Saling Tuding Penyebab Polusi Udara di Jakarta
JAKARTA – Penyebab pasti udara buruk di Jabodetabek masih belum diketahui. Para pemangku kepentingan pun masih saling cuci tangan terkait sumber utama polusi udara di Ibu Kota dan sekitarnya. Jika penyebab utamanya tak kunjung menemu kesimpulan, solusi untuk mengendalikannya pun masih jauh panggang dari api.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, polusi tinggi bukan faktor kendaraan bermotor. Itu karena, kualitas udara di wilayah Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok (Jabodetabek) pada Sabtu (2/9/2023) hingga pukul 11.00 WIB dilaporkan sebagai yang terburuk, dibandingkan kondisi sepanjang Agustus lalu.
Situs IQAir.com menunjukkan indeks kualitas udara wilayah Jakarta sebesar 168 (tidak sehat) dan konsentrasi Particulate Matter (PM) 2.5 mencapai 19,3 kali nilai panduan kualitas udara tahunan dari World Health Organization (WHO). Kemenperin menyatakan, Kondisi ini terjadi pada pagi akhir pekan, di saat mobilitas masyarakat menggunakan kendaraan bermotor jauh berkurang dibandingkan pada hari kerja.
“Kualitas udara di hari Sabtu ini menunjukkan level emisi di udara ambien tetap tinggi pada saat jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi lebih sedikit. Hal ini menandakan perlunya dikaji lebih dalam apakah kendaraan bermotor merupakan penyumbang terbesar polusi udara,” ujar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif dalam keterangan resmi, Ahad (3/9/2023).
Diperkirakan, kata dia, ada faktor lain di luar transportasi yang menyebabkan kualitas udara di akhir pekan cukup buruk. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pencemaran udara terbesar berasal dari kendaraan yakni 44 persen, kemudian 34 persen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), lalu dari rumah tangga dan sumber lainnya.
Febri mengatakan, untuk mendukung pengendalian emisi gas buang di sektor industri, Kemenperin telah melakukan identifikasi terkait permasalahan ini serta mengambil beberapa langkah. Pertama, membentuk tim inspeksi pengendalian emisi gas buang sektor industri di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Dalam menjalankan tugasnya, tim inspeksi telah melakukan langkah-langkah identifikasi dan perencanaan terkait sistem inspeksi, mulai dari pendataan, monitoring, hingga kunjungan ke lapangan. “Beberapa kegiatan usaha yang menjadi sorotan telah dipantau, dan satu perusahaan industri yang diduga mencemari lingkungan telah diperiksa secara langsung,” ujar dia.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Nasional Kemenperin Eko SA Cahyanto menambahkan, hasil emisi gas buang perusahaan tersebut jauh di bawah ambang batas, meski ada permasalahan administratif yang perlu diselesaikan. Hasil pemantauan yang telah dilakukan oleh tim inspeksi pada Senin (28/8/2023) lalu di perusahaan industri kelompok industri bahan galian nonlogam dan industri baja di wilayah Jabodetabek menunjukkan bahwa perusahaan telah mematuhi semua peraturan perundang-undangan terkait kegiatan mereka yang berdampak pada lingkungan.
Selain itu, hasil pengukuran menunjukkan emisi mereka tetap berada di bawah ambang batas. Kemenperin menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Perindustrian Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaporan Pengendalian Emisi Gas Buang Sektor Industri di Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
SE tersebut dimaksudkan sebagai landasan dan acuan dalam pelaporan pengendalian emisi gas buang sektor industri bagi Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri di wilayah tersebut. Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang dalam proses pembangkitan energi, proses produksi, dan limbahnya mengeluarkan emisi gas buang dan atau gangguan ke udara ambien wajib untuk melaksanakan pengendalian emisi gas buang, menjamin pemenuhan parameter emisi gas buang dan udara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan melaporkan pengendalian emisi gas buang secara berkala.
Dalam pelaksanaannya, industri melakukan pelaporan berkala setiap satu kali dalam satu pekan pada hari Kamis melalui portal Sistem Informasi Industri Nasional (www.siinas.kemenperin.go.id) sesuai tata cara pelaporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran SE Menperin. Pada periode 31 Agustus 2023, sebanyak 1.008 Perusahaan Industri dan 17 Perusahaan Kawasan Industri di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten melakukan pelaporan.
Perusahaan melaporkan antara lain emisi yang dikeluarkan, boiler yang digunakan, limbah B3 dan non-B3, serta alat pengendali emisi yang digunakan. “Kami juga mewajibkan kepada seluruh perusahaan yang memiliki titik-titik kritis, termasuk yang memiliki pembangkit energi sendiri, untuk menambahkan instrumen yang bisa mengurangi emisi,” kata Eko.
Di sisi lain, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menilai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon yang dituding sebagai salah satu penyebab polusi terbesar, telah sesuai dengan aturan sehingga mampu meminimalisasi emisi karbon yang dikeluarkan. Hal tersebut ia sampaikan setelah melakukan kunjungan ke PLTU Suralaya Cilegon, Banten Jumat (1/9/2023) kemarin.
”Dari hasil kunjungan, kami melihat pembangkit ini (Suralaya) telah memenuhi kaidah yang diidealkan. Angka emisi masih di bawah standar baku mutu. Kemudian dibuktikan juga dengan adanya penghargaan proper emas dan penghargaan internasional,” ujar Sugeng.
Dari hasil kunjungan ini, Sugeng juga mengatakan, PLTU Suralaya tidak menjadi penyebab utama polusi di Jakarta. “Berdasarkan kondisi polusi Jakarta yang belum berubah setelah beberapa hari, PLTU Suralaya mengurangi operasinya dan dari paparan yang dilakukan oleh guru besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Prof Puji Lestari yang menghitung dampak polusi dari PLTU, dilaporkan bahwa PLTU Suralaya bukan sumber polusi di Jakarta,” ujar Sugeng.
Meskipun demikian, Sugeng menilai, transisi energi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 harus terus berjalan demi menghadirkan listrik yang lebih ramah lingkungan. ”Sebagaimana bangsa yang meneken Paris Agreement dan penurunan emisi mencapai NZE di 2060, kita siapkan energi untuk masyarakat guna menumbuhkan ekonomi, namun energinya harus clean dan renewable, ini penting sekali untuk merawat bumi ini agar lestari,” ujar Sugeng.
Direktur Manajemen Pembangkitan PLN Adi Lumakso menjelaskan, dalam mengoperasikan pembangkit, PLN senantiasa menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Terutama melalui pemanfaatan teknologi baru untuk menekan emisi gas buang pembangkit yang berbasis batubara.
“Selama PLTU beroperasi, kami selalu berupaya menekan emisinya semaksimal mungkin menggunakan berbagai teknologi termutakhir. Emisinya juga dimonitor secara realtime dan terhubung langsung dengan dashboard di Kementerian Lingkungan Hidup,” terang Adi.
Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra mengatakan, operasional PLTU Suralaya telah memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Pihaknya bahkan melakukan pengurangan operasional PLTU saat awal disebut sebagai kontributor polusi Jakarta.
“Sejak 28 Agustus, PLN mengurangi operasional PLTU Suralaya sebanyak 4 unit atau sebesar 1.600 Megawatt (MW) tapi kita ketahui polusi di Jakarta justru semakin tinggi,” ungkapnya.
Pihaknya juga telah melakukan berbagai upaya untuk terus menurunkan emisi dari operasional pembangkitnya. Edwin menjelaskan, PLTU Suralaya telah dilengkapi dengan teknologi Electrostatic Precipitator (ESP) yang akan menyaring debu sisa pembakaran sampai ukuran terkecil di bawah 2 micrometer dan Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk mengendalikan polutan NOx dan SOx.
”Di sisi pengawasan emisi, PLTU Suralaya telah dilengkapi dengan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) untuk memastikan emisi gas buang dari operasional tetap di bawah ambang batas yang ditentukan. Di sini bisa dilihat, PLN menerapkan sistem digital untuk mengelola seluruh pembangkit kami. Monitoring sistem pembangkit membuat operasional semakin efektif dan efisien,” ujar Edwin.
Komentar
Posting Komentar