Dunia Internasional,
Media Asing Bandingkan Keputusan Indonesia Beli 42 Unit Rafale yang Mahal dengan Pesawat Tempur China yang Lebih Murah dan Banyak - Zona Jakarta
ZONAJAKARTA.com - Jatuhnya pesawat tempur Rafale buatan Prancis milik Angkatan Udara India yang ditembak J-10C buatan China milik Pakistan membuat dunia terkejut.
Indonesia menjadi negara yang namanya diseret lantaran menjadi pelanggan yang mengakuisisi 42 unit Rafale dari Prancis.
Namun belakangan ini banyak kabar yang mengatakan bahwa Indonesia tengah meninjau kembali kesepakatan senilai 8,1 miliar dolar tersebut.
Media China bahkan terang-terangan menyebut jika Indonesia merasa tidak nyaman atas kinerja buruk sistem Prancis yang digunakan Angkatan Udara India.
Media asing lain mengatakan lebih baik membeli pesawat tempur China yang lebih murah dan lebih banyak, ketimbang menghabiskan uang untuk membeli 42 unit Rafale.
Baca Juga:
Sebelumnya media Bulgarian Military dalam artikelnya “Rafale deal at risk as Indonesia probes combat shortfall rumors” membahas mengenai kabar pesanan 42 unit Rafale oleh Indonesia.
Artikel tersebut mengatakan bahwa Kementerian Pertahanan Indonesia telah meninjau kembali performa tempur Rafale dalam kesepakatan senilai 8,1 miliar dolar tersebut.
Kabar tersebut sebelumnya dimuat oleh media asing bernama Galaxi Amilitar.
Kendati demikian tidak memberikan bukti pasti bahwa Kementerian Pertahanan Indonesia telah mulai meninjau kontraknya dengan Dassault Aviation, perusahaan yang memproduksi Rafale.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan RI belum secara terbuka merinci ruang lingkup tinjauannya.
Baca Juga:
Namun anggota senior Komisi I DPR, Dave Laksono, yang mengawasi pertahanan dan urusan luar negeri, mendesak kehati-hatian dalam menafsirkan laporan tersebut.
Ia mengakui situasi yang berkembang tetapi mendesak pengendalian strategis dalam menarik kesimpulan.

Ia mengatakan bahwa klaim yang belum diverifikasi dari zona konflik seharusnya tidak menjadi satu-satunya penentu efektivitas sistem persenjataan, seraya menunjukkan bahwa bahkan platform canggih seperti F-16 dan F-22 buatan AS telah mengalami kerugian dalam skenario pertempuran yang rumit.
“Klaim yang belum diverifikasi di zona konflik tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya dasar untuk menilai efektivitas atau kegagalan sistem persenjataan tertentu,” ungkapnya dikutip dari Defence Security Asia dalam artikelnya “Rafale Down? French Jet’s Combat Reputation Under Fire as Indonesia Reassesses Its Billion-Dollar Deal”.
Meski demikian, Laksono mengakui bahwa episode tersebut menawarkan dasar yang sah dan konstruktif untuk evaluasi.
Baca Juga:
Komentar Laksono mencerminkan sentimen yang lebih luas di Jakarta bahwa Rafale tetap merupakan platform yang mumpuni, tetapi tuduhan tersebut perlu diteliti mengingat harga kesepakatan tersebut mencapai $8,1 miliar.
Hal yang sama juga dibahas The National Interest dalam artikelnya “Indonesia is Having Second Thoughts About the Dassault Rafale Fighter” edisi 21 Mei 2025.
Media asing tersebut mengatakan bahwa Indonesia dan negara-negara lain berhak menuntut tingkat pengawasan yang lebih tinggi saat berbisnis dengan perusahaan-perusahaan Barat yang mengenakan harga selangit untuk sistem yang berkinerja buruk.
Disebutkan pula menurut beberapa laporan termasuk dair South China Morning Post (SCMP), pemerintah Indonesia telah meninjau kembali kesepakatan senilai 8,1 miliar dolar dengan Dassault Aviation.
Laporan SCMP menjelaskan bahwa kinerja buruk sistem Prancis yang digunakan oleh Angkatan Udara India (IAF) membuat Jakarta merasa tidak nyaman.
Baca Juga:
“Lagi pula, siapa yang mau menghabiskan banyak uang untuk membeli 42 pesawat tempur premium yang mungkin tidak berfungsi sebaik pesaing China yang jauh lebih murah dan lebih banyak jumlahnya?” tulis penulis dalam artikel tersebut.
Di sisi lain, meski mereka secara terbuka berkomentar tentang keunggulan dan kebanggaan atas senjata mereka, sumber internal menunjukkan bahwa pemerintah India diam-diam telah menyatakan kekhawatiran atas kinerja sistem batan Prancis dalam perang baru-baru ini dengan Pakistan.
Militer Barat telah lama menggunakan legenda sistem persenjataan canggih meeka sebagai nilai jual utama bagi negara-negara asing seperti India dan Indonesia.
Ada pula konsekuensi politik dari kesepakatan ini: dengan membeli pesawat Barat, negara-negara berkembang terikat pada perjanjian pemeliharaan dan peningkatan jangka panjang dengan kontraktor pertahanan Barat agar pesawat tetap dapat terbang.
Hal ini, pada gilirannya, membuat negara-negara ini lebih cenderung berpihak pada Barat dalam urusan internasional.


Ini merupakan kesepakatan yang bagus bagi Barat.
Namun semuanya bergantung pada gagasan bahwa perusahaan Barat dapat mengenakan harga tinggi untuk sistem mereka karena persenjataan mereka lebih baik dan akan mengungguli negara lain yang mereka hadapi.
Baca Juga:
Perang India-Pakistan baru-baru ini nampaknya telah membantah klaim ini; jika kekalahan Pakistan atas para pejuang India merupakan indikasi, China dapat membangun sistem yang sebanding dengan yang ada di Barat dengan harga yang jauh lebih murah daripada yang dibebankan oleh perusahaan-perusahaan Barat tersebut. (ZJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar