Klaim Israel Bisa Habisi Hizbullah Sekali Tepuk Sebelum Sempat Bantu Hamas, Gallant: Netanyahu Cemen - Halaman all - TribunNews
Dunia Internasional, Konflik Timur Tengah
Klaim Israel Bisa Habisi Hizbullah Sekali Tepuk Sebelum Sempat Bantu Hamas, Gallant: Netanyahu Cemen - Halaman all - TribunNews

Klaim Israel Bisa Habisi Hizbullah Sekali Tepuk Sebelum Sempat Bantu Hamas, Gallant: Netanyahu Cemen!
TRIBUNNEWS.COM - Cemen. Kata tidak baku, istilah dari bahasa Sunda yang berarti lembek atau lemah, sepertinya cocok untuk menggambarkan pengakuan mantan menteri pertahanan Israel, Yoav Gallant soal mantan atasannya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dalam menghadapi situasi negara pendudukan tersebut di masa perang.
Dalam wawancara yang disiarkan media Israel, Channel 12, Kamis (6/2/2025), Gallant menuduh Netanyahu terlalu ragu menggunakan kekuatan militer melawan Hamas dan Hizbullah.
Baca juga: Jet Israel Serang Wilayah Pedalaman Lebanon, IDF: Ada Transfer Senjata dari Suriah ke Hizbullah
Keraguan Netanyahu ini, kata Gallant, akhirnya merusak peluang terjadinya kesepakatan gencatan senjata dalam kerangka pertukaran sandera-tahanan dengan Hamas yang 'layak' (menguntungkan Israel) pada Mei tahun lalu.
Baca juga: Ratusan Ribu Warga Gaza kembali ke Utara, Ben-Gvir: Hamas Menang Mutlak, Israel Menyerah Sepenuhnya
Keraguan Netanyahu ini, tambahnya, juga berujung kegagalan menghasilkan rencana politik untuk memanfaatkan capaian operasi militer pasukan Israel (IDF) di Gaza.
Dalam wawancara tersebut — yang pertama bagi Gallant dengan televisi Israel sejak ia dipecat dari jabatannya oleh Netanyahu pada bulan November 2024 — jenderal yang kini menjadi anggota parlemen Israel (Knesset) itu juga membahas kegagalan pemerintah dan militer Israel dalam mencegah dan merespons serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023.
Gallant meminta dibentuknya komisi penyelidikan negara atas apa yang terjadi dan mengatakan dia akan bekerja sama sepenuhnya dan menerima apa pun yang ditemukan sehubungan dengan kegagalannya sendiri.
Di antara topik pertama yang dibahas dalam wawancara dengan berita Channel 12 adalah dorongan Gallant di balik layar untuk melancarkan serangan besar terhadap kelompok Hizbullah di Lebanon, pada 11 Oktober 2023, hanya empat hari setelah Hamas melancarkan invasinya dari Jalur Gaza.
Mantan menteri pertahanan Israel itu menyebut sarannya saat itu untuk segera memerangi Hizbullah, dicueki Netanyahu.
Gallant menyebut hal itu sebagai “kesempatan terbesar yang hilang dari Negara Israel, dari segi keamanan, sejak negara itu didirikan.”
Bukan apa-apa, menurut Gallant, Israel punya kesempatan untuk mengeleminasi para pentolan Hizbullah, termasuk para penasihat senior militer Iran, sekali gebuk saat itu.
Jika itu dilakukan, menurutnya, maka serangan-serangan Hizbullah sepanjang Perang Gaza berkecamuk untuk mendukung Hamas, tidak akan terjadi.
"Kami tahu bahwa pejabat senior dari Hizbullah akan berkumpul. Kami bisa saja menyerang dari udara dan menghabisi kepala-kepala Hizbullah, dan juga orang-orang Iran, [pemimpin Hizbullah Hassan] Nasrallah, dan semua yang lainnya. Seluruh jajaran atas Hizbullah," kata Gallant.
Dia meneruskan penilaiannya dengan mengatakan, andai serangan cepat Israel tersebut terlaksana saat itu, maka sebagian besar kekuataan persenjataan Hizbullah, akan habis sebelum sempat digunakan.
"Segera setelah itu (jika rencana eleminiasi pentolan Hizbullah cepat dilaksanakan), kami dapat melaksanakan rencana serangan terhadap seluruh sistem rudal dan roket, seperti yang (baru) kami lakukan hampir setahun kemudian, pada bulan September, dan kami tidak hanya akan mendapatkan 70 atau 80 persen, tetapi 90 persen atau lebih (kehancuran persenjataan Hizbullah), karena sebagian besarnya terkonsentrasi di gudang penyimpanan," tambahnya.
Hizbullah akan Musnah
Gallant juga menyinggung soal “operasi beeper” — serangan Israel yang melibatkan ledakan ribuan pager yang digunakan anggota Hizbullah.
Serangan pager ini menandai dimulainya serangan balasan Israel ke Hizbullah Lebanon saat itu.
Gallant menyesalkan kalau serangan itu baru terjadi pada 17 September 2024, padahal, 11 bulan sebelumnya, serangan itu sudah bisa dilakukan.
"Operasi beeper telah siap jauh sebelum perang dan dapat dilaksanakan bersamaan dengan serangan yang saya sarankan dilakukan pada Oktober 2023," kata dia dilansir Times of Israel.
Kembali berandai-andai, jika Netanyahu menuruti sarannya, Gallant menyebut Hizbullah akan 'musnah' sebelum bisa merongrong Israel dalam perang melawan Hamas di Gaza.
“Hizbullah sebagai organisasi militer akan berhenti beroperasi — tidak ada pemimpin, tidak ada rudal atau roket, sebagian besar anggotanya (akan) tewas di lapangan,” tegas Gallant.
Menurut menteri pertahanan yang digulingkan itu, ketika ia menyampaikan rencana tersebut kepada Netanyahu, perdana menteri bersikeras membahas usulan tersebut dengan Amerika Serikat.
Pada saat itu, kata Gallant, ia tahu serangan itu tidak akan dilakukan oleh IDF atas keputusan Netanyahu.
"Sesuai dengan permintaannya, saya berbicara dengan [Penasihat Keamanan Nasional AS] Jake Sullivan. Setelah beberapa menit, [Menteri Urusan Strategis] Ron Dermer bergabung dalam percakapan, dan saya mendapat jawaban 'tidak' yang mutlak," kenang Gallant.
“Saya kembali ke perdana menteri, dan saya katakan kepadanya, 'Kita harus melakukan ini.' Dia menunjuk ke luar jendela ke semua gedung, dan berkata kepada saya: 'Anda lihat gedung-gedung ini? Semua ini akan dihancurkan, oleh sisa kapasitas Hizbullah. Setelah kita menyerang mereka, mereka akan menghancurkan semua yang Anda lihat,'” kata Gallant menirukan ucapan Netanyahu.
Baca juga: Eks-Menhan Israel Yoav Gallant: Netanyahu Takut Hadapi Hizbullah Karena Yakin Tel Aviv Bakal Hancur

Pembelaan Netanyahu
Adapun Netanyahu membela keputusannya untuk menolak usulan Gallant pada tanggal 11 Oktober, dengan mengatakan kepada jaringan Channel 14 pada Kamis kalau akan menjadi "kesalahan besar" untuk membuka perang dua front segera setelah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober.
Netanyahu juga mengklaim hanya ada sekitar 150 alat penyadap bom di tangan Hizbullah pada Oktober 2023 “dibandingkan dengan ribuan yang kami kumpulkan” pada bulan-bulan berikutnya.
Pernyataan tersebut langsung mendapat tanggapan dari Gallant, yang menulis di X bahwa “operasi pager telah dipersiapkan bertahun-tahun sebelum perang dan siap diaktifkan pada tanggal 11 Oktober.”
“Bertentangan dengan apa yang dikatakan, ribuan pager sudah berada di tangan para teroris pada saat saya mengusulkan untuk menyerang Hizbullah,” kata Gallant.
Ia menegaskan, jika rencana itu benar-benar dijalankan pada Oktober 2023, kerusakan yang ditimbulkan oleh pager itu akan menjadi kerusakan sekunder dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh perangkat walkie-talkie yang juga dipasangi bahan peledak.
Sementara puluhan anggota Hizbullah terbunuh dan ribuan lainnya terluka dalam serangan pager dan walkie-talkie pada 16-17 September, jauh lebih banyak orang yang tidak dapat bertugas akibat ledakan pager dibandingkan akibat walkie-talkie.
Alasannya, kata Gallant, adalah karena pada September 2024, “sebagian besar walkie-talkie berada di gudang, dan ledakannya tidak menimbulkan kerusakan.”
Berbicara dengan Channel 12, Gallant mengatakan perangkat tersebut sedang diperiksa setelah menimbulkan kecurigaan dari Hizbullah.
Dalam wawancara tersebut, Gallant juga membahas serangan yang menewaskan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hizbullah, Hasan Nasrallah oleh serangan Israel pada 27 September 2024.
Dia mengingat bagaimana ia dan Kepala Staf IDF Herzi Halevi menelepon Netanyahu — yang sedang mengunjungi Amerika Serikat — untuk mendapatkan izin atas serangan tersebut.
Setelah memberi mereka lampu hijau, Netanyahu meminta mereka menunggu hingga setelah ia menyampaikan pidatonya di Majelis Umum PBB, kenang Gallant.
“Delapan puluh empat ton bom jatuh… dan Nasrallah meninggal dunia.”

Invasi Darat Gaza
Menurut Gallant, Netanyahu tidak hanya terlalu ragu untuk menyerang Hizbullah di awal perang — ia bahkan enggan mengirim pasukan darat ke Gaza.
Lagi-lagi, kata Gallant, Netanyahu terlalu cemen karena takut akan 'harga' mahal yang akan dibayar Israel atas keputusannya.
“Sebelum operasi darat (agresi IDF ke Gaza), perdana menteri memberi tahu saya bahwa akan ada ribuan [tentara] yang terbunuh di Gaza. Saya katakan kepadanya, tidak akan ada ribuan yang terbunuh — dan lebih dari itu, untuk apa kita memiliki tentara? Jika setelah mereka membunuh ribuan warga negara kita dan menculik mereka serta membunuh wanita, anak-anak, dan orang tua, kita tidak akan melakukannya (agresi ke Gaza)?”
“Dan kemudian muncullah alasannya: 'Mereka akan menggunakan para sandera sebagai perisai manusia,'” kenang Gallant.
"Saya katakan kepadanya, kami dan Hamas, hanya punya satu kesamaan, ingin melindungi para sandera," kata Gallant, menjelaskan kalau Hamas membutuhkan para sandera hidup-hidup untuk menggunakan mereka sebagai alat melawan Israel.
"Itu adalah perjuangan," kata Gallant lagi, tentang upaya meyakinkan pemerintah untuk meluncurkan operasi darat.
"Semua ini butuh waktu — pada akhirnya, kepala staf IDF dan saya, kami sampai pada keputusan ini," katanya.

Harga Lebih Mahal Bagi Israel Karena Kelamaan Putuskan Gencatan Senjata
Ketika ditanya apakah ia yakin pemerintah telah melakukan segala upaya untuk memulangkan mereka yang diculik pada tanggal 7 Oktober dan disandera di Gaza, mantan kepala pertahanan itu berkata, "Saya rasa tidak."
"Kita bisa saja membawa [pulang] lebih banyak sandera, lebih awal, dan dengan biaya yang lebih rendah. Usulan awal Juli, yang disetujui Hamas, identik dengan kesepakatan sekarang, hanya [yang sekarang] lebih buruk dalam beberapa hal," kata Gallant.
“Sayangnya, jumlah sandera yang hidup semakin sedikit, waktu telah berlalu lebih lama, dan kita membayar harga yang lebih mahal — karena setidaknya ada 110 pembunuh lagi yang akan dibebaskan dalam proses ini.”
Ketika ditanya siapa yang menurutnya harus disalahkan atas kegagalan kesepakatan bulan Juli, Gallant menuturkan kisah berikut, dari akhir bulan April:
“Dalam kabinet perang, kami membuat keputusan bulat untuk bergerak menuju kesepakatan, di mana kami akan menarik diri dari Koridor Netzarim, dan ada beberapa kunci yang berbeda untuk berapa banyak sandera yang akan dibebaskan sebagai imbalan atas berapa banyak tahanan.
“Pada malam harinya, ada diskusi kabinet, dan datanglah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang tidak tahu — atau tidak seharusnya tahu — tentang rencana tersebut, dan dia berkata: 'Ada rencana untuk mengembalikan 18 sandera sebagai imbalan penarikan pasukan dari Netzarim,' dan dia berkata dia akan menentangnya dan meninggalkan pemerintahan,” kenang Gallant.
“Saya tidak tahu [siapa yang memberi tahu dia]. Saya tidak memberi tahu dia. Kami katakan di lembaga keamanan — kami perlu membawa [pulang] 33 sandera, dan jumlah minimumnya adalah 18. Jumlah yang keluar, beberapa jam kemudian, ke media, adalah 18."
“Butuh beberapa hari bagi Hamas untuk memahami apa yang terjadi dari media Israel, dan mereka berkata, kami menarik diri dari kesepakatan itu — dan, dalam praktiknya, semuanya berantakan. Dan itu baru muncul kembali pada akhir Mei, melalui pidato presiden.”
Ketika ditanya apakah tekanan Trump yang menyebabkan Netanyahu akhirnya menerima kesepakatan tersebut, dalam bentuk terburuknya, kali ini, Gallant menjawab:
"Netanyahu lebih mempertimbangkan Trump daripada [Itamar] Ben Gvir," katanya, merujuk pada pemimpin sayap kanan yang partainya, Otzma Yehudit, keluar dari pemerintahan untuk memprotes perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari. "Itu tidak berlaku untuk [Presiden AS] Biden. Itulah inti ceritanya."
Gallant juga — bukan untuk pertama kalinya — menuduh pemerintah gagal memanfaatkan kemajuan militer IDF di Gaza dengan menolak melaksanakan rencana untuk menggantikan Hamas sebagai kekuatan pemerintahan di Jalur Gaza.
“Selama setahun… saya katakan 'bangun alternatif.' Perdana menteri, meskipun mereka menyerang saya, menyetujuinya,” kata Gallant.
“Namun apa yang dibutuhkan tidak dilakukan.”
Gallant sangat menentang prospek pemerintahan militer Israel di Gaza “untuk memenuhi impian orang-orang yang terputus dari kenyataan, untuk membangun pemukiman di jantung Gaza.”
“Hasilnya akan membawa bencana,” ia memperingatkan.
(oln/toi/chnn12/*)
Komentar
Posting Komentar