Nawawi Bantah Replik Firli soal Ancaman Kapolda Metro Irjen Karyoto
Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango membantah replik Firli Bahuri yang mengungkapkan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto mengancam pimpinan KPK apabila menjadikan pengusaha Muhammad Suryo tersangka kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (DJKA Kemenhub).
Nawawi menyatakan Karyoto memang pernah bersilaturahmi setelah dilantik menjadi Kapolda Metro Jaya, namun tak ada pembahasan mengenai Suryo.
"Pak Karyoto pernah datang berkunjung ke ruang kerja saya saat beliau belum lama menjadi Kapolda Metro, tapi tidak ada pembicaraan sama sekali mengenai perkara DJKA ataupun orang bernama M Suryo," ujar Nawawi kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Rabu (13/12).
"Pak Karyoto datang sekadar silaturahmi saja, bahkan sempat bertemu Pak Firli di ruang kerja saya di saat itu," sambung dia.
Nawawi mengatakan tidak mengetahui dari mana pihak Firli memperoleh kabar pengancaman tersebut. Bahkan, ia telah mengonfirmasi kabar tersebut kepada koleganya yakni Alexander Marwata dan mendapat jawaban senada.
"Ini barusan pak Alex Marwata menyampaikan ke saya, kalau beliau kaget dan tidak tahu-menahu dengan cerita yang termuat dalam replik kuasa hukum pak Firli," ucap Nawawi.
Sebelumnya, Firli menilai penyidikan kasus dugaan korupsi termasuk pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) oleh Polda Metro Jaya tidak murni sebagai penegakan hukum. Firli menilai ada kepentingan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto terkait kasus yang membuat dirinya menjadi tersangka.
Hal itu disampaikan pengacara Firli, Ian Iskandar, saat membacakan replik dalam agenda sidang lanjutan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (12/12) malam.
"Bahwa penyelidikan dan penyidikan perkara a quo menurut pemohon [Firli Bahuri] tidak bisa dianggap sebagai suatu upaya penegakan hukum yang murni, mengingat rekam jejak panjang hubungan antara pemohon dengan termohon [Karyoto]," ujar Ian.
Firli, terang Ian, meyakini kasus yang menjerat dirinya tidak hanya diawali oleh ketakutan SYL terhadap kasus yang sedang diusut KPK. Melainkan juga karena dilatarbelakangi oleh penyidikan perkara Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada DJKA yang dilakukan oleh KPK tanggal 12 April 2023 yang melibatkan Dion Renato Sugiarto, Bernard Hasibuan, Putu Sumarjaya, dkk.
Dari kasus Dion dkk, tutur Ian, diperoleh bukti dugaan penerimaan uang sleeping fee oleh Muhammad Suryo sebesar Rp11,2 miliar. Uang itu disebut sudah dikirim melalui transfer ke rekening istri Suryo sejumlah Rp9,5 miliar. KPK mengembangkan temuan tersebut.
Ian menyebut Karyoto mengancam akan menersangkakan pimpinan KPK apabila menetapkan Suryo sebagai tersangka.
"Lagi-lagi Kapolda Metro Jaya mendatangi Nawawi Pomolango [saat itu menjabat Wakil Ketua KPK] dan menyampaikan kata-kata: '...jangan mentersangkakan Suryo. Kalo Suryo ditersangkakan, maka Pak Ketua akan ditersangkakan'. Hal ini disampaikan oleh Nawawi Pomolango kepada Alex Marwata [Wakil Ketua KPK]," kata Ian.
INFOGRAFIS: Sederet Laporan Etik Firli Bahuri di Dewas KPK
Polda bantah
Dalam agenda sidang pembacaan duplik yang digelar di PN Jakarta Selatan hari ini, Rabu (13/12), Tim Advokasi Bidang Hukum Polda Metro Jaya (Bidkum PMJ) membantah replik Firli. Mereka menilai dalil pihak pemohon tidak ada relevansinya dengan kasus yang sedang diuji di Praperadilan.
"Tanggapan pemohon bahwa terhadap dalil pemohon tersebut, termohon tidak perlu menanggapinya," ucap anggota tim advokasi Bidkum PMJ.
"Karena dalil pemohon tersebut tidak pernah pemohon sampaikan di permohonan terdahulu sehingga sangatlah bias dan tidak ada relevansinya sama sekali dengan penetapan pemohon sebagai tersangka," sambungnya.
Tim Advokasi Bidkum PMJ menilai dalil pemohon penuh asumsi, sesat dan mengada-ada.
"Selain itu, dalil pemohon merupakan asumsi yang sesat dan mengada-ada dari pemohon sebagai upaya menggiring opini dan mengaburkan tujuan dari Praperadilan sebagai bentuk kepanikan pemohon dan upaya pemohon menghindar dari tanggung jawab hukum akibat perbuatan tindak pidana pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang disangkakan oleh termohon terhadap pemohon," lanjut anggota Tim Advokasi Bidkum PMJ.
Komentar
Posting Komentar