Perdebatan Tokoh PKI Muso dengan KH Abdul Wahab Hasbullah dan H Hasan Gipo
Ada sebuah kisah menarik tentang Muso, tokoh PKI yang terkenal berangasan, lekas marah dan senang berkelahi itu.
Suatu ketika, ia terlibat dalam perdebatan tentang Tuhan dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah.
Sebagai seorang atheis, Muso tentu saja tidak mau percaya pada Tuhan. Perdebatan semakin seru dan kasar karena pembawaan Muso yang cepat naik darah.
Beberapa orang yang menyaksikan perdebatan itu merasa cemas juga melihat Muso yang awut-awutan dan badannya jauh lebih kekar dan lebih tegap dibanding perawakan Kiai Wahab yang pendek lagi kecil.
Tapi Kiai Wahab lama-lama berpikir juga bahwa tidak ada gunanya melanjutkan diskusi dengan “orang jahil” macam Muso.
Bukan karena gentar dengan tubuh Muso yang bagai beruang. Kiai Wahab, pendekar pencak silat itu, pernah dikeroyok 3-4 penyamun yang tubuhnya jauh lebih besar daripada Muso dalam perjalanan yang angker antara Mekkah dan Madinah sekitar tahun 1920-1925, dan mengalahkan mereka.
Muso satu saja jelas bukan soal. Yang menjadi pikiran Kiai Wahab justru diskusi itu, adu hujjah untuk mencari kebenaran itu. Diskusi dengan Muso yang hanya mengandalkan “otot dan cocot” (main jotos dan mulut besar), Kiai Wahab merasa buang-buang tenaga saja. Senjata manusia adalah akal pikiran dan akhlak mulia, bukan kepalan tinju.
Haji Hasan Sagipoddin atau H Hasan Gipo, Presiden Tanfidziyah HBNU ketika itu, 1926, mengambil alih tempat Kiai Wahab dalam berdebat dengan Muso.
Haji Hasan Gipo terkenal sebagai seorang tokoh yang serba bisa, bisa bermain menurut irama gendang, main halus, atau main kasar. Singkat kata, semua cara bisa ia layani.
Dan Muso ditantang untuk bersamanya menghampiri jalan kereta api Surabaya-Batavia di dekat Krian (antara Surabaya-Mojokerto), menyambut kereta api ekspres yang sedang berlari kencang dengan batang leher masing-masing di rel.
Begitu kereta api nongol dalam kecepatan tinggi, keduanya harus meletakkan batang leher masing-masing di atas rel agar digilas lokomotif serta seluruh rangkaian kereta api, hingga tubuh mereka hancur berkeping-keping.
Nah, dengan jalan demikian, keduanya akan memperoleh bukti atau keyakinan yang ainul yaqin haqqul yaqiĆ¼in – tentang adanya Allah Swt..!
Tapi Muso yang bertubuh kekar dan besar itu seolah menciut saja. Ia gentar, takut setakut-setakutnya pada tantangan itu. (*/buku/fb)
Sumber:
*) Buku “Berangkat dari Pesantren” (KH. Syaifuddin Zuhri)
*) https://www.facebook.com/100037880492873/posts/545497350056277/?mibextid=XejYYP4t7grTd2f6
Komentar
Posting Komentar