Pontjo Sutowo: Tanpa Instruksi Pengadilan, Penguasaan Hotel Sultan Sewenang-wenang By BeritaSatu - Opsiin

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Pontjo Sutowo: Tanpa Instruksi Pengadilan, Penguasaan Hotel Sultan Sewenang-wenang By BeritaSatu

Share This

 

Pontjo Sutowo: Tanpa Instruksi Pengadilan, Penguasaan Hotel Sultan Sewenang-wenang

By BeritaSatu.com
beritasatu.com
September 4, 2023
Pihak Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno
Pihak Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno

Jakarta, Beritasatu.com - Pemilik Hotel Sultan Pontjo Sutowo kembali angkat bicara soal penguasaan Hotel Sultan. Menurut Pontjo, penguasaan Hotel Sultan tersebut tidak sah karena eksekusi itu tanpa didasari instruksi pengadilan.

Dia menilai, ada upaya membangun opini seolah-olah PT Indobuildco milik Pontjo menguasai aset negara secara tidak sah. Padahal, kata Pontjo, bangunan di atas tanah yang diperdebatkan saat ini, 100% adalah miliknya.

"Kami sedang berusaha mencari solusi baik-baik, tetapi secara sepihak melakukan upaya untuk menguasai. Ada sejarah panjang sehingga Hotel Sultan itu berada di Senayan. Kami memegang hak guna bangunan (HGB) yang ada jauh sebelum munculnya hak pengelolaan lahan (HPL),” ujar Pontjo Sutowo kepada media di Jakarta, Jumat (6/10/2023).

Pontjo menuturkan, pihaknya telah memenangkan semua tingkatan pengadilan soal HPL. Namun, di tingkat PK kalah. Meski demikian, Pontjo menegaskan bahwa HPL tersebut jauh di belakang, setelah pihaknya memegang HGB. Sesuai aturan, pihaknya berhak untuk memperpanjang setelah masa 30 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun lagi. Hanya saja, tanpa alasan yang jelas, pihaknya dipersulit untuk memperpanjang.

“Kalau tanah masih bisa diperdebatkan, tetapi bagaimana dengan bangunan itu yang 100% adalah milik kami. Sebenarnya, kami sedang mencari upaya mencari jalan keluar terbaik, tetapi tanpa dasar jelas, mereka memasang spanduk di sekitar hotel. Semestinya, harus ada perintah pengadilan, tetapi, perintah pengadilan itu tidak pernah ada. Ini kan sewenang-wenang. Tidak ada perintah pengadilan sampai saat ini. Kami akan berusaha mencari jalan terbaik,” terang Pontjo.

Pontjo mengungkapkan, pada tahun 1971, pemerintah menugaskan perusahaannya, PT Indobuildco untuk membangun kawasan hotel yang bisa digunakan event-event internasional. Semua biaya pembangunan dibebankan kepada PT Indobuildco dengan kompensasi PT Indobuildco memperoleh izin dan penunjukkan penggunaan tanah eks Jajasan Kerajinan dan Kebudayaan Industri Rakyat (Jakindra) seluas 13 hektare dari Pemda DKI Jakarta.

Hal tersebut sesuai dengan perjanjian pada Agustus 1971. Selain itu, kata Pontjo, pihaknya mengajukan permohonan hak atas tanah kepada negara melalui menteri dalam negeri. Permohonan itu dikabulkan dengan adanya SK Mendagri tanggal 3 Agustus 1972 mengenai pemberian HGB kepada PT Indobuildco atas tanah seluas sekitar 15 hektare

Dalam SK tersebut, kata dia, ditegaskan HGB yang dimaksud merupakan tanah negara atau bukan tanah HPL. Begitu juga dengan SK Gubernur DKI Jakarta ketika itu. Pontjo menilai, pihaknya juga memiliki dokumen pelepasan hak dari direktur Gelora Senayan pada 27 Juli 1972. "Memang benar, mereka yang membebaskan lahan, tetapi setelah mereka bebaskan, mereka juga yang melepaskan lahan itu," tandas Pontjo.

Lebih lanjut, Pontjo menuturkan lahan itu diperoleh PT Indobuildco disertai dengan kewajiban PT Indobuildco untuk membayar kepada Pemda DKI Jakarta, KONI pusat dan Jakindra sebesar US$ 1,5 juta.

Sedangkan terkait pembangunan gedung konferensi (conference hall) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin dan penunjukkan tanah bekas Jakindra seluas 13 ha sesuai SK Gubernur DKI Jakarta. Lalu, PT Indobuildco juga diharuskan membayar kepada Yayasan Gelora Senayan sebesar US$ 6 juta sesuai perjanjian antara Yayasan Gelora Senayan dan PT Indobuildco pada Maret 1978.

“Dana itu sesuai arahan Presiden RI tidak boleh dipakai, tetapi merupakan dana abadi bagi kas Yayasan Gelora Senayan dan hanya bunganya yang boleh dipakai,” tegas Pontjo.

Pontjo menyayangkan adanya opini yang dikembangkan seolah negara tidak memperoleh pemasukan apa pun. Padahal, setiap tahun, pihaknya rutin membayar pajak yang mencapai Rp 80 miliar. “HPL tidak boleh menghilangkan HGB. Okelah kalau tanah bisa diperdebatkan, tetapi kan ada bangunan yang sepenuhnya milik kami. Apalagi, kami semula memperoleh HGB di atas tanah negara, bukan hak pengelolaan lahan (HPL). HPL ini datang belasan tahun setelah kami miliki HGB,” tegas Pontjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages