Bojonegoro dalam Pusaran Industri Jawa Timur: Dilema Lumbung Energi yang Terbelenggu - Damarinfo.com
damarinfo.com – Kabupaten Bojonegoro, dengan 77 unit industri besar dan sedang yang beroperasi di antara hamparan pertanian dan ladang energi, menjadi gambaran nyata paradoks pembangunan di Jawa Timur. Di satu sisi, jumlah ini terbilang signifikan — melampaui wilayah pedalaman seperti Magetan atau Ngawi. Namun, realitas nilai produksi yang hanya menyentuh Rp2,55 triliun (0,25% total Jatim) mengungkap cerita berbeda: kuantitas belum tentu bermutu.
Jawa Timur: Kekuatan Industri yang Tidak Merata
Sebagai episentrum industri terbesar kedua setelah Jawa Barat, provinsi ini mengandalkan tiga pilar utama: Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya. Kawasan ini menyumbang 47% nilai produksi Jatim (Rp476,8 triliun dari total Rp1.010 triliun). Namun, di balik gemerlap pencapaian, tersembunyi jurang ketimpangan yang dalam:
Sidoarjo (1.175 perusahaan) menghasilkan nilai produksi 70 kali lipat Bojonegoro.
Tuban, yang berbatasan langsung dengan Bojonegoro, meski hanya memiliki 100 perusahaan, nilai produksinya 12 kali lebih besar berkat industri pengolahan migas dan semen.
Inilah dilema pembangunan Jatim: kemajuan terpusat di koridor Gerbangkertosusila, sementara wilayah timur dan pedalaman terperangkap sebagai penyedia bahan mentah.
Bojonegoro: Potensi Besar yang Terkekang
Secara geografis dan sumber daya, kabupaten ini seharusnya menjadi lokomotif ekonomi. Blok Cepu — salah satu cadangan migas terbesar di Indonesia — berada di sini. Namun, fakta lapangan justru menunjukkan:
Produktivitas Rendah: Tiap pekerja industri di Bojonegoro hanya menghasilkan Rp186,4 juta/tahun, jauh di bawah standar provinsi (Rp1,04 miliar). Bandingkan dengan Kota Kediri (Rp6 miliar/pekerja) yang sukses membangun industri farmasi dan elektronik.
Ketergantungan pada Sektor Primer: Sebagian besar unit usaha di Bojonegoro bergerak di agroindustri dasar dan pertambangan — sektor dengan margin tipis.
Akar Masalah:
Hilirisasi Terbatas: Minyak mentah Blok Cepu lebih banyak diekspor langsung ketimbang diolah menjadi produk turunan bernilai tinggi.
Infrastruktur Minim: Konektivitas transportasi yang buruk membuat biaya logistik membengkak.
SDM Terbatas: Hanya 13,6 ribu tenaga kerja industri — jumlah yang tak sebanding dengan luas wilayah dan potensinya.
Transformasi: Dari Bahan Mentah ke Nilai Tambah
Bojonegoro tidak perlu menjadi Sidoarjo kedua. Kunci pembangunan berkelanjutan terletak pada:
Industri Pengolahan Migas: Bangun kilang mini dan pabrik petrokimia untuk menghasilkan bahan baku plastik atau pupuk.
Penguatan Agroindustri: Komoditas pertanian seperti kedelai dan jagung bisa diolah menjadi produk makanan instan atau pakan ternak berkualitas.
Optimalisasi KEK: Manfaatkan status Kawasan Ekonomi Khusus untuk menarik investasi strategis dengan insentif fiskal.
Refleksi: Mampukah Bojonegoro Mengejar Ketertinggalan?
Kisah Bojonegoro adalah potret buram industri Indonesia: kekayaan alam melimpah, tapi nilai tambahnya menguap. Di era revolusi industri 4.0, kabupaten ini masih terjebak di tahap ekstraksi bahan mentah.
Namun, peluang emas masih terbuka. Dengan strategi tepat — seperti pengembangan biofuel atau industri berbasis teknologi — Bojonegoro bisa beralih dari pengekspor tenaga kerja murah menjadi pemain utama di peta industri Jatim.
Pembangunan industri bukan sekadar menghitung pabrik, tetapi menciptakan rantai nilai yang memberdayakan. Bojonegoro memiliki semua bahan baku sukses —
kini saatnya menyulapnya menjadi kemakmuran nyata, untuk Bojonegoro Bahagia, Makmur dan Membanggakan.
Penulis : Syafik
Sumber : “jawa Timur dalam Angka 2025” BPS Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar