas nama pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Perlawanan pun tak terelakkan. Bentrokan antara aparat dan warga pecah pada 7 September lalu. Polisi menembakkan gas air mata ke arah massa. Anak-anak di sekolah ikut terkena dampaknya hingga dilarikan ke rumah sakit.
Berselang lima hari, kericuhan kembali terjadi di kantor BP Batam. Sebanyak 43 orang yang menolak relokasi ditangkap polisi lantaran dituduh provokator. Mereka dijadikan tersangka.
Aksi represif aparat di Rempang memicu kemarahan masyarakat Indonesia. Sedikitnya 130 organisasi masyarakat sipil dari Aceh hingga Papua mendesak pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo untuk menghentikan proyek Rempang Eco City.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fakcdn.detik.net.id%2Fcommunity%2Fmedia%2Fvisual%2F2023%2F09%2F08%2Fbentrok-di-pulau-rempang-3_169.jpeg)
Lembaga Adat Melayu Riau mengeluarkan empat poin maklumat terkait tragedi kemanusiaan di Rempang. Salah satunya, mereka meminta pemerintah tidak menggunakan cara-cara represif, intimidatif, dan kriminalisasi terhadap masyarakat Melayu yang mempertahankan haknya.
Ulama asal Riau, ustaz Abdul Somad ikut menyerukan agar para pengacara terbang ke Rempang untuk membantu masyarakat. Dia menilai warga yang ditangkap polisi adalah mereka yang ingin mempertahankan tempat tinggal dan sumber penghidupannya.
"Mereka bukan pengedar narkoba, koruptor, mereka adalah orang yang membela tanahnya, rumahnya, macam mana kalau rumah kita, (untuk) cari makan, dirampas," kata ulama asal Riau itu.
Jokowi sendiri telah memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan. Dia menilai bentrokan di Rempang terjadi karena kesalahpahaman. "Masa urusan begitu harus sampai presiden," kata Jokowi.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fakcdn.detik.net.id%2Fcommunity%2Fmedia%2Fvisual%2F2023%2F09%2F07%2Frempang-mencekam-aparat-tembakkan-gas-air-mata-ke-sekolah-1_169.png%3Fw%3D620)
Masyarakat tanpa sertifikat
Rempang Eco City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam Program Strategis Nasional 2023. Pembangunan proyek itu diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus lalu.
Rempang masuk kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di pulau seluas 16.583 ribu hektare itu akan dibangun kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata.
Sekitar lebih dari 7.500 warga setempat bakal direlokasi ke Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang, Batam. Pada tahap awal, jumlah warga yang direlokasi mencapai 2.000 kepala keluarga.
Secara administratif, Rempang termasuk bagian dari Kota Batam. Wilayahnya terdiri dari Kampung Tua, areal tanah bekas hak guna usaha (HGU), dan kawasan hutan.
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan (HPL) seluruh areal di Pulau Batam kepada Otorita Batam, kini bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan bebas (BP) Batam.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fakcdn.detik.net.id%2Fcommunity%2Fmedia%2Fvisual%2F2022%2F06%2F15%2Fsertijab-menteri-atrkepala-bpn-2_169.jpeg)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menyatakan masyarakat yang menempati Pulau Rempang tidak memiliki HGU.
"Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu semuanya ada di bawah Otorita Batam," kata Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI, Jakarta, Selasa (12/9).
Dia menjelaskan Lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City merupakan kawasan hutan. Sebanyak 600 hektare di antaranya merupakan HPL dari BP Batam.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyebut tanah yang bersengketa itu milik negara. Dia mengatakan negara memberikan HGU kepada investor. Karena itu, Mahfud menyebut peristiwa di Rempang bukan penggusuran, namun pengosongan lahan oleh yang berhak.
"Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya," ujar Mahfud saat ditemui di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9).
Proyek strategis nasional itu sendiri bakal dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan milik Tomy Winata. Proyek tersebut ditargetkan bisa menarik investasi sekitar Rp381 triliun hingga 2080, dengan target 30 ribu tenaga kerja.
PT MEG menggandeng perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited. Perusahaan ini berencana membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan ekosistem rantai pasok industri kaca.
Kampung Tua dan kehidupan 300 tahun lalu
Status kepemilikan tanah di Rempang jadi polemik. Tokoh masyarakat di Rempang, Khazaini KS mengatakan warga yang menolak relokasi mayoritas tinggal di 16 Kampung Tua. Menurutnya, masyarakat setempat sudah ada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka.
"Dari hasil asesmen lapangan kami, mayoritas masyarakat 16 kampung tua menolak relokasi karena kampung sudah eksis dari 1834," kata Khazaini kepada CNNIndonesia.com, Jumat (8/9).
Tokoh Melayu Riau, Alzaini Agus menyebut masyarakat Melayu sudah tinggal dan beranak pinak di Rempang, termasuk Pulau Galang dan Bulang, sejak lebih dari 300 tahun lalu. Mereka eksis serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang hingga hari ini.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fakcdn.detik.net.id%2Fcommunity%2Fmedia%2Fvisual%2F2023%2F09%2F07%2Frempang-mencekam-aparat-tembakkan-gas-air-mata-ke-sekolah-3_169.png)
Alzaini mengutip kitab Tuhfat An-Nafis karya pahlawan nasional Raja Ali Haji itu ditulis dengan Bahasa Melayu Arab pada tahun 1885, dan diterbitkan pertama kali pada 1890. Naskahnya juga diterbitkan pada 1923 untuk Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, London.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari prajurit atau laskar Kesultanan Riau Lingga. Mereka mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
Dia menyebut pada masa perang Riau I (1782-1784) melawan Belanda, penduduk setempat menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian, dalam Perang Riau II (1784-1787), mereka di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, ikut berjuang melawan Belanda.
Sultan Mahmud Riayat Syah kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga pada 1787. Alzaini mengatakan saat itu Pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad, dan Panglima Raman. Keduanya diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.
"Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga," kata Alzaini saat dikonfirmasi oleh CNNIndonesia.com, Kamis (14/9).
Dosen Universitas Islam Riau itu mengungkapkan pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite).
"Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami Pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun," ujar dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar