Masa Lelang Berakhir, Ladang Gas Jumbo di Natuna Belum Laku - bisniscom

 

Masa Lelang Berakhir, Ladang Gas Jumbo di Natuna Belum Laku

By Nyoman Ary Wahyudi
ekonomi.bisnis.com
January 8, 2024
Platform migas lepas pantai. Istimewa/SKK Migas
Platform migas lepas pantai. Istimewa/SKK Migas

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) belum berhasil menjaring operator baru untuk lapangan gas D-Alpha, yang menjadi bagian dari Blok East Natuna, Pulau Natuna, Kepulauan Riau.

Lapangan yang telah dilelang reguler pada IPA Convention & Exhibition ke-47 di ICE BSD Tangerang, Selasa (25/7/2023), itu belakangan sepi peminat sampai putaran lelang ditutup pada 15 Desember 2023.

“Karena tidak terdapat peserta lelang, statusnya saat ini menjadi WK available sehingga terbuka apabila terdapat perusahaan yang berminat untuk mengusulkan pengelolaan,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad saat dikonfirmasi, Senin (8/1/2024).

Noor mengatakan, kementeriannya membuka peluang untuk melelang ulang lapangan D-Alpha tersebut dalam waktu 6 bulan dengan masa lelang 30 hari kalender.

Selain lelang ulang, lapangan D-Alpha juga terbuka untuk diserahkan kepada perusahaan yang berminat untuk melakukan studi bersama atau joint study.

Di sisi lain, dia mensinyalir, minimnya peserta lelang untuk Lapangan D-Alpha disebabkan karena persoalaan keekonomian hingga kandungan karbon yang tinggi pada blok tersebut.

“Tapi mungkin karena pertimbangan korporasi terkait keekonomian karena kandungan karbon yang tinggi atau karena kurang data dalam pengambilan keputusan,” kata dia.

Dalam dokumen lelang, D-Alpha terletak di lepas pantai Natuna Timur dengan luas 10.291,03 kilometer persegi. Kementerian ESDM meminta adanya komitmen pasti 5 tahun terdiri atas studi GGRPE dan satu sumur untuk peserta lelang.

Sebelumnya, Kementerian ESDM menyerahkan hak pengelolaan dua lapangan bagian dari Blok East Natuna lainnya, Lapangan Arwana dan Barakuda, kepada anak usaha PT Pertamina Hulu Energi (PHE), PT Pertamina East Natuna.

Komitmen investasi awal yang disertakan anak usaha hulu Pertamina itu mencapai US$13 juta atau setara Rp194,5 miliar (asumsi kurs Rp14.968 per dolar AS).

Seperti diketahui, hampir 5 dekade atau sejak ditemukan pada 1973, nasib Blok East Natuna diombang-ambing ketidakjelasan. Lapangan gas raksasa tersebut masih juga belum digarap.

Padahal, cadangan gas di East Natuna merupakan yang terbesar di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,5 kali lipat Blok Masela. Namun, kandungan CO2 yang lebih dari 70%, menjadikan blok ini tidak mudah dalam pengelolaannya.

Hitung-hitungan Kementerian ESDM, Blok East Natuna memiliki potensi gas mencapai 222 triliun kaki kubik (Tcf). Namun, dengan kandungan CO2 yang lebih dari 70%, gas yang bisa dieksploitasi dari blok tersebut kemungkinan hanya sekitar 46 Tcf.

Awalnya, ExxonMobil tertarik menggarapnya dan mendapat hak kelola pada 1980. Akan tetapi, pemerintah menghentikan kontrak pada 2007 karena tak ada perkembangan.

Setahun kemudian, Blok East Natuna diserahkan ke Pertamina. ExxonMobil ikut lagi pada 2010 bersama Total dan Petronas. Posisi Petronas kemudian digantikan oleh PTT Exploration and Production (PTT EP), perusahaan asal Thailand.

Sayangnya, konsorsium itu bubar di tengah jalan. ExxonMobil memutuskan untuk hengkang pada 2017. Alasannya, perusahaan asal Amerika Serikat itu menilai blok itu tidak layak investasi.

Mengikuti jejak ExxonMobil, PTT EP juga memutuskan untuk tidak melanjutkan konsorsium bersama Pertamina saat itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya