Ingin Ambil Alih Kepemilikan Gaza, Trump: Warga Palestina Tidak Punya Alternatif Selain Pergi - Liputan ini 6

 Dunia Internasional,

Ingin Ambil Alih Kepemilikan Gaza, Trump: Warga Palestina Tidak Punya Alternatif Selain Pergi

Sebelumnya, dunia Arab telah menentang keras gagasan Trump soal relokasi warga Palestina di Jalur Gaza.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 05 Feb 2025, 09:55 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat bertemu di Ruang Oval, Gedung Putih, Selasa (4/2/2025).
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat bertemu di Ruang Oval, Gedung Putih, Selasa (4/2/2025). (Dok. AP Photo/Evan Vucci)

Advertisement

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (4/2/2025) mengusulkan pemindahan permanen warga Palestina di Jalur Gaza. Tidak hanya itu, dia bahkan menyuarakan agar AS mengambil alih wilayah kantong Palestina itu.

Trump menguraikan pemikirannya saat berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Ruang Oval, Gedung Putih.

BACA JUGA:

"Saya rasa mereka tidak perlu kembali," kata Trump, seperti dikutip dari AP, pada Rabu (5/2). "Anda tidak bisa hidup di Gaza saat ini. Kita membutuhkan lokasi lain dan saya rasa itu harus berada di tempat yang dapat membuat orang-orang bahagia."

Advertisement

Trump mengatakan AS akan mengambil alih kepemilikan Jalur Gaza dan membangunnya kembali setelah warga Palestina dipindahkan ke tempat lain, menjadikan wilayah tersebut sebagai "Riviera Timur Tengah" di mana "orang-orang dari seluruh dunia" — termasuk Palestina — bisa tinggal.

"Kami akan memastikan itu dilakukan dengan standar kelas dunia," kata Trump. "Ini akan sangat menguntungkan bagi rakyat—terutama Palestina, yang kami maksudkan."

Riviera merujuk pada daerah pesisir yang indah. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan kawasan pesisir yang mewah dan elegan, seperti "French Riviera" di Prancis atau "Italian Riviera" di Italia.

Mesir, Yordania, dan sekutu-sekutu AS lainnya di Timur Tengah telah memperingatkan Trump bahwa pemindahan warga Palestina dari Jalur Gaza akan mengancam stabilitas Timur Tengah, berisiko memperluas konflik, dan merusak upaya yang sudah berlangsung selama beberapa dekade oleh AS dan sekutunya atas solusi dua negara (two state solution).

Trump bersikeras warga Palestina "tidak memiliki alternatif" selain meninggalkan "tumpukan puing-puing" yang ada di Jalur Gaza. Dia mengungkapkan hal ini setelah penasihat utamanya menekankan bahwa rencana waktu tiga hingga lima tahun untuk rekonstruksi wilayah yang hancur, seperti yang tercantum dalam kesepakatan gencatan senjata sementara, tidak realistis.

Pekan lalu, baik Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi maupun Raja Yordania Abdullah II menolak seruan Trump untuk merelokasi warga Palestina di Gaza.

Namun, Trump mengatakan dia percaya Mesir dan Yordania — serta negara-negara lain yang tidak disebutkan — pada akhirnya akan setuju menerima warga Palestina.

"Jika Anda melihat selama beberapa dekade, yang ada hanya kematian di Gaza," kata Trump. "Ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Semuanya penuh kematian. Andai kita bisa mendapatkan sebuah daerah yang indah untuk merelokasi orang-orang secara permanen, ke rumah-rumah yang nyaman, di tempat di mana mereka bisa bahagia dan tidak ditembak, tidak dibunuh, dan tidak ditikam sampai mati seperti yang terjadi di Gaza."

Trump juga mengatakan dia tidak menutup kemungkinan untuk mengerahkan pasukan AS guna mendukung rekonstruksi Jalur Gaza. Dia membayangkan "kepemilikan jangka panjang" AS atas pembangunan kembali wilayah tersebut.

"Kami akan melakukan apa yang diperlukan," kata Trump tentang kemungkinan mengerahkan pasukan AS untuk mengisi kekosongan keamanan.

Pendirian Negara Palestina yang Merdeka Terancam?

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Ruang Oval, Gedung Putih, Selasa (4/2/2025).
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Ruang Oval, Gedung Putih, Selasa (4/2/2025). (Dok. AP Photo/Evan Vucci)

Fokus Gedung Putih pada masa depan Jalur Gaza datang saat gencatan senjata yang baru dimulai antara Israel dan Hamas sedang berada di ambang ketegangan.

Netanyahu menghadapi tekanan yang bertentangan. Koalisinya yang berhaluan kanan ingin menghentikan gencatan senjata dengan Hamas di Jalur Gaza, sementara rakyat Israel yang lelah dengan perang ingin agar sandera yang tersisa dibawa pulang dan konflik yang telah berlangsung selama 15 bulan ini segera berakhir.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Otoritas Palestina, dan Liga Arab bergabung dengan Mesir dan Yordania dalam menolak rencana untuk memindahkan warga Palestina keluar dari Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.

Trump mungkin berharap dapat meyakinkan Mesir dan Yordania untuk menerima warga Palestina di Jalur Gaza dengan penekanan pada besarnya bantuan yang diberikan AS kepada Kairo dan Amman.

"Bagi saya, tidak adil menjelaskan kepada Palestina bahwa mereka mungkin akan kembali dalam lima tahun," kata utusan Timur Tengah Trump, Steve Witkoff, kepada wartawan. "Itu sama sekali tidak masuk akal."

Trump memberi isyarat pula bahwa dia mungkin mempertimbangkan kembali rencana pendirian Negara Palestina yang independen sebagai bagian dari solusi dua negara yang lebih luas untuk konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung lama.

"Banyak rencana yang berubah seiring waktu," kata Trump kepada wartawan saat ditanya apakah dia masih berkomitmen pada pendirian Negara Palestina. "Banyak kematian telah terjadi sejak saya meninggalkan posisi ini dan kini kembali."

Advertisement

Saling Lempar Pujian

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Ruang Oval, Gedung Putih, Selasa (4/2/2025).
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Ruang Oval, Gedung Putih, Selasa (4/2/2025). (Dok. AP Photo/Evan Vucci)

Kedatangan Netanyahu di Washington, yang menandai kunjungan pemimpin asing pertama pada masa jabatan kedua Trump, bertepatan dengan menurunnya dukungan populer bagi sang perdana menteri.

Netanyahu sedang menjalani persidangan yang telah berlangsung beberapa minggu terkait dugaan korupsi, di mana dia dituduh menukar hadiah dengan mogul media dan orang-orang kaya sebagai imbalan atas keuntungan atau perlakuan istimewa kepada mereka. Dia membantah tuduhan tersebut dan menyebut dirinya sebagai korban dari "perburuan penyihir."

Melihat Trump yang populer di Israel, kunjungannya dinilai bisa membantu mengalihkan perhatian publik dari persidangan dan meningkatkan posisinya.

"Kita memiliki pemimpin Israel yang tepat yang telah melakukan pekerjaan hebat," kata Trump tentang Netanyahu.

Netanyahu juga memuji kepemimpinan Trump dalam mencapai kesepakatan sandera dan gencatan senjata.

"Saya hanya ingin mengatakan, saya senang mereka berada di sini," kata Netanyahu merujuk pada Trump dan pemerintahannya.

Ini adalah perjalanan pertama Netanyahu ke luar Israel sejak Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya, mantan menteri pertahanannya, dan pimpinan Hamas yang telah tewas pada tahun lalu dengan tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

AS tidak mengakui otoritas ICC.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya 

Artikel populer - Google Berita