6 Problem Pendidikan di Indonesia Sepanjang 2024 menurut Peneliti BRIN - NU Online

 

6 Problem Pendidikan di Indonesia Sepanjang 2024 menurut Peneliti BRIN

Jakarta, NU Online
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anggi Afriansyah menjabarkan problem dan kompleksitas pendidikan Indonesia selama tahun 2024.


Hal itu disampaikannya dalam acara webinar Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Keragaman dan Hak Asasi Manusia: Stop Kekerasan, Masa Depan Perlindungan Guru dan Murid pada Senin (30/12/2024).


1. Akses, inklusivitas, dan kesetaraan 

Menurut Anggi, persoalan utama adalah problem klasik yakni terkait akses, inklusivitas, dan kesetaraan. Aak-anak dari keluarga miskin menghadapi tantangan besar untuk masuk ke pendidikan seperti kurangnya informasi, biaya, dan keterbatasan fasilitas pendukung. 

 

"Sehingga perlu peran Pemerintah untuk mendampingi dari kelompok marginal tersebut,” ujarnya.


Ia menyampaikan bahwa pendidikan harus mampu mengatasi rasa takut, minder, dan keterbatasan sosial ekonomi, dengan harapan dapat membangun karakter positif, berpikir alternatif, bertanggung jawab, dan memperjuangkan kesetaraan.

 

"Kita berharap pendidikan menjadi ruang yang aman, adil, inklusif, humanis, dan memperhatikan kebinekaan," kata Anggi.


2. Isu perundungan dan kekerasan seksual masih mendominasi ruang pendidikan

Anggi menyampaikan bahwa pemahaman isu perundungan, kekerasan, kekerasan seksual di ruang pendidikan masih beragam.

 

“Jadi variatif sekali, di lembaga pendidikan kedokteran yang kita bilang itu elit dan berbiaya mahal, di situ ada perundungan, di pesantren yang kita harapkan anak-anak kita berkarakter, bertakwa ada perundungan juga sampai di sekolah internasional, sekolah anak yang berbiaya mahal ternyata ada perundungan juga,” katanya.

 

Menurutnya, adanya gap antara aturan dengan praktik sehingga semua pihak mengalami kegamangan dalam menghadapi kasus-kasus perundungan dan kekerasan.


"Di balik kasus-kasus tersebut, kita tahu bahwa orientasi pendidikan kita, belum mengedepankan visi kemanusiaan," ucapnya.

 

3. Literasi dan tantangan digital
Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) itu menyampaikan harga buku yang mahal menjadi hambatan bagi keluarga kelas menengah ke bawah untuk mengenalkan buku kepada anak-anaknya. 

 

Ia mengatakan membangun kebiasaan membaca perlu upaya keras, keteladanan, dan dukungan seperti komunitas dan pemerintah dengan harapan literasi menjadi strategi kebudayaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

"Menurut Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital) kurang dari 50 persen masyarakat Indonesia belum memverifikasi sumber informasi sebelum membagikannya,” ujarnya.

 

4.  Konteksitas pendidikan dan dunia kerja

Anggi menyampaikan saat ini deindustrialisasi mengurangi kontribusi sektor manufaktur terhadap ekonomi, sehingga menciptakan peluang kerja yang semakin sempit.

 

“Anak-anak sekarang itu sulit mendapatkan pekerjaan, tapi di satu sisi pemberi kerja bilang bahwa ada banyak pekerjaan tapi kami tidak anak-anak muda yang memiliki skill yang mumpuni, itu menjadi penghambat dalam mengurangi pengangguran,” ujarnya.

 

5. Persoalan guru di ruang pendidikan

Anggi menyampaika guru menjadi pilar utama pendidikan, sering kali hidup dalam ketidaksejahteraan, baik dari ekonomi, keamanan, atau kesejahteraan batin. Banyak janji-janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraannya, namun janji tersebut belum terwujud.

 

"Tantangan guru untuk memahami personalisasi siswa, guru berhadapan dengan anak-anak, sehingga guru hebat sulit tercapai tanpa adanya perubahan yang signifikan dari sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah,” ucapnya.


6.  Kegamangan arah kebijakan pendidikan

Anggi mengatakan ada banyak kegamangan dalam arah kebijakan pendidikan kita dalam 20 tahun terakhir seperti maju mundur. "Karena pendidikan kita itu mau dibawa ke mana arahnya itu sering kali terlupakan,” ujar Anggi.

 

Menurutnya, ada risiko tambal sulam kebijakan dan ketidaksinambungan kebijakan antar periode. “Itu harus diminimalisir, kebijakan itu tidak bisa selesai dalam waktu lima tahun,” katanya.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya 

Artikel populer - Google Berita