Kilas Balik Kasus E-KTP Setya Novanto, Kembali Disorot Usai Pernyataan Eks Ketua KPK Halaman all - Kompas
Kilas Balik Kasus E-KTP Setya Novanto, Kembali Disorot Usai Pernyataan Eks Ketua KPK Halaman all - Kompas
KOMPAS.com - Kasus korupsi mega proyek e-KTP atau Kartu Tanda Penduduk Elektronik kembali menuai sorotan usai pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo.
Diberitakan Kompas.com, Jumat (1/12/2023), Agus mengaku pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan kasus e-KTP.
Kasus tersebut menjerat Setya Novanto (Setnov), yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai politik pendukung Jokowi.
Setnov pun diumumkan menjadi tersangka kasus mega proyek e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017.
"Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak," kata Agus dalam program Rosi di Kompas TV, Kamis (30/11/2023).
"Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh Presiden," lanjutnya.
Merespons pernyataan Agus, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana tidak menjawab secara tegas apakah Jokowi memang pernah memerintahkan Agus menghentikan kasus e-KTP.
Dia hanya meminta publik untuk melihat proses hukum Setya Novanto yang terus berjalan sampai tingkat pengadilan.
"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," kata Ari kepada Kompas.com, Jumat.
Lantas, seperti apa perjalanan kasus e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto?
Awal mula kasus korupsi mega proyek e-KTP
Kasus korupsi e-KTP bermula saat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2009 merencanakan pengajuan anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP).
Salah satu komponen program penyelesaian SIAP tersebut adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP dapat selesai pada 2013.
Proyek e-KTP merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia.
Dilansir dari Kompas.com, Jumat (4/2/2022), lelang e-KTP dimulai sejak 2011, tetapi banyak bermasalah karena terindikasi banyak penggelembungan dana.
Kasus korupsi proyek e-KTP sendiri terendus akibat kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
KPK kemudian mengungkap adanya kongkalikong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP sepanjang 2011-2012.
Akibat korupsi mega proyek secara berjemaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun.
DPR pun sempat dibuat heboh karena selama menangani kasus ini, KPK melakukan pemanggilan kepada puluhan anggota dewan maupun mantan anggota legislatif.
Bahkan, nama-nama tokoh besar ikut dikaitkan. Dalam perkara pokok kasus korupsi e-KTP, setidaknya ada delapan orang yang sudah diproses dan divonis bersalah.
Mereka adalah Setya Novanto, dua mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung, dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Novanto).
Kemudian pengusaha Andi Narogong, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, serta mantan anggota DPR Markus Nari.
Baca juga: Mentan dan Sederet Menteri Jokowi dalam Pusaran Kasus Korupsi, Terbanyak Setelah Reformasi
Bagi-bagi uang korupsi
Presiden Joko Widodo didampingi Ketua DPR Setya Novanto (kanan) tiba di ruang Nusantara IV gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (6/4/2015).
Korupsi proyek Kemendagri ini setidaknya dimulai setelah rapat pembahasan anggaran pada Februari 2010.
Saat itu, Irman yang masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri dimintai sejumlah uang oleh Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu.
Permintaan uang itu bertujuan agar usulan anggaran proyek e-KTP yang diajukan Kemendagri disetujui oleh Komisi II DPR.
Sebagai informasi, proyek e-KTP ini memang dibahas di Komisi II DPR, sebagai mitra dari Kemendagri.
Irman kemudian menyetujui permintaan tersebut, dan menyatakan pemberian fee kepada anggota DPR akan diselesaikan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Irman sendiri bekerja sama dengan Andi Narogong agar perusahaannya dimenangkan dalam tender proyek e-KTP.
Andi dan Irman lantas meminta bantuan kepada Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar. Mereka berharap agar Novanto dapat mendukung dalam penentuan anggaran proyek ini.
Novanto pun menyatakan akan mengoordinasikan dengan pimpinan fraksi yang lain agar memuluskan pembahasan anggaran proyek e-KTP di Komisi II DPR.
Beberapa nama disebut-sebut ikut dalam sejumlah pertemuan untuk membahas anggaran proyek e-KTP, termasuk Nazaruddin dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR kala itu, Anas Urbaningrum.
Dari beberapa kali pertemuan, disepakati bahwa anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun.
Sebanyak 51 persen dari total anggaran, Rp 2,662 triliun, akan digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek.
Sedangkan sisanya, seperti dilansir Kompas.com, sebanyak 49 persen atau Rp 2,5 triliun akan dibagi-bagi dengan perincian:
- Pejabat Kemendagri sebesar 7 persen (Rp 365,4 miliar)
- Anggota Komisi II DPR 5 persen (Rp 261 miliar)
- Setya Novanto dan Andi Narogong 11 persen (574,2 miliar)
- Anas dan Nazaruddin 11 persen (Rp 574,2 miliar)
- Sisa 15 persen (Rp 783 miliar) akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Sementara itu, dalam proses pengadaan barang, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto diangkat oleh Irman sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Pada pelaksanaan pengadaan, Sugiharto menetapkan dan menyetujui harga perkiraan sendiri (HPS) yang telah digelembungkan.
Sejumlah pihak membentuk konsorsium dalam pengerjaan proyek ini, dengan anggota mulai dari pejabat Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), serta perwakilan vendor-vendor (PT Sucofindo, PT LEN, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra).
PNRI disepakati menjadi pemimpin konsorsium. Hal ini agar mudah diatur karena konsorsium dipersiapkan sebagai pemenang lelang pekerjaan e-KTP.
Keterlibatan Setya Novanto dalam kasus e-KTP
Nama Setya Novanto sejak awal memang sudah disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi e-KTP.
Namun, keterlibatan mantan Ketua Umum Golkar itu semakin kuat setelah namanya disebut dalam sidang perdana kasus tersebut dengan Sugiharto dan Irman sebagai terdakwa.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa di Pengadilan Tipikor, Kamis (9/3/2017), Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
Novanto sempat membantah dan mengelak. Ia bahkan mengajukan praperadilan atas penetapan statusnya sebagai tersangka.
Sempat memenangkan praperadilan, akhirnya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Pada September 2017, KPK memanggil Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Saat itu, Novanto sudah menjadi Ketua DPR RI.
Dia berkali-kali tak hadir dengan berbagai alasan, mulai dari sakit hingga meminta KPK menunggu proses praperadilan selesai.
Bahkan, Novanto sempat mengirimkan surat ke KPK melalui Fadli Zon yang pada 2017 menjabat sebagai Wakil Ketua DPR, agar menunda proses penyidikan sampai putusan praperadilan keluar.
Surat yang dikirimkan Setya Novanto menuai protes karena dikirim menggunakan kop DPR RI. Permintaan Novanto pun ditolak KPK.
Hingga pada 15 November 2017, KPK menjemput paksa ke rumah Setya Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
KPK sempat dihalang-halangi untuk masuk ke dalam. Keberadaan Novanto juga tidak diketahui.
Sehari setelahnya, Setya Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan dan dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Pengacara Novanto, Fredrich Yunadi mengatakan, Novanto terburu-buru menuju ke studio salah satu stasiun televisi swasta untuk melangsungkan siaran langsung.
Setelah melangsungkan siaran langsung, Novanto diklaim berencana mendatangi KPK untuk memberikan keterangan. Nahas, menurut pengacara, mobil yang ditumpangi menabrak tiang.
KPK pun mengeluarkan surat penahanan terhadap Setya Novanto pada 17 November 2017.
Tim KPK juga menjemput Novanto di RS Medika Permata Hijau, kemudian mengantarnya ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk menjalani perawatan karena mengalami luka-luka saat kecelakaan.
Setya Novanto menjalani sidang perdana pada 13 Desember 2017. Di awal persidangan, dia tidak mau berbicara sama sekali dan memperlihatkan raut orang yang sedang dalam kondisi tidak sehat.
Namun, keterangan dokter yang memeriksa justru menyatakan bahwa Novanto sehat dan bisa menjalani persidangan.
Baca juga: Pihak yang Paling Banyak Sumbang Tersangka Korupsi di Indonesia, Siapa Saja Mereka?
Hukuman pelaku korupsi e-KTP
Setelah melalui serangkaian proses hukum, majelis hakim memberikan vonis kepada para pelaku atas keterlibatan dalam tindak pidana korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Delapan pelaku telah divonis bersalah oleh pengadilan dan mendapat hukuman berbeda tergantung sejauh mana keterlibatan mereka.
Berikut perinciannya:
- Sugiharto: 5 tahun penjara (vonis 22 Juni 2017)
- Irman: 7 tahun penjara (vonis 20 Juli 2017)
- Andi Narogong: 8 tahun penjara (21 Desember 2017)
- Setya Novanto: 15 tahun penjara (divonis 24 April 2018, kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya)
- Anang Sugiana Sudiharjo: 6 tahun penjara (divonis 30 Juli 2018, inkrah setelah banding dan PK)
- Made Oka Masagung: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018, mengajukan PK dan ditolak pada 2020)
- Irvanto Hendra Pambudi Cahyo: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018)
- Markus Nari: 6 tahun penjara (divonis 11 November 2019).
(Sumber: Kompas.com/Syakirun Ni'am, Elza Astari Retaduari | Editor: Ihsanuddin)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Komentar
Posting Komentar