Pagar Laut Misterius 30 Km Terbangun Tanpa Pemerintah Tahu, Kok Bisa? - CNN Indonesia

 

Pagar Laut Misterius 30 Km Terbangun Tanpa Pemerintah Tahu, Kok Bisa?

Jakarta, CNN Indonesia 

--

Pagar laut misterius sepanjang 30 kilometer membentang di perairan Tangerang. Pembangunan pagar tak mengantongi izin alias ilegal.

Keberadaan pagar yang membentang jauh ke laut ini telah mengganggu aktivitas nelayan tradisional dan memunculkan spekulasi adanya proyek besar seperti reklamasi atau pembangunan kawasan tertentu di daerah tersebut.

Keberadaan pagar laut itu mulanya diketahui dari laporan warga yang diterima Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten pada Agustus 2024 silam.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti mengatakan pihaknya menerima laporan warga pada 14 Agustus dan menemukan dugaan pembangunan pagar laut sepanjang 7 kilometer pada 19 Agustus.

"Saat itu informasi yang kami dapatkan bahwa tidak ada rekomendasi atau izin dari camat maupun dari desa dan kemudian belum ada keluhan dari masyarakat terkait pemagaran tersebut," kata Eli dalam Diskusi Publik, di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta, Selasa (7/1) dilansir detikfinance.

Eli mengatakan timnya sudah melakukan investigasi sebanyak empat kali. Bahkan, mereka bekerja sama dengan Pangkalan TNI AL Banten, Polairud Polresta Tangerang, hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Provinsi Banten.

Saat itu, tim gabungan telah meminta pembangunan pagar laut itu dihentikan. Namun, pagar itu terus dibangun hingga saat ini memiliki panjang 30,16 kilometer.

Pembangunan pagar laut misterius Tangerang itu mencaplok wilayah pesisir 16 desa di 6 kecamatan. Ada masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sebanyak 3.888 orang dan ada 502 orang pembudidaya di lokasi itu.

"Pertanyaannya apakah kemudian laut boleh dimanfaatkan? Tentu saja boleh, bukan berarti setelah ini ditentukan zonasinya, tidak bisa beraktivitas disana. Boleh tetapi dengan catatan adalah tadi melalui mekanisme sesuai dengan aturan perundang-undangan," ujarnya.

Meski keberadaannya menabrak aturan, hingga kini pagar laut itu tak diketahui siapa pemiliknya. Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Suharyanto menyebut Ombudsman sedang melakukan kajian terhadap hal itu.

Menurut laporan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), pagar tersebut didirikan secara diam-diam, kemungkinan pada malam hari, tanpa sepengetahuan nelayan atau masyarakat sekitar.

Ketidakjelasan ini menambah keresahan masyarakat pesisir yang selama ini bergantung pada laut sebagai sumber utama penghidupan.

Pengurus Pusat KNTI Miftahul Khausar menegaskan bahwa pagar laut ini merupakan tindakan ilegal yang membatasi akses nelayan terhadap ruang laut.

"Pemagaran ini secara langsung mengganggu aktivitas nelayan dalam melaut dan menghilangkan wilayah tangkap yang menjadi sumber penghidupan nelayan secara turun-temurun," ujar Miftahul kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/1).

Ia menyebut bahwa informasi dari anggota KNTI di Tangerang menunjukkan pemagaran ini diduga dilakukan secara diam-diam, tanpa pemberitahuan kepada masyarakat pesisir.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa wilayah tersebut akan digunakan untuk proyek reklamasi atau pembangunan lain yang berpotensi merusak ekosistem pesisir.

"KNTI mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas. Pemagaran ini jelas melanggar hukum dan mencerminkan upaya privatisasi laut yang tidak adil bagi nelayan," tambahnya.

Pengamat kebijakan publik PH&H Public Policy Interest Group Agus Pambagio menilai proyek-proyek seperti pembangunan pagar laut ini merupakan refleksi dari kebijakan pemerintah yang sering memberikan keleluasaan kepada pihak swasta atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Karenanya, mereka seperti tutup mata.

Menurutnya, kondisi ini menciptakan ketergantungan terhadap investor besar yang akhirnya mengambil alih ruang publik, termasuk laut.

"Bukan salah swasta juga. Kan oligarki memang dibesarkan oleh pemerintah siapa pun presidennya," kata Agus.

Ia menambahkan bahwa pihak swasta tentu akan mencari keuntungan, apalagi jika sudah mendapatkan izin presiden melalui PSN.

"Mereka bangun ini, bangun itu. Masa mereka enggak untung? Salahnya pemerintah, jangan nyuruh-nyuruh mereka. Bangun sendiri pakai APBN kan ada," tegasnya.

Agus juga menyoroti dampak pemagaran ini terhadap masyarakat pesisir, termasuk nelayan, yang kehilangan akses terhadap wilayah tangkap mereka. Ia menyebut bahwa ini adalah bukti nyata bagaimana proyek-proyek besar sering kali mengorbankan masyarakat kecil.

"Kalau tanah atau laut diambil, NJOP (nilai jual objek pajak)-nya pasti diturunkan, dibeli murah. Akhirnya masyarakat marah, tapi mau bagaimana lagi? Semua ini salahnya pimpinan negara," tambahnya.

Ia menduga lokasi pagar laut ini terkait dengan kawasan PIK 2 yang selama ini banyak diperbincangkan, terutama dalam kaitannya dengan kelompok bisnis besar.

"Ya kalau itu PIK 2, milik swasta besar seperti Aguan, mereka pasti punya dasar legal. Tapi dampaknya jelas, masyarakat yang menderita, nelayan yang kehilangan wilayah tangkap," ungkapnya.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menekankan bahwa pemerintah daerah (pemda) harus bertanggung jawab atas keberadaan pagar laut ini.

Ia menganggap pemda gagal memberikan penjelasan yang jelas kepada masyarakat terkait siapa pemilik pagar tersebut dan dasar hukumnya.

"Pemda seharusnya menjelaskan kepada masyarakat mengenai pagar ini. Kalau tidak, masyarakat berhak melakukan class action melalui LBH (Lembaga Bantuan Hukum) atau lembaga hukum lainnya," ujar Trubus.

Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dari pemerintah setempat untuk mencegah konflik yang lebih besar.

Menurut Trubus, ada kemungkinan pagar laut ini telah mengantongi dasar hukum yang sah, seperti izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau bagian tata ruang pemda setempat. Karenanya, pemerintah membiarkan pembangunannya.

Namun, ketidakjelasan informasi membuat masyarakat menilai pagar laut ini sebagai tindakan ilegal.

"Bisa jadi ini sebenarnya legal, tetapi masyarakat tidak tahu. Inilah pentingnya pemda memberikan klarifikasi," tegasnya.

Trubus juga mengkritik lambatnya respons aparat penegak hukum terhadap kasus ini. Ia menduga ada unsur korupsi atau praktik tutup mulut di balik pembangunan pagar laut tersebut.

"Kalau pembangunannya dilakukan diam-diam, apalagi pada malam hari, jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Mungkin ada pihak-pihak yang memberikan perlindungan," katanya.

Sebagai solusi, Trubus mengusulkan agar pembangunan pagar ini dihentikan sementara sampai ada kepastian hukum dan dialog yang melibatkan masyarakat.

"Dialog sangat penting agar masyarakat bisa memahami tujuan proyek ini dan menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak," tambahnya.

(agt/agt)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya 

Artikel populer - Google Berita