Profesor ITS paparkan inovasi hilirisasi batu bara atasi krisis minyak
9 Januari 2024 00:16 WIB
Surabaya (ANTARA) - Profesor Institut Teknologi Sepuluh (ITS) Nopember Surabaya Yulfi Zetra berinovasi mengoptimalkan pemanfaatan batu bara melalui hilirisasi batu bara padat menjadi cair dan sintesis bioaditif pada bahan bakar fosil bersulfur rendah untuk mengatasi krisis minyak.
Guru Besar Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS itu di Surabaya, Senin, menyebutkan tingkat impor Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin meningkat, padahal Indonesia masih banyak memiliki sumber daya selain minyak bumi.
"Salah satu alternatifnya adalah batu bara yang dapat diolah hingga memiliki kemiripan sifat dengan minyak bumi," kata Yulfi.
Menurutnya, pengolahan batu bara berpotensi menjadi BBM alternatif setelah melalui proses pencairan yang merupakan upaya untuk memecah makromolekul batu bara padat menjadi cair hingga memiliki rasio hidrogen per karbon yang mendekati minyak fosil.
Baca juga: ITS-PLN luncurkan rumah tahan gempa dari limbah debu batu bara
Setelah proses yang disebut hidrogenasi tersebut, kata dia, akan diperoleh batu bara dengan rasio hidrogen per karbon berkisar 1,2 - 1,8 dari yang semula hanya sebesar 0,3 – 0,9.
Lebih lanjut Yulfi mengulas proses hidrogenasi dimulai dari mempersiapkan materi yang akan diolah dengan cara menghancurkan batu bara hingga menjadi partikel-partikel kecil dengan ukuran 200 mesh atau setara 0,074 milimeter.
Setelahnya partikel tersebut akan dicampurkan dengan beberapa zat, antara lain pelarut minyak berat, katalis limonit SH, serta katalis belerang, dan gas hidrogen. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor pencairan batu bara dan akan direaksikan pada suhu 450 derajat Celsius dan tekanan sebesar 120 MegaPascal (MP).
Setelah melewati proses ini selama 60 menit akan dihasilkan produk batu bara yang memiliki rasio hidrogen per karbon yang diharapkan.
Selanjutnya, kata dia, produk tersebut melewati proses distilasi fraksinasi pada suhu didih mulai 30 - 538 derajat Celsius untuk mendapatkan beberapa fraksi yakni nafta, Light Oil (LO), Middle Oil (MO), dan Heavy Oil (HO).
Baca juga: Pemerhati: Kenaikan harga BBM momentum kembangkan energi alternatif
Namun sayangnya, produk fraksi yang salah satunya dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel tersebut masih memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi. Hal itu berpotensi menimbulkan hujan asam yang dapat merusak lingkungan ketika dilakukan pembakaran pada bahan bakar bersulfur tinggi.
"Sehingga diperlukan upaya desulfurisasi atau pengurangan kandungan sulfur untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan," tutur Yulfi.
Sementara itu, kata dia, berkurangnya kandungan sulfur juga tidak bagus bagi bahan bakar tersebut karena dapat mengurangi daya lumas pada mesin yang bisa menyebabkan terjadinya aus dan menurunnya performa mesin.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia berinovasi dengan penambahan zat bioaditif berupa senyawa 2-hidroksietil risinoleat dari bahan hayati guna mempertahankan daya lumas bahan bakar tersebut. Melalui serangkaian proses tersebut, terang Yulfi, akan dihasilkan BBM alternatif.
Baca juga: ITS Luncurkan Dua Mobil Hemat BBM
Guru Besar Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS itu di Surabaya, Senin, menyebutkan tingkat impor Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin meningkat, padahal Indonesia masih banyak memiliki sumber daya selain minyak bumi.
"Salah satu alternatifnya adalah batu bara yang dapat diolah hingga memiliki kemiripan sifat dengan minyak bumi," kata Yulfi.
Menurutnya, pengolahan batu bara berpotensi menjadi BBM alternatif setelah melalui proses pencairan yang merupakan upaya untuk memecah makromolekul batu bara padat menjadi cair hingga memiliki rasio hidrogen per karbon yang mendekati minyak fosil.
Baca juga: ITS-PLN luncurkan rumah tahan gempa dari limbah debu batu bara
Setelah proses yang disebut hidrogenasi tersebut, kata dia, akan diperoleh batu bara dengan rasio hidrogen per karbon berkisar 1,2 - 1,8 dari yang semula hanya sebesar 0,3 – 0,9.
Lebih lanjut Yulfi mengulas proses hidrogenasi dimulai dari mempersiapkan materi yang akan diolah dengan cara menghancurkan batu bara hingga menjadi partikel-partikel kecil dengan ukuran 200 mesh atau setara 0,074 milimeter.
Setelahnya partikel tersebut akan dicampurkan dengan beberapa zat, antara lain pelarut minyak berat, katalis limonit SH, serta katalis belerang, dan gas hidrogen. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor pencairan batu bara dan akan direaksikan pada suhu 450 derajat Celsius dan tekanan sebesar 120 MegaPascal (MP).
Setelah melewati proses ini selama 60 menit akan dihasilkan produk batu bara yang memiliki rasio hidrogen per karbon yang diharapkan.
Selanjutnya, kata dia, produk tersebut melewati proses distilasi fraksinasi pada suhu didih mulai 30 - 538 derajat Celsius untuk mendapatkan beberapa fraksi yakni nafta, Light Oil (LO), Middle Oil (MO), dan Heavy Oil (HO).
Baca juga: Pemerhati: Kenaikan harga BBM momentum kembangkan energi alternatif
Namun sayangnya, produk fraksi yang salah satunya dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel tersebut masih memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi. Hal itu berpotensi menimbulkan hujan asam yang dapat merusak lingkungan ketika dilakukan pembakaran pada bahan bakar bersulfur tinggi.
"Sehingga diperlukan upaya desulfurisasi atau pengurangan kandungan sulfur untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan," tutur Yulfi.
Sementara itu, kata dia, berkurangnya kandungan sulfur juga tidak bagus bagi bahan bakar tersebut karena dapat mengurangi daya lumas pada mesin yang bisa menyebabkan terjadinya aus dan menurunnya performa mesin.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia berinovasi dengan penambahan zat bioaditif berupa senyawa 2-hidroksietil risinoleat dari bahan hayati guna mempertahankan daya lumas bahan bakar tersebut. Melalui serangkaian proses tersebut, terang Yulfi, akan dihasilkan BBM alternatif.
Baca juga: ITS Luncurkan Dua Mobil Hemat BBM
Pewarta: Willi Irawan
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags:
Komentar
Posting Komentar