Vaksinasi Anak, Perang Mitos dan Fakta di Kalangan Orang Tua
tirto.id - Perlawanan terhadap misinformasi vaksinasi semakin penting di Indonesia, mengingat banyak orang tua masih takut atau ragu memvaksin anak mereka. Meskipun vaksin telah terbukti aman dan efektif, mitos tentang efek samping dan kehalalan masih mempengaruhi keputusan banyak orang tua. Survei Tirto menunjukkan, 43,28 persen orang tua merasa khawatir memvaksinasi anak, dengan ketakutan terbesar terletak pada efek samping vaksin. Upaya edukasi yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi keraguan ini dan melindungi kesehatan anak-anak.
Vaksinasi di Indonesia belakangan menjadi isu kontroversial. Meski banyak orang tua antusias membawa anaknya imunisasi, ada pula yang enggan memvaksin anak mereka karena berbagai macam kekhawatiran.
Roy (bukan nama sebenarnya) adalah orang tua yang masuk dalam kelompok yang kedua. Pria berusia 42 tahun itu bercerita kepada Tirto, kalau ketiga anaknya sama sekali tak pernah divaksinasi.
Roy ragu akan status halal vaksin, mengingat ia pernah membaca referensi yang menyebut vaksin di Indonesia pada tahun 80-an tidak halal dan menggunakan perantara babi. Sejak saat itu, ia merasa, pemerintah telah membohongi ibunya, sehingga vaksin yang disuntik ke tubuhnya kala kecil diperantarai babi.
“Nah, setelah itu saya coba [cari referensi] dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari sisi halal dan haramnya. Akhirnya saya kasih kesimpulan bahwa ya sudah lah, enggak perlu, begitu saya punya anak ya,” ungkapnya kala dihubungi Tirto, Kamis (29/8/2024).
Roy berpendapat, pembentukan antibodi atau imunitas yang terjadi secara alami lebih baik ketimbang lewat perantara vaksin. Roy mencontohkan, orang-orang yang saat kecilnya serba higienis, lalu beranjak dewasa dan makan sembarangan, maka mereka jadi sering terjangkit diare. Berbeda jika dari kecil terbiasa makan apapun di pinggir jalan, maka akan lebih kebal dan jarang mengalami sakit atau diare.
“Jadi fungsi vaksin dan imunisasi itu untuk memudahkan membentuk kekebalan tubuh, berarti kan sebetulnya tanpa dibantu dari luar pun tubuh bisa membangun antibodi sendiri, gitu kalau kesimpulan saya sendiri,” kata Roy.
Keputusan ini dibuat Roy setelah ia membaca beberapa berita dan artikel, serta berdiskusi dengan beberapa temannya yang anti-vaksin. Roy bilang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun melabeli imunisasi sebagai hal yang “mubah”, dengan kata lain boleh dilakukan, tetapi tidak diwajibkan.
“Mubah katanya kan, oh mubah berarti boleh, boleh dipakai, boleh nggak kan. Tidak mewajibkan ya sudah, kalau buat saya abu-abu, saya tinggalkan. Itu dari sisi agama, cuman tadi perspektif saya, bahwa, biarkan anak membangun imunitasnya sendiri,” ungkap Roy.
Mitos dan fakta yang tersebar memang menimbulkan "perang" informasi antara mitos dan fakta terkait vaksinasi di kalangan orang tua. Terkait kandungan babi pada vaksin, perlu diketahui, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pernah menegaskan bahwa vaksin tidak mengandung babi. Pada pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio, memang ada penggunaan enzim tripsin babi. Namun, tidak semua vaksin membutuhkan enzim tripsin babi dalam proses pembuatannya.
Enzim tripsin babi diperlukan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman akan dibiakkan dan difermentasi, kemudian diambil polisakaridanya sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya, dilakukan proses purifikasi dan ultrafiltrasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Sehingga di hasil akhir proses, sama sekali tidak terdapat bahan-bahan vaksin yang mengandung enzim babi.
Pun, di laman mitos dan fakta soal vaksin, IDAI juga menyebut bahwa anggapan lebih baik kebal melalui penyakit daripada vaksin tidak tepat. Sebab, vaksin tidak dapat menyebabkan sakit atau membuat seseorang menderita komplikasi. Kebalikannya, dampak yang didapat dari infeksi alamiah, misalnya oleh Haemophilus influenzae tipe b (Hib) adalah retardasi mental, oleh rubela berupa cacat bawaan lahir, dan campak bisa menyebabkan kematian.
Namun, tak hanya Roy, Fika (31), yang memiliki satu anak berusia 5 tahun, juga mengaku tak ingin lagi memberikan vaksin lanjutan pada anaknya, meski imunisasi dasarnya telah lengkap. Selain khawatir akan efek samping vaksin, Fika merasa, setelah anaknya sempat mendapat vaksin influenza, anaknya justru kerap mengalami flu.
“Jadi kayaknya imunitas akan lebih penting ya daripada vaksinnya gitu. Yang penting kita makannya bergizi, terus dia juga dijaga kebersihannya. Itu kan sebenarnya menurut saya lebih penting daripada kita vaksin terus gitu,” ujar Fika kepada Tirto, Rabu (28/8/2024).
Fika mengaku, saat memvaksinasi anaknya, ia hanya ikut-ikutan dan tak terlalu tahu banyak soal vaksin. Fika bilang, kalau saja dulu ia tahu vaksin tak sebegitu berdampak terdapat kesehatan, ia mungkin akan memilih tak lakukan vaksinasi pada anaknya kala kecil.
"Cuman ya sudah lah, sudah terjadi,” katanya.
Cerita Roy dan Fika senada dengan temuan di Posyandu. Lala (bukan nama sebenarnya), yang bertugas memantau Posyandu di sebuah kelurahan di Bandung, juga bercerita masih ada beberapa orang yang enggan melakukan imunisasi, meski jumlahnya tak banyak.
Kata Lala (42), alasannya beragam, tapi kebanyakan merasa takut, anaknya sedang sakit, atau tak diperbolehkan oleh suami.
Hampir Separuh Responden Takut atau Ragu Vaksinkan Anak
Menurut laman Kementerian Kesehatan (Kemenkes), imunisasi sendiri merupakan upaya untuk meningkatkan kekebalan anak terhadap suatu penyakit. Dengan demikian, bila suatu waktu anak terpapar penyakit, maka ia tidak akan terserang atau hanya mengalami sakit ringan. Salah satu cara imunisasi aktif adalah dengan cara vaksinasi atau pemberian vaksin dengan cara disuntik atau diteteskan ke dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.
Namun, seperti petikan wawancara di atas, masih banyak orang tua yang takut, ragu, atau bahkan enggan memberikan vaksin pada anak mereka, sebagian karena misinformasi terkait vaksin.
Salah satu mitos yang banyak beredar misalnya adalah dampak kesehatan, terutama jangka panjang, dari vaksin.
IDAI pernah membahas soal mitos ini. Padahal, menurut organisasi ini, kebanyakan reaksi vaksin bersifat minor dan sementara, seperti nyeri pada tempat penyuntikan atau lengan atau demam ringan. Masalah kesehatan serius atau berat sangat jarang terjadi dan diinvestigasi dan dimonitor secara ketat. Menurut mereka, orang-orang jauh lebih berisiko untuk sakit parah akibat terinfeksi penyakit-penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin daripada karena divaksin.
Namun, Tirto juga ingin menelusuri lebih lanjut apa saja ketakutan orang tua dalam memvaksin anak dan seberapa banyak orang tua yang takut memvaksin anak mereka.
Bekerjasama dengan penyedia layanan survei, Jakpat, Tirto mencoba menangkap tren imunisasi di kalangan orang tua berusia 19 - 40 tahun. Dari total 1.250 reseponden, 97 persen di antaranya orang tua yang menikah dan memiliki anak, sementara 3 persen sisanya janda atau duda yang memiliki anak.
Hasil dari survei menunjukkan, hampir separuh, atau sebanyak 43,28 persen responden takut dan ragu-ragu memvaksin anaknya. Vaksin yang dimaksud yakni imunisasi untuk anak usia 0 - 3 tahun.
Jika dibedah berdasarkan jenis kelamin, menariknya, proporsi orang tua laki-laki dalam kategori yang takut ataupun ragu lebih besar dibanding orang tua perempuan. Secara lebih spesifik, dari total 601 pria yang memiliki anak, ada setidaknya 50,25 persen yang bilang mereka ragu atau takut memvaksin anaknya ketika anak berusia 0 - 3 tahun.
Sementara di kalangan para ibu, hanya ada 36,83 persen dari total 649 responden perempuan, yang menyatakan takut atau ragu dalam memberikan vaksin kepada anaknya di usia 0 - 3 tahun. Hal ini senada dengan temuan lapangan pemantau Posyandu, Lala, soal adanya peran suami dalam absennya imunisasi anak.
Padahal, menurut Kemenkes, vaksinasi dasar harus diberikan pada bayi usia 0-11 bulan. Kemudian, untuk mempertahankan perlindungan terhadap penyakit, maka vaksinasi lanjutan harus diberikan pada anak usia kurang dari 2 tahun (baduta) dan anak usia sekolah dasar/sederajat.
Pada anak yang baru lahir misalnya, anak harus mendapat vaksin Hepatitis B atau HB-0 untuk mencegah penyakit Hepatitis B. Menginjak usia satu bulan, anak bisa diberi vaksin polio tetes (OPV 1) dan Bacillus Calmette Guerin (BCG). Tujuan penyuntikan vaksin BCG tersebut, yakni untuk mencegah penyakit TBC atau Tuberkulosis.
Dalam survei yang sama, Tirto juga mencoba mengelaborasi alasan di balik ketakutan atau keraguan orang tua memvaksin anak. Sebagian besar, atau sebanyak 50,65 persen responden, mengaku mereka takut akan efek samping vaksin yang akan dialami anaknya. Kemudian ,ada juga yang bilang bahwa mereka pernah mendengar berita negatif terkait vaksin (30,50 persen).
Sisanya, sebanyak 10,9 persen mengaku masih kurang informasi terkait vaksin. Beberapa faktor lain yang juga populer mencakup adanya pengaruh teman atau keluarga (3,70 pesen) dan pertimbangan keyakinan agama dan budaya (3,14 persen).
Kekhawatiran akan efek samping vaksin sebagai faktor utama orang tua takut atau ragu memvaksin anak juga terekam dalam Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023. Laporan yang dikeluarkan Kemenkes itu mengungkap, sebanyak 45 persen orang tua mengaku tak melakukan imunisasi pada anaknya yang berusia 0 - 59 bulan lantaran khawatir akan efek sampingnya.
Alasan tersebut jadi jawaban paling populer kedua setelah faktor keluarga yang tak memberi izin, di mana persentasenya mencapai 47 persen. Beberapa jawaban yang juga umum di antaranya lupa/tidak tahu jadwal imunisasi (23,4 persen), anak sedang sakit (23 persen), atau adanya anggapan bahwa imunisasi tidak penting (22,8 persen).
Studi kerja sama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2020) dengan Kemenkes dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Kabupaten Bireuen, Aceh, dan Kota Padang, Sumatera Barat, pun menunjukkan bahwa masih ada orang tua yang menganggap imunisasi tidak penting bagi kesehatan anak, meski angkanya tak sampai 10 persen.
Kembali ke survei Tirto dan Jakpat, kami juga menanyakan perihal sumber informasi tentang vaksinasi. Hasilnya, mayoritas orang tua bilang mereka memperoleh informasi soal vaksin dari dokter atau tenaga kesehatan dan media sosial, termasuk Facebook, Instagram, dll.
Masalahnya, di media sosial, tak jarang berseliweran informasi miring soal vaksin. Selama Juli-Agustus tahun ini, Tirto sempat memeriksa beberapa klaim soal vaksin polio, menyusul pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) oleh Kemenkes.
Salah satu narasi di Facebook menyebut bahwa ada dokumen rahasia milik Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI) yang mengungkap vaksin Novel Oral Poliomyelitis Vaccine Type 2 (nOPV2), yang digunakan dalam PIN Polio, membahayakan kesehatan publik.
Padahal, BPOM memastikan vaksin polio telah memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu, serta diberikan persetujuan izin edar pada Desember 2023. Direktur Jenderal WHO juga telah menyetujui pelepasan lebih dari 20 juta dosis nOPV2 di Indonesia.
Lebih lanjut soal sumber informasi vaksin, di samping media sosial, informasi secara langsung seperti teman atau keluarga juga tak kalah esensial. Hal itu terlihat dari jawaban “teman atau keluarga” yang menempati posisi ketiga sebagai sumber informasi yang jamak diandalkan para orang tua. Menyusul kemudian, artikel atau jurnal online, televisi atau radio, dan selebaran.
Meski sebagian besar responden orang tua, atau sebanyak 70 persen mengatakan informasi perihal vaksinasi yang diterima sudah cukup, para responden masih berharap informasi soal penjelasan efek vaksin dan risiko vaksin bisa tersedia lebih banyak. Hal itu sejalan dengan faktor kekhawatiran akan efek vaksin yang jadi alasan utama orang tua ragu atau takut memvaksin anak.
Beberapa informasi lain yang juga diharapkan lebih banyak tersedia oleh orang tua antara lain manfaat vaksinasi bagi anak-anak, prosedur dan jadwal vaksinasi, tanggapan terhadap mitos atau informasi salah tentang vaksin, dan pengalaman pribadi atau testimoni dari orang tua lain.
Untuk diketahui, jajak pendapat Tirto bersama Jakpat ini diikuti oleh responden orang tua di 33 provinsi, paling banyak berasal Jawa Barat (29,76 persen), DKI Jakarta (14 persen), Jawa Timur (13,36 persen), dan Jawa Tengah (11,52 persen).
Responden orang tua yang terlibat kebanyakan berusia 30 - 35 tahun, di mana persentasenya mencapai 40,64 persen. Menyusul di belakangnya kelompok usia 36 - 39 tahun (27,44 persen), 26 - 29 tahun (17,68 persen), 20 - 25 tahun (8,96 persen), 40 - 45 tahun (5,12 persen), dan 16 - 19 tahun (0,16 persen).
Profesi responden beragam, mulai dari Ibu Rumah Tangga, wirausaha, pekerja di sektor retail, pekerja di sektor FnB, hingga mereka yang bergelut di bidang pendidikan dan penelitian.
Proporsi Imunisasi Naik, Tapi Persentase Imunisasi Dasar Lengkap Minim
Secara umum, dalam 5 tahun terakhir, proporsi anak yang divaksinasi di Indonesia terbilang menunjukkan perbaikan. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) memperlihatkan, pada 2018, proporsi imunisasi dasar pada anak usia 12 - 23 bulan, baik lengkap maupun tidak lengkap, berada di level 90,8 persen, lalu merangkak naik menjadi 92,7 persen pada 2023.
Di saat yang bersamaan, persentase anak usia 12 - 23 bulan yang tidak mendapat imunisasi dasar pun semakin tipis, dari 9,2 persen pada 2018 menjadi 7,3 persen, lima tahun setelahnya.
Namun, jika ditelisik lebih jauh, angka anak-anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap tampak merosot. Pada 2023, proporsi anak usia 12 - 23 bulan yang memperoleh imunisasi dasar lengkap hanya berkisar 35,8 persen, dari sebelumnya 57,9 persen pada 2018.
Lebih spesifik berdasarkan provinsi, pada 2023, persentase anak-anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa, seperti Sumatera Barat, Riau, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Tengah, tak menyentuh angka 20 persen.
Bahkan, di Aceh, dan Papua Pegunungan, persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12 - 23 bulan tak sampai 5 persen, masing-masing hanya 3,9 persen dan 4 persen. Persentase anak yang tidak mendapat imunisasi sama sekali di kedua wilayah itu jauh lebih besar, yakni 46,5 persen di Aceh dan 70 persen di Papua Pegunungan.
Berbeda dengan DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, yang mana proporsi tidak imunisasinya kecil, hanya berkisar antara 1,8 - 2,9 persen. Provinsi DI Yogyakarta bahkan mencatat tak ada anak usia 12 - 23 bulan yang tak mendapat imunisasi dasar.
Sementara itu, laporan WHO dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Isu Anak (UNICEF) pada tahun 2024, terkait estimasi cakupan vaksinasi nasional di Indonesia, juga membagi perkiraan proporsi pemberian imunisasi kepada anak berdasarkan jenis vaksinnya.
Untuk kasus vaksin BCG, yang bertujuan untuk melindungi bayi dari penyakit tuberkulosis (TB), dalam lima tahun terakhir, proporsi anak yang mendapat vaksin ini berada di angka persentase yang cukup tinggi, meski naik-turun dalam lima tahun terakhir.
Angka estimasi cakupan vaksin nasional BCG terendah ada di tahun 2021, sebesar 81 persen, meski di 2023, diestimasi cakupan vaksinasi BCG sudah kembali mencapai 88 persen.
Tren yang sama juga terlihat pada pemberian vaksin DTP-1 yang diberikan untuk melindungi anak dari penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Angka estimasi cakupan vaksinasi DTP-1 secara nasional, yang terendah, lagi-lagi terjadi tahun 2021, di level 74 persen. Tapi, tahun 2023, angkanya kembali naik menjadi 85 persen, walau turun dari 92 persen tahun 2022.
Efek Samping Vaksin Pada Anak Tergolong Rendah
Dokter Spesialis Anak Subspesialis Infeksi dan Penyakit Tropis, Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari, Sp. A, Subsp. I.P.T., M.Trop.Paed, meyakinkan masyarakat bahwa vaksin yang saat ini digunakan di Indonesia telah teruji aman dan efektif untuk anak-anak pada usia yang direkomendasikan.
Selain karena telah teregistrasi dan mendapatkan izin dari BPOM, vaksin tersebut telah melewati proses penelitian dan rangkaian fase uji klinik yang sesuai dengan standar baku internasional.
Lebih lanjut, vaksin yang telah diedarkan juga tetap mendapatkan pengawasan keamanan dari sejumlah pihak terkait seperti para peneliti, profesional, ilmuwan dan organisasi profesi terkait.
“Vaksin yang diberikan kepada seseorang itu prosesnya panjang luar biasa mulai dari penelitian, diproduksi, izin, sampai akhirnya diberikan ke masyarakat, itu proses yang panjang dan ketat. Semua ada panduannya yang telah disepakati bersama secara global, ada auditnya, dimonitor, dievaluasi, diperbincangkan, didiskusikan, kemudian keluar rekomendasi,” kata Prof. Hinky kepada Tirto, Rabu (28/8/2024)
Senada dengan keterangan IDAI, Prof. Hinky, yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI), menjelaskan efek samping vaksin yang umum terjadi pada anak adalah demam, turunnya trombosit dalam tubuh hingga muncul bekas tanda kemerahan pada lokasi tubuh yang disuntik.
Efek samping ini dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Lebih lanjut, Prof Hinky menjabarkan KIPI adalah suatu kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi, namun tidak selalu berkaitan dengan imunisasi.
Menurutnya, adalah hal yang wajar ketika tubuh memberikan reaksi ketika diberikan vaksin. Akan tetapi hal yang perlu dicatat bahwa KIPI tidak selalu terjadi dan manfaat imunisasi jauh lebih besar dibandingkan risiko efek sampingnya.
“Demam yang terjadi itu merupakan reaksi wajar. Karena tubuh mengadakan reaksi terhadap benda asing (vaksin) yang diberikan itu. Tentara-tentara pertahanan tubuh digerakkan. Untuk menggerakkan itu perlu suhu, ya suhu demam itu. Jadi memang beda-beda, ada yang demam tinggi, ada yang demam sumeng, ada yang gak demam. Tapi, dampaknya akhirnya membentuk kekebalan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Prof. Hinky menjelaskan bahwa vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan, diproses, direkayasa sehingga tidak akan menyebabkan penyakit yang berbahaya kepada yang disuntikan.
“Dan, biasanya KIPI itu nggak berat (ringan) dan berlangsung singkat berdekatan dengan waktu pemberian vaksin dan akan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Jadi, kalau misalnya ada yang panjang dan berat sepertinya itu nggak terkait (vaksin),” ujarnya.
Prof Hinky menceritakan, Indonesia sendiri telah memiliki pengalaman panjang dalam melakukan program imunisasi pada anak. Dalam kasus vaksin polio misalnya, berdasarkan pengamatannya selama ini KIPI yang terjadi proporsinya rendah karena vaksin tersebut telah direkomendasikan dan diaudit secara berkala oleh WHO.
Perlu diketahui, sejumlah kasus polio ditemukan di Indonesia baru-baru ini, yakni di Kabupaten Nduga, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Mimika, yang masuk ke kategori Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk mencegah bertambahnya kasus polio, pemerintah juga sedang menggalakkan vaksinasi polio anak di seluruh provinsi.
“Vaksin polio itu bukan vaksin baru, sudah lebih dulu dipakai di 35 negara dan telah disuntikan sebanyak 135 juta dosis. Di Indonesia juga kita sudah bertahun-tahun, sudah hampir 45 juta dosis. Dari sejak status Kejadian Luar Biasa, data masuk terus kita amati bahwa proporsi KIPInya rendah, sifatnya ringan dan sembuh dengan atau tanpa obat,” katanya.
Di sisi lain, Prof. Hinky menjelaskan sebagai sebuah tindakan medik vaksinasi tentu memiliki indikasi dan kontraindikasi medik. Ia mengungkap ada sejumlah kontraindikasi medik yang menyebabkan anak tidak dianjurkan untuk diberikan vaksin yang disebut dengan kontraindikasi absolut.
Pertama, yaitu anak dengan riwayat alergi berat. Kondisi ini tidak bisa diketahui sebelum vaksin itu diberikan. Ia menganjurkan, bagi anak yang memiliki riwayat alergi berat, setelah vaksinasi pertama, sebaiknya berkonsultasi kepada dokter untuk mendapat pertimbangan apakah boleh/tidak mendapat vaksinasi yang sama selanjutnya atau harus diganti dengan platform lain.
“Vaksin itu bukan hanya antigennya saja, bukan hanya bibit penyakit saja. Tapi ada penguat, ada pengawet, ada antibiotiknya dan ada kandungan-kandungan lain. Bisa saja seseorang alergi terhadap komponen tersebut,” ujarnya.
Kedua, anak yang memiliki kelainan imun yaitu memiliki sistem imun rendah atau bahkan tidak memiliki sistem imun sama sekali. Berbeda dengan alergi berat, kondisi ini bisa dideteksi sejak sebelum diberikan vaksin pada anak.
“Jadi kalau bibit penyakit dilemahkan, tapi diberikan kepada orang yang tidak bisa membuat kekebalan, tidak akan terbentuk daya tubuhnya. Malah, kuman yang dilemahkan itu bisa mengakibatkan bahaya, penyakit yang berat. Nah itu, kontraindikasi absolut pada vaksin” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Hinky juga menjelaskan kondisi lain yang disebut kontradiksi relatif yang terdiri dari kondisi demam, diare, muntah dan sakit ringan lain, yang sedang terjadi pada anak. Pada kondisi ini vaksin boleh diberikan namun dianjurkan untuk ditunda.
“Bukan tidak boleh diberikan, tapi ditunda. Menunggu sampai sembuh atau kalau sakitnya cuman pilek tanpa demam, batuk tanpa demam, anak-anak masih bisa main, makanya masih lahap tidurnya lelap itu dapat diberikan,” katanya.
Vaksinasi Adalah Hak Setiap Anak
Prof. Hinky menekankan pemberian vaksinasi kepada anak jangan dianggap sebagai bentuk pemaksaan dari pemerintah. Hal ini karena imunisasi dirancang untuk mencegah anak-anak terpapar penyakit yang berpotensi mengancam jiwa.
Menurutnya, sangat penting mempersenjatai anak-anak yang sistem imunnya belum matang dengan senjata kekebalan. Kekebalan itu diperoleh dengan vaksinasi.
“Pemberian vaksin kepada anak ini bentuk kesadaran kita bahwa anak-anak kita perlu dijaga dari penyakit yang dapat mematikan, penyakit yang menimbulkan kecacatan, penyakit yang menimbulkan wabah. Mereka (anak-anak) tidak berdaya kalau enggak orang tuanya yang membawa,” ujarnya.
Ia mengimbau masyarakat untuk tidak mempercayai beragam misinformasi yang beredar seputar vaksinasi kepada anak. Menurutnya, semakin banyak anak yang divaksin akan membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) yang akan membantu anak-anak untuk memiliki hidup yang sehat dan tumbuh kembang optimal.
“Kekebalan yang didapat dari imunisasi itu juga kekebalan kelompok. Artinya kalau kita mencapai cakupan kira-kira 95 persen itu ada 5 persen yang nggak diimunisasi yang selamat. Kalau tadi ada bilang oh aku anakku nggak divaksin nih sehat. Karena anak yang lain pada divaksin semua gitu,” ujarnya.
Terpisah, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan, dr. Prima Yosephine, M.K.M., juga menekankan bahwa imunisasi adalah hak setiap anak. Dengan demikian, imunisasi merupakan kewajiban bagi negara, keluarga dan masyarakat untuk memberikan hak anak tersebut.
Sebagai informasi, di Indonesia, imunisasi memang merupakan bagian dari program kesehatan masyarakat. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 44 ayat 1 UU Kesehatan menyatakan, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan imunisasi bagi bayi dan anak.
Sementara itu, ayat selanjutnya menegaskan bahwa setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi untuk memperoleh perlindungan dari berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Menanggapi hasil riset yang dilakukan oleh Tirto, Kemenkes mengungkap bahwa hasil survei itu sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Nielsen (2023) yang mengungkap bahwa alasan penolakan untuk imunisasi adalah takut adanya suntikan ganda (37,7 persen) dan takut adanya efek samping (12 persen).
“Kemenkes beranggapan bahwa ketakutan dan keraguan orang tua untuk memberikan vaksin kepada anak terjadi karena masih kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai bahaya penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi dan manfaat dari imunisasi itu sendiri,” ujar dr. Prima kepada Tirto melalui keterangan tertulis, Jumat (30/8/2024).
Menghadapi permasalahan tersebut, Kemenkes sendiri sudah membuat Strategi Komunisasi Nasional Imunisasi 2022-2025 yang menjadi acuan bagi kegiatan komunikasi di tingkat nasional dan daerah, terutama dalam penyebaran informasi tentang imunisasi guna meredakan kekhawatiran terhadap berbagai isu terkait imunisasi.
Dengan menggandeng sejumlah organisasi profesi terkait, organisasi kemasyarakatan dan sejumlah tokoh agama dan masyarakat, Kemenkes berharap strategi ini bisa membangun kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi rutin sekaligus meluruskan informasi
yang salah dan berbagai rumor yang beredar.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
tirto.id - Kesehatan
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty
Komentar
Posting Komentar