Skip to main content
728

Senjakalaning Gudang Garam: Guncangan Terakhir di Lantai Bursa - LiraNews

 

Senjakalaning Gudang Garam: Guncangan Terakhir di Lantai Bursa - LiraNews

JAKARTA, LIRANEWS.COM | Sore ini, Kamis (26/6), harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) resmi ditutup pada angka Rp9.025 per lembar. Angka ini bukan hanya mencerminkan koreksi tajam dari harga-harga sebelumnya, melainkan menciptakan trauma kolektif bagi pelaku pasar yang pernah menyaksikan saham ini berada di atas Rp90.000 pada masa keemasannya, enam tahun silam.

Anjloknya harga saham Gudang Garam bukan sekadar volatilitas musiman. Ini adalah gambaran tentang tekanan struktural yang tengah menghantam industri rokok besar di Indonesia, dan bisa jadi, sinyal alarm dari sebuah perusahaan publik yang pelan-pelan kehilangan relevansi di pasar.

Pakar pasar modal menyebut level harga Rp9.000 sebagai “harga psikologis kritis”. Di bawah angka itu, saham GGRM berisiko memasuki zona undervalued ekstrem—bukan karena sentimen pasar yang negatif semata, tapi karena fundamental yang benar-benar runtuh. Pada titik ini, spekulasi tentang potensi kebangkrutan atau merger paksa bukan lagi sekadar rumor. Ia bisa menjadi kenyataan.

Kerugian Beruntun dan Bisnis yang Tersendat

Data terakhir menunjukkan bahwa sepanjang 2024, laba bersih Gudang Garam anjlok hingga 81,57 persen, dari Rp5,32 triliun menjadi hanya Rp980 miliar. Pada kuartal pertama 2025, laba bersih bahkan hanya tinggal Rp104 miliar, turun drastis 82 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Padahal beban operasional sudah ditekan, dan pembelian bahan baku—termasuk tembakau dari petani Temanggung—sudah dihentikan. Tetapi, itu tidak cukup menolong neraca keuangan.

Rokok sebagai core business Gudang Garam sedang berada di persimpangan. Cukai rokok naik nyaris setiap tahun, daya beli stagnan, dan peredaran rokok ilegal melonjak. Di saat bersamaan, gaya hidup sehat dan kampanye anti-tembakau terus mengikis basis konsumen generasi muda.

Aset Tumbuh, Tapi Beban Bertambah

Ironisnya, di tengah lesunya kinerja utama, Gudang Garam justru melakukan ekspansi besar-besaran ke sektor infrastruktur. Bandara Dhoho di Kediri dibangun sepenuhnya dari dana internal. Proyek tol Kediri–Tulungagung menelan modal Rp9,92 triliun. Dua sektor yang tidak beririsan langsung dengan tembakau dan belum menghasilkan profit signifikan.

Dengan risiko finansial yang belum terukur, langkah ekspansif ini justru meningkatkan tekanan di neraca keuangan. Total aset perusahaan memang masih besar, Rp84 triliun per kuartal I 2025, namun posisi kas dan kemampuan likuiditasnya terus menyusut. Investor mulai kehilangan kepercayaan—terlihat dari tren pelepasan saham besar-besaran di lantai bursa.

Dari Kekayaan Triliunan ke Ancaman Delisting

Kekayaan Susilo Wonowidjojo, sang nakhoda utama Gudang Garam, sudah menyusut 68 persen sejak 2018. Forbes mencatat penurunan dari USD9,2 miliar menjadi hanya USD2,9 miliar pada 2024. Dengan posisi saham yang makin tertekan, tahun ini kekayaannya bisa tergerus lebih jauh.

Jika tren penurunan ini terus berlanjut, bukan mustahil GGRM akan berada dalam situasi serupa seperti perusahaan terbuka lain yang akhirnya harus memilih: delisting sukarela, merger paksa, atau injeksi penyelamatan yang belum tentu datang.

Pasar tidak lagi hanya mencemaskan penurunan laba. Tapi juga mempertanyakan apakah Gudang Garam masih layak diperdagangkan sebagai entitas rokok raksasa. Dan apakah, pada suatu hari nanti, “Gudang Garam” akan menjadi nama sejarah, bukan lagi nama di papan bursa.

Menanti Rencana Penyelamatan

Dalam RUPS tahunan yang digelar Rabu (25/6), perusahaan masih membagikan dividen Rp962 miliar—langkah yang dipandang sebagian investor sebagai upaya menjaga wajah, alih-alih memperkuat fondasi. Belum ada sinyal strategis soal restrukturisasi, perubahan bisnis model, atau masuknya investor baru.

Saham Rp9.025 bisa jadi bukan titik terendah. Tapi ia sudah cukup untuk menjadi alarm keras—bahwa tanpa perubahan drastis, Gudang Garam bisa menjadi babak sejarah terakhir dari industri rokok besar yang gagal beradaptasi. Dan sayangnya, para petani di Temanggung adalah korban pertama dari kejatuhan ini.

Posting Komentar

0 Komentar

728