Dunia Internasional,
Trump Bongkar 8 Kecurangan China dalam Praktik Perdagangan Global | Halaman Lengkap
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan peringatan keras kepada China terkait dugaan praktik dagang curang. FOTO/Nikkei
- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan peringatan keras kepada China terkait dugaan praktik dagang curang yang disebutnya merugikan kepentingan ekonomi global.
Dalam unggahan di media sosial Truth Social, Trump mengungkapkan delapan bentuk kecurangan non-tarif yang menurutnya kerap digunakan oleh China dalam menghadapi tarif impor AS. Dia menuding praktik-praktik tersebut sebagai strategi sistematis untuk menghindari dampak kebijakan tarif besar-besaran yang diberlakukan pemerintahannya.
Baca Juga: China Mengancam Negara-negara yang Negosiasi Tarif dengan Trump
Trump membeberkan delapan poin kecurangan China dalam praktik perdagangan, meliputi manipulasi mata uang, PPN yang berfungsi sebagai subsidi ekspor, dumping di bawah harga pokok, subsidi pemerintah, standar proteksionis di bidang pertanian dan teknis, pemalsuan serta pencurian hak kekayaan intelektual hingga pengalihan pengiriman (transshipping) guna menghindari bea masuk.
Pernyataan Trump ini muncul hanya beberapa hari setelah ia mengumumkan kebijakan tarif dasar sebesar 10% atas seluruh barang impor, serta masa tenggang 90 hari sebelum diberlakukannya tarif tambahan untuk negara-negara tertentu—dengan pengecualian China yang langsung dikenai tarif sebesar 145%.
Sementara, produk AS yang dikirim ke China dikenakan pajak sebesar 125%. Washington dan Beijing pun kembali terlibat dalam eskalasi perang dagang, yang berpotensi menimbulkan dampak luas terhadap perdagangan global.
Trump beraggapan, selama ini AS telah dirugikan oleh kesepakatan perdagangan internasional. Ia berjanji bahwa tarif akan mengembalikan "kedaulatan ekonomi" AS, mendorong konsumsi produk dalam negeri dan meningkatkan investasi domestik.
Salah satu tudingan utama Trump adalah manipulasi nilai tukar oleh China. Ia mengingatkan bahwa pada 2019, pemerintahannya sempat menetapkan China sebagai manipulator mata uang, menyusul langkah Beijing yang membiarkan nilai yuan melemah terhadap dolar AS. Langkah itu dianggap sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekspor China.
Baca Juga: Barack Obama dan Michelle Gagal Capai Kesepakatan Cerai, Kekayaan Rp1,12 Triliun Jadi Rebutan
Kekhawatiran serupa muncul kembali setelah penerapan tarif baru oleh Trump awal bulan ini. Bank Sentral China menetapkan kurs tengah yuan pada posisi terlemah sejak 2023, dengan nilai tukar yuan dalam negeri mencapai 7,3509 terhadap dolar AS penutupan terendah sejak Desember 2007.
Meski demikian, sejumlah ekonom yang diwawancarai CNN memperkirakan bahwa China tidak akan kembali menggunakan manipulasi mata uang secara agresif. Mereka meyakini Beijing lebih memilih depresiasi bertahap guna menjaga stabilitas pasar finansial.
"Devaluasi tidak lagi menjadi senjata perdagangan yang efektif," ujar Direktur China untuk Eurasia Group, Dan Wang, dilansir dari Newsweek, Selasa (22/4/2025).
"Pemerintah China akan berusaha meyakinkan pasar bahwa mereka mampu menjaga stabilitas yuan dan mencegah aksi spekulatif," tambahnya.
Trump juga menyoroti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai bentuk kecurangan terselubung, meski para ahli menegaskan bahwa PPN berbeda dari tarif karena diterapkan pada semua barang, baik lokal maupun impor.
Isu dumping juga menjadi sorotan, yakni praktik menjual produk di luar negeri dengan harga jauh lebih rendah dari pasar domestik. Dalam beberapa tahun terakhir, AS dan Uni Eropa menuduh China menjual produk seperti kendaraan listrik di pasar global dengan harga murah berkat dukungan subsidi besar dari pemerintah.
Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut bahwa antara 2009 hingga 2022, subsidi yang diberikan Pemerintah China telah menurunkan harga ekspor dan meningkatkan volume ekspor untuk produk logam, mebel, hingga otomotif.
AS juga telah lama menuding China melakukan pencurian dan pemalsuan hak kekayaan intelektual. Kamar Dagang AS memperkirakan bahwa dua pertiga dari seluruh kasus pelanggaran kekayaan intelektual dunia berasal dari China. Survei CNBC pada 2019 menunjukkan bahwa satu dari lima perusahaan Amerika mengaku pernah menjadi korban pencurian IP oleh entitas China.
Strategi lain yang dikhawatirkan Washington adalah praktik transshipping, yakni pengalihan pengiriman barang melalui negara ketiga guna menghindari tarif. Menurut laporan Financial Times, beberapa penjual dari platform Temu yang berbasis di Guangzhou telah membuka pabrik di Yordania agar produk mereka bisa diekspor ke AS dengan label negara ketiga.
"China menunjukkan kecerdikan dalam mengakali tarif. Mereka menggunakan warga lokal sebagai wajah depan perusahaan, padahal sebenarnya dimiliki penuh oleh entitas China," ungkap Nicholas Lardy, analis kebijakan perdagangan China kepada Newsweek.
Wakil Presiden Asia Society Policy Institute dan mantan negosiator perdagangan AS, Wendy Cutler, menambahkan semakin banyak perusahaan China yang berinvestasi di negara ketiga seperti Vietnam untuk menghindari tarif AS, yang turut menyebabkan defisit perdagangan besar antara AS dan Vietnam.
Di sisi lain, Pemerintah China memperingatkan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam terhadap langkah negara lain yang merugikan kepentingan Beijing melalui kesepakatan dagang dengan AS.
"Penengahan tidak akan menghasilkan perdamaian, dan kompromi tidak akan menghasilkan rasa hormat," tegas Juru Bicara Kementerian Perdagangan China.
"China menentang keras setiap kesepakatan yang mengorbankan kepentingan nasional dan akan mengambil langkah balasan yang tegas bila perlu."
(nng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar